Bima Cakra Group – Ruangan Nadine
Boom.
Nadine menatap layar laptopnya dengan ekspresi horor.
Sejak pagi, media seakan tak henti-hentinya membahas pernyataan Zayn di acara amal.
📌 “CEO Bima Cakra Group Tertarik pada CMO-nya Sendiri?”
📌 “Pernyataan Mengejutkan Zayn Rayden Natamanggala: Akui Ketertarikan pada Wanita Hebat di Baliknya?”
📌 “Nadine Arista, Wanita yang Mampu Menjinakkan Zayn Rayden?”
Nadine mengerutkan kening saat membaca berita terakhir.
Mampu menjinakkan?
Astaga, siapa yang membuat narasi seperti ini?
Dia mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ini lebih buruk dari yang dia duga. Nadine tahu Zayn adalah magnet bagi media, tetapi dia tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini.
“Bu Nadine, kita punya masalah,” suara Arya terdengar panik saat masuk membawa tumpukan dokumen.
Nadine membuang napas panjang. “Aku tahu, Arya.”
“Ibu sudah lihat media sosial?” Arya menyerahkan tabletnya, menunjukkan trending topic yang didominasi oleh berita soal Zayn dan dirinya.
📌 #ZaynxNadine
📌 #PowerCoupleBimaCakra
📌 #CEOxCMO
Brengsek.
Bagaimana bisa publik mengubah ini menjadi semacam ‘relationship goals’ yang tidak pernah ada?
“Investor kita mulai mempertanyakan ini,” Arya melanjutkan, suaranya lebih serius. “Mereka ingin tahu apakah ini hanya sensasi atau memang ada sesuatu di antara kalian.”
Nadine menegakkan punggungnya. “Kita harus segera menangani ini.”
“Harus ada klarifikasi,” tambah Arya. “Tapi aku rasa pak Zayn…”
Belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan terbuka tanpa diketuk.
Dan, tentu saja, sumber kekacauan ini muncul dengan wajah setenang biasa.
Zayn berjalan masuk dengan langkah santai, dasinya sudah dilonggarkan, menunjukkan bahwa pria itu tidak terlalu peduli dengan kehebohan yang telah diciptakannya.
“Ah, akhirnya aku bisa bertemu dengan wanita yang katanya ‘menjinakkanku’,” ucapnya dengan nada menggoda.
Rasanya Nadine ingin melemparkan sesuatu ke wajah Zayn.
Arya langsung merasakan atmosfer berbahaya kemudian mundur perlahan. “Oke, aku rasa aku harus pergi dulu.”
Begitu Arya keluar, Nadine menatap Zayn tajam. “Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?”
Zayn menarik kursi di depan meja Nadine dan duduk dengan santai. “Tentu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
Nadine mengepalkan tangannya di atas meja. “Kamu pikir ini lelucon?”
Zayn mengangkat bahu. “Media yang membuatnya jadi besar. Aku hanya memberikan sedikit ‘bumbu’.”
“Bumbu?” Nadine hampir memekik. “Kamu baru saja membuat citra perusahaan semakin kacau!”
Zayn tersenyum miring. “Kacau? Atau justru semakin menarik?”
Nadine terdiam.
Sialan.
Zayn benar.
Sejak berita ini menyebar, perhatian publik terhadap Bima Cakra Group justru meningkat. Beberapa investor mungkin khawatir, tetapi brand awareness perusahaan melonjak drastis.
Tapi bukan berarti ini hal yang baik!
“Jangan coba-coba menjadikan ini permainan, Zayn,” desis Nadine. “Aku akan segera mengeluarkan pernyataan klarifikasi.”
Zayn menatapnya dengan mata berbahaya. “Dan kamu akan bilang apa? Bahwa kamu enggak tertarik sama aku?”
Nadine membeku.
Kenapa pria ini begitu percaya diri?!
“Aku enggak peduli apa pun yang kamu rencanakan,” kata Nadine akhirnya, berusaha menstabilkan suara. “Yang jelas, kita harus segera mengendalikan berita ini.”
Zayn menatapnya selama beberapa detik, lalu tiba-tiba senyumnya bertambah lebar.
“Baiklah,” katanya santai. “Aku akan membantumu mengendalikan situasi ini.”
Nadine sedikit mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Zayn bersandar ke kursinya. “Kita akan makan malam bersama malam ini.”
Nadine mengerjap. “Apa?”
Zayn menatapnya dengan intens. “Kita akan bertemu di restoran mewah, biarkan media melihat kita. Aku akan memberikan pernyataan bahwa ini hanya profesional.”
Nadine mencium jebakan.
“Dan kalau aku menolak?”
Senyum Zayn tidak berubah. “Kalau kamu menolak, aku akan memastikan bahwa berita ini berkembang lebih jauh.”
Zayn memang sialan.
Dia benar-benar menggunakan media untuk memaksanya!
“Aku enggak percaya kamu melakukan ini,” gumam Nadine.
Zayn mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tajam. “Aku hanya memanfaatkan situasi. Sama seperti kamu.”
Nadine tahu ia tidak punya pilihan.
Dengan enggan, ia mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Aku akan datang.”
Senyum Zayn bertambah lebar. “Bagus. Aku jemput jam tujuh.”
Lalu, pria itu berdiri dan keluar dari ruangan, meninggalkan Nadine yang masih kesal karena kalah dalam permainan ini.
***
Sudah puluhan gaun Nadine coba tapi dia belum menemukan yang pas.
Entah kenapa juga dia harus berdandan maksimal yang pasti Nadine ingin membuat Zayn terkesan.
Akhirnya dia memilih gaun dari yang terbaik, mengenakannya tidak lupa berdandan cantik kemudian turun ke lantai satu.
“Canti banget anak ayah.” Ayah menegurnya dari single sofa ruang televisi.
“Nadine pergi dulu ya, Yah.” Nadine pamit, mengecup punggung tangan Ayah.
“Mau ke pesta?” Ayah bertanya.
“Mau makan malam sama CEO-nya Nadine.” Nadine menjawab jujur.
“Ecieeee, anak Bunda beneran jatuh cinta sama CEO-nya.” Bunda yang baru datang dari dapur membawa kopi untuk ayah langsung menggoda Nadine.
“Ini hanya profesionalitas, Bun.” Nadine menunduk pura-pura merapihkan gaunnya.
“Asmara-litas juga enggak apa-apa, kok.” Ayah menimpali dengan racauan.
“Yaaaaah!” Nadine mengesah.
Tiiin …
Suara klakson mobil terdengar, siapa lagi pelakunya kalau bukan Zayn.
“Nadine pamit ya, Bun.” Nadine mengecup punggung tangan bunda.
“Hati-hati ya sayang.” Bunda berujar saat Nadine mulai menarik langkah menjauh.
Dari dalam mobil, Zayn sudah menangkap sosok cantik dan molek itu mendekat.
Bibirnya tersenyum dengan tatapan penuh minat, Nadine memang memiliki body goals.
Driver membukakan pintu untuk Nadine yang langsung masuk di kabin belakang.
“Hai Sayang …,” sapa Zayn terdengar menyebalkan membuat Nadine mendengkus kesal namun Zayn malah terkekeh.
Dia selalu bahagia setiap kali berhasil membuat Nadine kesal.
Tidak ada percakapan saat perjalanan ke restoran tapi Nadine tahu kalau dalam remang cahaya, tatapan Zayn sedang tertuju ke belahan dadanya.
***
Nadine mengutuk dirinya sendiri karena mau menerima ajakan Zayn makan malam.
Mengenakan gaun hitam elegan, ia mencoba menjaga ekspresinya tetap netral saat duduk di seberang Zayn.
Zayn, di sisi lain, terlihat sangat menikmati situasi ini.
“Kamu kelihatan luar biasa menggunakan gaun itu,” katanya santai sembari menatap ke d**a Nadine yang besar
“Aku di sini bukan untuk bersenang-senang, Zayn,” balas Nadine tajam.
Zayn tertawa kecil. “Oh, aku tahu. Tapi media tidak perlu tahu itu.”
Seolah sudah menunggu, beberapa fotografer terlihat mengambil gambar dari luar restoran.
Nadine ingin menghilang.
Pelayan datang membawakan wine, dan saat Zayn menuangkan ke gelasnya, Nadine berusaha fokus pada rencana awalnya: menjadikan ini pertemuan profesional.
Namun, saat Zayn tiba-tiba menatap seorang wanita cantik yang duduk tidak jauh dari mereka dan tersenyum tipis, Nadine merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.
Cemburu.
Tidak. Tidak mungkin.
“Kenapa kamu melihat wanita itu?” tanyanya dengan nada sedikit lebih galak dari yang ia maksudkan.
Zayn menoleh padanya, senyum nakalnya semakin terlihat.
“Kenapa?” bisiknya, mata elang Zayn menyala dengan rasa puas.
Nadine terjebak.
Dia baru saja menunjukkan kecemburuan tanpa sadar.
Zayn tertawa kecil. “Jadi kamu cemburu?”
“Aku enggak ya!” Nadine buru-buru meminum winenya untuk menyembunyikan wajahnya yang panas.
Zayn tersenyum penuh kemenangan.
Dan malam ini, Nadine tahu bahwa Zayn berhasil memenangkan satu putaran lagi.
***
Setelah makan malam, Zayn langsung mengantar Nadine pulang.
Kini mobil sudah berhenti di depan rumah kedua orang tua Nadine.
“Terimakasih untuk makan malamnya dan semoga idemu ini berhasil,” kata Nadine dengan satu tangan memegang handle pintu.
Zayn meraih tangan Nadine lalu mengecup bagian punggungnya.
“Selamat malam, sayang.” Pria itu berujar lembut selembut tatapannya kini membuat bulu kuduk Nadine meremang.
Tubuh Nadine terasa lemas dampak dari kecupan dan tatapan Zayn sampai kehilangan kata-kata.
Nadine buru-buru turun sebelum kekonyolan terjadi kembali.