Tidak Semudah Itu, Sayang

1442 Kata
Penthouse Zayn – Jakarta Selatan Malam ini, langit Jakarta tampak gelap, dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari jendela besar penthouse milik Zayn. Ia duduk di sofa, mengenakan kemeja yang sudah terbuka dua kancing atasnya, tangan kanannya memegang gelas kristal berisi scotch, sementara tangan kirinya bermain di ponsel. Matanya menatap layar, tetapi pikirannya jelas tidak berada di sana. Ia seharusnya menikmati malam ini seperti biasa—dengan minuman mahal dan suasana apartemen yang sepi. Tapi sialnya, ia justru terus memikirkan seorang wanita. Nadine. Zayn menggeram pelan, lalu meletakkan gelasnya di meja dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Brengsek. Kenapa wanita itu bisa mengganggu pikirannya sejauh ini? Harusnya ia bisa melupakan ciuman mereka dengan mudah, seperti yang ia lakukan dengan wanita lain sebelumnya. Tapi tidak. Bayangan cara Nadine membalas ciumannya, cara tangannya meremas kemejanya saat tenggelam dalam pagutan mereka—semua itu masih terasa di pikirannya. Zayn mengusap wajahnya. Sial. Harusnya ini hanya permainan. Tapi kenapa ia mulai merasa lebih dari sekadar tertarik? Ponselnya bergetar, membuyarkan pikirannya. Ia menghela napas sebelum melihat layar. Cassandra. Zayn mendengus. Wanita itu lagi. Tanpa berpikir panjang, ia mematikan ponselnya dan menyandarkan kepalanya ke sofa. Ia tidak sedang ingin berurusan dengan Cassandra. Tidak malam ini. Karena, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang membuatnya berpikir dua kali sebelum kembali ke kebiasaan lamanya. *** Bima Cakra Group – Ruangan Nadine Pagi ini, Nadine datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Bukan karena semangat bekerja, tetapi karena ia ingin memastikan bahwa ia bisa menghindari Zayn secepat mungkin. Setelah ciuman kurang ajar tadi malam, ia tidak bisa menatap wajah pria itu tanpa mengingat bagaimana bibirnya terasa. Astaga. Kenapa harus begini? Seharusnya ia bisa bersikap profesional seperti biasa. Seharusnya ia bisa menganggap insiden itu tidak pernah terjadi. Tapi otaknya tidak mau bekerja sama. Ia masih bisa merasakan cara Zayn menariknya, cara pria itu mencium seakan tahu pasti bahwa ia tidak akan menolak. Sial. “Bu Nadine, rapat akan dimulai dalam lima belas menit.” Suara Arya membuyarkan lamunannya. Nadine mengerjap dan menatap jam tangannya. Benar, hari ini ada meeting penting. “Baik, aku akan segera ke sana,” katanya, berusaha mengatur nada suaranya agar tetap tenang. *** Zayn berjalan melewati koridor lantai eksekutif dengan langkah santai, tangan di saku celana, dan wajahnya seperti biasa—tak terbaca. Begitu tiba di depan ruangannya, sekretarisnya, Rina, langsung berdiri dan menyerahkan tablet dengan jadwal hari ini. “Pak Zayn, ini jadwal Anda hari ini. Rapat dengan divisi keuangan pukul sepuluh, lalu makan siang dengan salah satu investor baru. Saya juga sudah menjadwalkan meeting tambahan dengan tim PR mengenai dampak media setelah acara amal kemarin.” Zayn mengambil tablet itu dengan satu tangan dan melihat sekilas isinya. “Dan apakah ada laporan tentang CMO kita yang luar biasa menyebalkan itu?” tanyanya dengan nada santai. Rina terbatuk pelan, berusaha menyembunyikan ekspresi geli. “Bu Nadine tiba lebih awal hari ini, Pak. Sepertinya dia sedang berusaha menghindari seseorang.” Zayn mengangkat sebelah alis. Menarik. Sangat menarik. Senyum tipis muncul di bibirnya sebelum ia mengembalikan tablet itu ke Rina. “Baik. Pastikan aku punya waktu luang setelah makan siang.” Rina mengangguk. “Ada yang perlu saya siapkan, Pak?” Zayn hanya tersenyum samar. “Tidak perlu. Aku hanya ingin mengunjungi seseorang tanpa pemberitahuan.” Sekretarisnya tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya mengangguk dan kembali ke mejanya. Zayn masuk ke ruangannya, menyadari bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang. Dan ia akan memastikan bahwa Nadine tidak bisa terus menghindarinya. *** Oke. Fokus. Ini hanya hari kerja biasa. Ia hanya perlu menghindari tatapan Zayn dan menyelesaikan pekerjaannya seperti biasa. Namun, rencana itu langsung gagal begitu ia masuk ruang rapat. Karena Zayn sudah ada di sana. Dan pria itu langsung menatapnya begitu ia masuk, dengan senyum setengah miring khasnya yang penuh kemenangan. Brengsek. Nadine berusaha keras untuk tidak menatap Zayn, tetapi itu lebih sulit daripada yang ia kira. Saat presentasi berlangsung, ia berusaha fokus ke layar proyektor dan bukan pada pria yang duduk hanya beberapa kursi darinya. Tapi setiap kali ia mencuri pandang… Zayn sudah lebih dulu menatapnya. Dan bukan hanya itu. Pria itu menaikkan sebelah alis lalu menyeringai. Sial. Nadine langsung membuang pandangan dan berpura-pura mencatat sesuatu di Macbook. Arya yang duduk di sebelahnya memandang Nadine dengan tatapan curiga. “Bu Nadine, kok mukanya agak merah?” bisiknya pelan. “Enggak.” Nadine mengetik asal di MacBook. “Aku baik-baik saja.” Namun, Arya makin memperhatikan dan tiba-tiba tatapannya berbinar. “Wah, jangan-jangan benar kata Pak Zayn kemarin di pesta amal yang mengatakan kalau beliau tertarik sama Ibu?” bisiknya lebih pelan lagi. “Arya!” Nadine nyaris mencubit lengan pria itu. Namun, sebelum Arya bisa menggodanya lebih jauh, suara Zayn terdengar. “Nadine, apa ada yang ingin kamu tambahkan?” Seketika, semua mata di ruangan tertuju padanya. Nadine menegang. Oh, b******k. Baru ia sadari bahwa Zayn sengaja menyebut namanya tanpa embel-embel jabatan. Dan kini semua orang terlihat bingung, beberapa malah tampak menahan senyum. Zayn tetap menatapnya, tatapan penuh kepuasan karena berhasil membuatnya gugup di depan semua orang. Nadine berdeham kecil sebelum akhirnya menjawab dengan nada profesional. “Tidak ada tambahan. Kita bisa lanjutkan ke bagian berikutnya.” Ia tidak ingin bermain-main dengan pria ini. Tapi jelas sekali Zayn sangat menikmati permainan ini. *** Setelah rapat selesai, Nadine memilih untuk tetap di ruangannya sepanjang hari. Namun, Zayn tidak membiarkan itu terjadi. Saat jam makan siang, pintu ruangannya terbuka begitu saja tanpa izin. Nadine mendongak, dan tentu saja, yang berdiri di sana adalah Zayn. Dengan tangan di saku celana, ekspresi santai, dan tatapan yang langsung membuat Nadine ingin menutup wajahnya dengan dokumen. “Kenapa enggak keluar makan siang?” tanyanya santai. “Aku sibuk.” Nadine menatap layar laptopnya dengan intensitas berlebihan, padahal ia bahkan tidak membaca apa yang ada di sana. Zayn tertawa kecil. Lalu, dengan langkah santai yang penuh percaya diri, ia berjalan mendekat dan menutup MacBook Nadine. “Hei!” Nadine menatapnya kesal. “Aku sudah bilang, aku enggak suka kalau kamu menghindariku, Nadine.” Suara Zayn lebih rendah sekarang, membuat Nadine menegang di tempatnya. “Aku tidak menghindarimu,” elaknya cepat. Zayn tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. “Oh, ya?” “I—iya.” Zayn mengangkat alis. “Jadi kalau aku melakukan ini…” Ia mengangkat tangan dan menyentuh dagu Nadine dengan ujung jarinya, mengangkat sedikit wajahnya agar menatapnya. “Kamu enggak akan bereaksi?” Jantung Nadine langsung berdebar keras. Sial. Kenapa tubuhnya harus bereaksi terhadap pria ini?! “A—aku ada banyak pekerjaan,” gumamnya, berusaha terdengar tegas. Zayn tertawa kecil, lalu menjatuhkan tangannya. “Baiklah, aku akan membiarkanmu bekerja,” katanya santai. “Tapi malam ini, aku ingin kita makan malam bersama.” Nadine menatapnya tak percaya. “Untuk apa?” Zayn tersenyum tipis. “Anggap saja sebagai perayaan ciuman kita kemarin.” Nadine hampir tersedak udara. “ZAYN!” Pria itu tertawa puas, lalu melangkah keluar sebelum Nadine bisa melemparkan sesuatu ke arahnya. Begitu pintu tertutup, Nadine jatuh terduduk di kursinya dan menghembuskan napas kasar. Pria itu benar-benar akan menghancurkan kewarasannya. *** Zayn tidak sering pulang ke rumah orang tuanya, tetapi hari ini, ibunya mengancam akan menyeretnya jika ia tidak datang untuk makan malam. Begitu ia masuk ke dalam rumah mewah keluarga Natamanggala, ibunya, Hera Natamanggala, sudah menunggunya di ruang tamu. “Akhirnya anakku ingat rumah,” kata wanita itu dengan dramatis, menyilangkan tangan di d**a. Zayn hanya tersenyum tipis. “Aku selalu ingat, Bu. Aku hanya sibuk.” “Sibuk bekerja atau sibuk dengan skandal?” Hera menaikkan sebelah alis. Zayn terkekeh. “Keduanya.” Saat itu, ayahnya, Bram Natamanggala, masuk ke ruangan. “Jangan ganggu anak kita, Hera. Setidaknya, bisnisnya tetap berjalan dengan baik.” Zayn tersenyum pada ayahnya dan bersalaman. “Bagaimana kabar perusahaan, Ayah?” “Bagus, meskipun citramu masih perlu diperbaiki.” Hera menyeringai. “Oh, tenang saja. Sepertinya ada seseorang yang sedang menangani itu dengan cukup baik.” Zayn mengerutkan kening. “Maksud Ibu?” Hera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan artikel terbaru di media. “CMO barumu, Nadine Arista. Dia mulai dikenal publik sebagai ‘wanita yang berhasil membuat Zayn Rayden Natamanggala tunduk’. Bagaimana menurutmu?” Zayn menatap artikel itu, lalu terkekeh pelan. “Orang-orang terlalu cepat menyimpulkan.” “Oh, jadi kamu masih belum tunduk? Bukannya kamu yang mengatakan pada semua orang kalau kamu mulai tertarik sama CMO kamu itu?” Ibunya bertanya dengan nada penuh arti. Zayn tersenyum miring. “Biar rame saja itu sih,” katanya santai. Hera dan Bram saling berpandangan, lalu ayahnya tertawa. “Kalau dia benar-benar bisa membuatmu tertarik, mungkin dia wanita yang harus kami perhatikan.” Zayn tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa mungkin orang tuanya tidak sepenuhnya salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN