Bima Cakra Group - Ruangan Nadine
Sudah hampir tengah malam, tetapi Nadine masih sibuk dengan laptopnya. Ruangan kantornya hanya diterangi lampu meja, sementara gedung di luar jendelanya mulai sepi. Ia menghela napas panjang dan melirik jam. 23:47.
Sial.
Hari ini seharusnya ia pulang lebih awal, tetapi karena proyek pemasaran terbaru perusahaan harus segera diselesaikan, Nadine jadi kehilangan jejak waktu.
Namun, yang paling membuatnya kesal bukanlah pekerjaan, melainkan seseorang yang masih berkeliaran di pikirannya sejak pertemuan terakhir mereka—Zayn.
Sejak acara amal yang mereka hadiri bersama, nama mereka semakin sering dikaitkan di media. Zayn tidak melakukan apa pun untuk membantahnya. Malah, pria itu menikmati rumor tersebut.
“Aku tidak akan menyangkal bahwa aku tertarik padanya.”
Kata-kata Zayn yang diucapkan di depan media masih terngiang di kepalanya.
Brengsek.
Sejak kapan Zayn begitu blak-blakan?
Dan sejak kapan hatinya berdegup lebih cepat setiap kali memikirkan pria itu?
Nadine menutup laptopnya dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya, mencoba menyingkirkan pikirannya yang kacau. Ia beranjak dari kursi, memijat pelipisnya, lalu mengemasi barang-barangn.
Ketika ia membuka pintu ruangannya untuk pulang, seseorang sudah berdiri di sana.
Zayn Rayden Natamanggala.
Pria itu bersandar di dinding dengan tangan di saku celana, mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku, dasinya sudah terlepas. Ia tampak santai, tetapi mata tajamnya menatap Nadine seolah sudah menunggunya sejak tadi.
Jangan lupakan seringai tipis yang menambah ketampanan pria itu namun sungguh sangat menyebalkan bagi Nadine.
“Apa kamu selalu bekerja sampai jam segini?” tanya Zayn, suaranya terdengar dalam dan sedikit serak.
Nadine menahan diri untuk tidak menggigit bibirnya. “Apa kamu selalu muncul tiba-tiba seperti hantu?”
Zayn menyeringai. “Aku bukan hantu, sayang. Tapi aku memang bisa membuatmu kelelahan sebelum tidur.”
Dan dari sana Nadine tahu, Zayn akan terus menjadi masalah dalam hidupnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Zayn?”
Nadine berusaha terdengar setenang mungkin, meskipun detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Zayn mengangkat bahu. “Aku baru selesai rapat dengan tim keuangan. Saat aku akan pulang, aku melihat ruanganmu masih menyala. Aku penasaran, kamu kerja lembur atau sengaja menghindariku?”
Nadine mendengus, lalu melewatinya tanpa menoleh. “Aku enggak punya waktu untuk permainanmu, Zayn.”
Namun, sebelum Nadine sempat melangkah lebih jauh, Zayn menangkap pergelangan tangannya.
Hangat.
Jari-jari pria itu membungkus kulitnya dengan lembut, tetapi ada kekuatan yang tidak bisa diabaikan.
Nadine membeku sejenak.
“Lepaskan.”
Zayn tidak langsung menuruti. Ia malah menariknya sedikit lebih dekat, cukup hingga Nadine bisa mencium aroma khasnya—maskulin, bercampur dengan sedikit jejak kopi dan kayu manis.
“Aku serius, Nadine.” Suaranya lebih lembut kali ini, hampir seperti bisikan. “Aku ingin tahu jawabannya.” Kepala Zayn menunduk membuat jarak wajahnya hanya kurang dari sejengkal dengan Nadine.
Nadine menarik napas dalam, lalu menatap matanya dengan tegas. “Jawaban untuk apa?” Suara Nadine tercekat.
“Apakah kamu benar-benar menghindariku?”
Oh, b******k.
Nadine ingin tertawa. Kenapa pria ini begitu percaya diri?
“Apa kamu benar-benar berpikir aku punya waktu untuk menghindarimu?” Nadine berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Aku sibuk. Aku punya pekerjaan. Aku enggak seperti dirimu yang bisa menghabiskan waktu dengan siapa pun yang kamu mau.”
Zayn menatapnya dalam diam untuk beberapa detik. Lalu, perlahan, senyum khasnya muncul—senyum yang selalu berbahaya.
“Oh, kamu cemburu …,” katanya lalu tertawa.
Cukup.
Nadine menarik tangannya dengan kasar lalu membalikan badan. “Aku pulang.”
Namun, Zayn bergerak lebih cepat, menyudutkannya ke dinding sebelum ia sempat pergi lebih jauh.
Semua orang di lantai ini sudah pulang, hanya ada mereka berdua di sana jadi Zayn bisa seenaknya seperti ini.
Tangannya menahan dinding di samping kepala Nadine, sementara dadanya menempel dengan d**a Nadine yang terpenjara membuat udara di antara mereka terasa lebih panas.
“Zayn—”
“Katakan sekarang.” Suaranya lebih rendah, nyaris berbisik. “Kalau kamu enggak peduli sama sekali, aku akan pergi sekarang juga.”
Nadine ingin melawan. Ingin menertawakan arogansi pria ini.
Tapi sialnya, suaranya masih tercekat.
Karena dalam hati, ia tahu bahwa ia peduli.
Terlalu peduli.
Dan Zayn sepertinya tahu itu juga.
Mereka bertahan dalam keheningan yang intens, hingga akhirnya Zayn miringkan kepalanya sedikit lebih dekat, hingga bibir mereka hampir bersentuhan.
“Kalau kamu enggak mendorongku sekarang,” katanya pelan, “aku akan menciummu.”
Jangan.
Itu yang seharusnya dikatakan Nadine.
Tapi yang ia lakukan justru menutup matanya sesaat, membiarkan dirinya menikmati kehangatan pria itu.
Dan itu cukup bagi Zayn untuk membaca jawabannya.
Satu detik.
Dua detik.
Sebelum akhirnya, Nadine menarik napas tajam dan mendorong d**a Zayn keras-keras.
“Jangan main-main denganku, Zayn.”
Zayn hanya menatapnya, lalu menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam dirinya.
“Aku tidak sedang main-main, Nadine.”
Lalu, dengan satu langkah mundur, ia membiarkan Nadine pergi.
Tapi saat Nadine berjalan menuju lift, satu hal yang ia sadari adalah kakinya terasa lemas.
Karena untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa Zayn tidak hanya bermain-main.
Pria itu benar-benar menginginkannya.
Dan yang lebih buruk lagi, ia juga menginginkannya.
Lebih dari yang seharusnya.