Bima Cakra Group - Ruangan Nadine
Pagi ini, Nadine merasa seperti seseorang yang baru saja mengalami kejadian supernatural.
Bukan karena ia melihat hantu atau mengalami kejadian aneh, tetapi karena insiden tadi malam dengan Zayn masih terus berputar di kepalanya.
Ia memandangi pantulan dirinya di cermin kecil di mejanya. Mukanya masih terasa hangat.
Astaga.
Kenapa ia tidak langsung mendorong Zayn? Kenapa ia diam saat pria itu begitu dekat?
Setiap kali mengingat detik-detik di mana Zayn hampir menciumnya, Nadine ingin membenturkan kepalanya ke meja.
Kenapa otaknya seperti mati kemarin?!
“Bu Nadine?”
Suara Arya—kepala PR di timnya, membuat Nadine tersentak.
“Hah? Apa?” Nadine langsung merapikan ekspresinya, tetapi ekspresi Arya sudah penuh kecurigaan.
“Ibu baik-baik saja? Dari tadi melamun, terus pipinya agak merah.”
“Aku? Baik-baik saja! Kenapa enggak?” Nadine tertawa gugup.
Arya menyipitkan mata. “Hmm, aneh. Biasanya Ibu galak. Hari ini lebih mirip orang yang baru jatuh cinta.”
“Jatuh cinta?!” Nadine hampir tersedak kopi yang baru saja ia teguk. “Jangan asal bicara, Arya!”
Arya terkekeh, tetapi sebelum bisa bicara lagi, pintu kantor Nadine terbuka.
Dan di sanalah masalah terbesarnya masuk—Zayn.
Astaga.
Kenapa dia harus muncul pagi-pagi begini?
Dan kenapa dia harus terlihat setampan itu dengan setelan hitam dan ekspresi santainya?!
Nadine merasa Arya menatapnya, lalu kembali menatap Zayn. Nadine bisa merasakan gelombang kecurigaan yang meningkat di kepala PR-nya itu.
“Arya, keluar.” Nadine berkata cepat.
Arya hanya tersenyum nakal sebelum mengangkat tangan tanda menyerah. “Baiklah, baiklah. Jangan terlalu lama ‘meeting’-nya ya.” Dia berujar dengan nada menggoda.
Nadine ingin melemparkan sesuatu ke kepala Arya, tetapi pria itu sudah menghilang ke luar.
Begitu pintu tertutup, Zayn langsung melangkah mendekat dengan senyum penuh arti.
Nadine berusaha mati-matian terlihat biasa saja.
“Ada apa, Zayn?”
Zayn mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, kedua tangan bertumpu pada meja Nadine. Jarak mereka tidak jauh—cukup untuk membuat Nadine bisa mencium aroma cologne khas pria itu lagi.
“Aku ingin melanjutkan yang tertunda tadi malam.”
Jantung Nadine langsung melonjak.
“A—apa maksudmu?”
Zayn tersenyum miring. “Kamu tahu maksudku.”
Dan sebelum Nadine bisa mundur, Zayn sudah menempelkan tangan di belakang leher Nadine, menariknya lebih dekat.
Lalu tanpa aba- aba, bibirnya menyentuh bibir Nadine.
Sial.
Bibir Zayn hangat dan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam caranya mencium.
Dan yang lebih parah lagi, Nadine tidak langsung mendorongnya.
Astaga.
Ia seharusnya menolak. Ia seharusnya mendorong pria ini seperti tadi malam.
Tapi otaknya berhenti bekerja.
Tangannya, alih-alih mendorong Zayn, justru mencengkeram tepi meja.
Zayn tidak terburu-buru, seakan memberi Nadine waktu untuk memilih.
Tapi tubuhnya sudah memilih lebih dulu.
Detik berikutnya, Nadine membalas ciuman tersebut dengan mengulum Bi air bawah Zayn saat pria itu mengulum bibir atasnya
Dan di saat itu, dinding yang selama ini ia bangun mulai retak.
Beberapa lama setelah Nadine membalas ciumannya, Zayn mengurai pagutan dengan perlahan sembari menatap mata Nadine disertai senyum meledek.
Dengan jantung berdebar kencang Nadine langsung menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Netra Nadine menatap kesal sembari mengusap bibirnya menggunakan punggung tangan.
“Kamu akan ketagihan, Nadine … percayalah, dan aku bersedia melakukannya kapan pun kamu mau.” Usai berkata demikian Zayn keluar dari ruangan Nadine memarkan senyum kepuasan.
Jadi tadi pria itu datang hanya ingin mencium bibirnya, melanjutkan apa yang tertunda tadi malam seperti katanya barusan.
Nadine mengembuskan nafas kasar, dia menunduk dengan kedua sikut bertumpu pada meja menopang kepala.
Jantungnya masih berdetak tidak karuan.
“Nadine! Kenapa kamu menyambut ciumannya?” Nadine mengesah sendiri.
Tapi tidak bisa Nadine pungkiri kalau dia menikmatinya, Zayn memang sangat tampan belum lagi kekayaannya yang tak terhingga, pria itu juga sukses dan … a good kisser.
Meski begitu, Zayn sebenarnya bukan tipe Nadine. Nadine pernah diselingkuhi. Dia benci playboy seperti Zayn.
Setidaknya itu yang Nadine sugestikan dalam hati dan benaknya.
***
Sejak ciuman itu terjadi, Nadine berubah menjadi aneh.
Bukan aneh dalam arti buruk, tetapi cara ia menghadapi dunia setelah kejadian itu benar-benar… kacau.
Misalnya saat siang setelah kejadian ciuman itu, Nadine terlalu sibuk melamun hingga tidak melihat bahwa pintu ruangannya belum terbuka sepenuhnya.
Brakk!
“Bu Nadine?! Ibu enggak apa-apa?!” Arya yang melihat kejadian itu langsung panik lalu berdiri dari kubikelnya memburu Nadine.
“Aku baik-baik saja.” Nadine berdiri tegak, menolak terlihat bodoh.
Tapi kebetulan Zayn melihat insiden tersebut dari dalam lift yang pintunya kebetulan terbuka kemudian tertawa kecil.
Brengsek.
Nadine yang menyadari Zayn sedang meledeknya mengumpat di dalam hati.
Tapi bukan hanya itu, kekonyolan lainnya terjadi masih di hari yang sama saat Nadine hendak mengirim pesan ke Arya untuk menanyakan laporan media terbaru.
Tapi karena otaknya masih penuh dengan Zayn, ia malah mengirimnya ke pria itu.
Nadine : Arya, aku mau laporan update media soal pak Zayn. Kirim ke aku sekarang.”
Namun, jawaban yang masuk ke ponselnya justru….
Zayn Rayden Natamanggala : “Aku lebih suka kamu fokus ke hal lain tentangku, sayang.”
“Astaga.” Nadine mengusap kasar wajahnya yang memerah.
Di ruangannya, Zayn tersenyum puas. Dia berhasil membuat konsentrasi Nadine terpecah.
Nadine merasa kalau dia butuh pengalihan, akhirnya meninggalkan kantor lebih awal untuk menenangkan diri.
Dia pergi ke pusat kebugaran, Nadine mengambil kelas Yoga untuk menjernihkan pikirannya dari Zayn.
Namun setiap kali matanya terpejam, ciuman panas mereka pagi tadi melintas bagai kaset rusak menghasilkan gelenyar asing dari dalam tubuh Nadine.
Tanpa terasa setelah satu jam melakukan olah raga Yoga, Nadine pulang mengendarai mobilnya.
Mobil Ayah sudah terparkir di garasi rumah memberitahunya kalau seisi rumah sudah komplit.
“Malem … Yaaah, Buuuun … Nadine pulang.”
“Eh makan dulu sini, Nak.” Ayah menggerakan tangannya meminta Nadine mendekat.
“Tumben kamu bisa olah raga?” Bunda bersuara melihat sang putri pulang menggunakan pakaian olah raga bukan pakaian kerja biasa.
“Iya … lagi ingin olah raga.” Nadine menyahut sembari menyeruput teh hangat dari teko.
“Akhirnya bisa makan malam sama kamu.” Ayah terlihat senang.
“Iya Yah, Nadine sibuk banget … punya CEO gila sampai Nadine kewalahan.”
“Ssstt! Jangan mengumpat, nanti kamu jatuh cinta lho sama dia.” Ibu menegur membuat Nadine akhirnya berhenti membahas urusan kerjaan.
Setelah makan malam disertai obrolan hangat mengenai usaha ayah selesai, Nadine pamit pergi ke kamarnya dilantai atas.
Nadine mandi lalu membaringkan tubuh di atas ranjang.
Dia tidak peduli dengan getar ponsel yang sedari tadi terasa di dalam tas, Nadine sedang tidak ingin diganggu.
Dia sedang fokus melupakan momen ciuman dengan Zayn yang terjadi dengan sangat kurangajar di hari kemarin.
Mungkin karena lelah usai Yoga, Nadine bisa mudah masuk ke alam mimpi.
***
Keesokan harinya dia bersiap memulai hari tanpa ada drama kekonyolan.
Nadine sampai di kantor tepat waktu dengan wajah ceria, ada rapat pagi ini yang harus dia hadiri.
Namun kejadian konyol tidak terduga masih membayanginya yang mana Nadine terlalu sensisitif dengan keberadaan Zayn.
Saat berada di ruang rapat, Nadine selalu sadar kalau Zayn ada di ruangan.
Bahkan ketika ia berusaha fokus, mata Nadine selalu terseret ke arah pria itu.
Dan Zayn menyadarinya.
Setiap kali ia mencuri pandang, Zayn akan menaikkan sebelah alis dengan senyum setengah menggoda.
Dan rasanya Nadine ingin tenggelam ke dalam tanah saat ini juga.
Malam harinya, saat semua orang sudah pulang, Zayn datang lagi ke ruangan Nadine.
Kali ini pria itu langsung membuka pintu dan mendapati Nadine berdiri di tengah ruangan sembari menyampirkan tas di pundak.
“Kenapa kamu selalu muncul di saat aku akan pulang?” keluh Nadine, berusaha mengabaikan efek pria itu.
Zayn hanya tersenyum. “Karena aku tahu kamu enggak bisa berhenti memikirkan ciuman kita.”
Nadine membeku matanya membulat sempurna menatap Zayn seakan mengkonfirmasi ucapan pria itu.
“Jangan bodoh, Zayn. Itu hanya kesalahan sesaat.”
Zayn berjalan mendekat, membuat Nadine mundur hingga terpojok ke mejanya.
“Apa kamu yakin?” bisik Zayn.
Sebelum Nadine bisa menjawab, Zayn menarik tengkuk Nadine lalu menyentuhkan bibirnya sekali lagi, memagut lembut bibir bawah Nadine kemudian setelahnya bergantian memagut yang bagian atas tidak lupa melesakan lidah membelit lidah Nadine di dalam sana membuat Nadine terbuai hingga memejamkan mata.
Dan kali ini, Nadine benar-benar kehilangan kendali.
Kedua tangannya meremat sisi kemeja Zayn membuat kusut di sana.
Saat dirasa Nadine kehabisan nafas, Zayn menjauhkan wajahnya dari wajah Nadine.
“Ciuman itu agar kamu bisa tidur nyenyak malam ini,” kata Zayn sembari menarik langkah keluar dari ruangan Nadine.
“Si kampret! Sumpah ya, nyebeliiin.” Nadine memekik pelan seraya mengusap wajahnya yang menghangat.