Akibat Dari Sebuah Pernyataan

1284 Kata
Bima Cakra Group – Ruangan Nadine Nadine menekan pelipisnya, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Sejak acara amal beberapa hari lalu, hidupnya berubah menjadi kekacauan media. Ucapan kurang ajar Zayn di depan wartawan—“Aku tidak akan menyangkal bahwa aku tertarik padanya”—telah menciptakan badai yang tidak mudah dikendalikan. Dan makan malam bersama Zayn bukannya meredakan situasi, malah semakin memperburuk keadaan. 📌 “Kencan Romantis Zayn Rayden dan Nadine Arista: Hubungan Mereka Nyata?” 📌 “Makan Malam Berdua, Ciuman di Tangan? CEO Tampan Ini Makin Terbuka Tentang Nadine” 📌 “Bima Cakra Group atau Bima Cakra Love Story?” Sejak kapan ini berubah menjadi drama romansa publik? “Bu Nadine,” Arya masuk dengan ekspresi cemas. “Investor mulai mempertanyakan posisi Anda. Mereka menganggap hubungan Anda dengan Pak Zayn terlalu mencolok di media.” Nadine mengatupkan rahangnya. Tentu saja. Investor tidak peduli dengan drama pribadi. Mereka peduli pada stabilitas perusahaan. Dan sekarang, Bima Cakra Group mulai dianggap lebih sibuk dengan skandal CEO-nya daripada kinerja bisnisnya. “Apa yang mereka katakan?” tanya Nadine dengan nada serius. Arya menyerahkan dokumen berisi ringkasan pertemuan dewan komisaris pagi ini. “Beberapa dari mereka menganggap bahwa Anda terlibat dalam hubungan personal dengan Pak Zayn, yang bisa mengarah ke konflik kepentingan.” Nadine mencengkeram dokumen itu. Konflik kepentingan? “Apa sudah ada pernyataan resmi dari Pak Zayn?” Arya tertawa hambar. “Pak Zayn? Menanggapi rumor? Saya rasa itu di luar kamus hidupnya.” Nadine mengeram dalam hati. Arya benar sekali. Zayn tidak akan repot-repot menjelaskan apa pun—karena dia menikmati permainan ini. “Baik,” Nadine menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. “Kita harus segera mengendalikan ini.” Arya mengangguk. “Apa langkah pertama?” Nadine memandang dokumen di tangannya, lalu berkata dengan suara dingin, “Aku akan bicara langsung dengan sumber masalahnya.” Ruangan CEO – Zayn Rayden Natamanggala Nadine mendorong pintu ruang CEO tanpa mengetuk, tanpa peduli. Zayn, yang sedang duduk di kursinya dengan MacBook terbuka, mengangkat alis santai saat melihatnya masuk. “Ah, akhirnya kamu datang,” katanya dengan senyum miring. Nadine tidak membuang waktu. Ia melempar dokumen investor ke meja Zayn dengan suara keras. “Jelaskan ini.” Zayn melirik tumpukan kertas itu sekilas, lalu menatap Nadine seolah tidak terjadi apa-apa. “Dokumen menarik. Tapi aku tidak ingat pernah meminta bacaan pagi.” Nadine mengepalkan tangan. “Jangan pura-pura bodoh, Zayn. Ucapanmu di acara amal menciptakan masalah besar. Investor mulai meragukan profesionalisme kita.” Nadine mengesah nyaris frustrasi. Zayn menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya bertaut di d**a. “Dan apa masalahnya?” “Masalahnya?” Nadine tertawa kering. “Kamu baru saja menyeret namaku ke dalam skandal publik! Semua orang berpikir kita benar-benar punya hubungan.” Zayn menaikkan sebelah alis. “Dan kenapa itu masalah? Aku CEO perusahaan ini. Aku punya hak untuk tertarik pada siapa pun yang aku inginkan.” Nadine mendengus tajam. “Kalau begitu, aku punya hak untuk menyangkalnya.” Zayn tersenyum kecil. “Benarkah?” Nadine membeku sejenak. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara—sesuatu yang membuat perutnya bergejolak dengan cara yang tidak ia suka. Nadine mendekat ke meja, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Dengar,” suaranya lebih tenang sekarang, tetapi penuh ketegasan. “Aku enggak peduli permainan apa yang sedang kamu mainkan. Tapi ini pekerjaanku, Zayn. Aku enggak akan membiarkan namaku digunakan untuk mendukung citramu.” Zayn menatapnya lama. Lalu tiba-tiba, Zayn tersenyum miring. Nadine tahu ekspresi itu. Zayn baru saja menemukan permainan baru. “Apa yang kamu inginkan, Nadine?” tanyanya pelan. “Klarifikasi di media? Sebuah konferensi pers untuk mengatakan bahwa aku bohong?” Nadine mengatupkan rahangnya. Itu pilihan yang logis. Tapi ada satu masalah besar—jika mereka membuat klarifikasi terbuka, maka itu hanya akan memberi lebih banyak bahan bagi media untuk menggali lebih dalam. Mereka akan mempertanyakan setiap interaksi mereka, membandingkan pernyataan Zayn dengan sikapnya di depan publik. Akhirnya, Nadine sadar. Zayn tahu ini. Zayn sengaja membuat situasi ini rumit—karena ia tahu tidak ada jalan keluar mudah. “Baik,” Nadine akhirnya berkata, suaranya terdengar lebih dingin. “Kita tidak akan mengeluarkan klarifikasi.” Zayn mengangkat alis. “Oh?” Tidak percaya kalau Nadine setuju. “Tapi kita juga tidak akan membuat berita tambahan.” Nadine menatapnya tajam. “Kita harus mengontrol narasi. Aku akan memastikan media tidak mendapatkan bahan baru untuk spekulasi.” Zayn tertawa kecil. “Kamu ingin ‘menenangkan badai’?” “Aku ingin memastikan tidak ada skandal tambahan,” kata Nadine tegas. “Mulai sekarang, kita menjaga jarak di depan publik. Tidak ada momen manis, tidak ada pernyataan absurd, tidak ada insiden yang bisa diinterpretasikan sebagai ‘hubungan spesial’.” Zayn menatapnya lama. Lalu, dengan lambat, pria itu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah Nadine. Nadine menegang, tetapi tetap berdiri di tempatnya. Zayn berhenti tepat di depan Nadine lalu membungkuk sedikit agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah Nadine. “Aku harus mengakui sesuatu,” katanya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. Nadine menelan ludah. “Apa?” Zayn menyeringai. “Aku sangat menikmati melihatmu panik seperti ini.” Nadine mengeram. “Zayn—” Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Zayn sudah berbalik dan berjalan kembali ke kursinya. “Tapi baiklah,” katanya santai, seolah mereka baru saja mendiskusikan cuaca. “Kita lakukan sesuai keinginanmu. Aku akan ‘menjaga jarak’ di depan publik.” Nadine tidak tahu kenapa, tapi cara Zayn mengatakannya membuatnya lebih waspada. Seolah pria itu tidak benar-benar setuju… tapi malah sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar. Dan itu lebih mengkhawatirkan. *** Penthouse Zayn – Malam Itu Zayn menyandarkan tubuhnya ke sofa, segelas whiskey di tangannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan wajah Nadine. Kenapa wanita itu bisa mengganggunya sejauh ini? Setelah bertahun-tahun, tidak pernah ada wanita yang bisa mengendalikan cara berpikirnya seperti ini. Nadine memintanya menjaga jarak di depan publik. Seakan-akan ia hanyalah salah satu pria yang harus dihindari. Zayn mengambil ponselnya dan mengetik pesan cepat. Zayn: Datang ke apartemenku. Sekarang. Beberapa menit kemudian, balasan masuk. Cassandra: Hmm… Aku suka CEO yang tahu apa yang dia mau. Aku dalam perjalanan, sayang. Zayn membuang napas dan menyandarkan kepala. Tepat dua puluh menit kemudian, suara bel terdengar. Zayn membuka pintu dan melihat Cassandra berdiri di sana, mengenakan gaun ketat dan ekspresi menggoda. “Kamu terlihat tegang,” gumam Cassandra, tangannya melingkar di leher Zayn. Zayn menariknya ke dalam dan menutup pintu, membiarkan wanita itu menekan tubuhnya ke dinding. Cassandra mendekat, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Zayn. “Seharusnya aku lebih sering datang ke sini,” bisiknya. Zayn mencium Cassandra dengan brutal melampiaskan kekesalannya kepada Nadine lalu menarik satu kaki Cassandra agar melingkar di pinggangnya diikuti satu kaki Cassandra yang lain sehingga Zayn bisa membanya ke atas sofa. Tubuh Cassandra terhempas di sofa, Zayn menarik tali di pundaknya dengan tergesa untuk mengekspose bagian d**a lalu menarik ke atas bagian roknya dan ternyata Cassandra tidak menggunakan celana dalam. Mudah bagi Zayn memasuki Cassandra, dia mengayun tubuhnya memberikan hentakan nikmat. Tapi kemudian— Pikiran Nadine muncul di kepalanya. Cara wanita itu menatapnya dengan marah, suara dinginnya saat memintanya menjauh, dan ekspresi keras kepala yang membuatnya semakin ingin mendekat. Zayn tiba-tiba berhenti. Cassandra menyadari sesuatu. “Ada apa?” Dia merasa kehilangan. Zayn menyingkirkan dirinya dengan cepat. “Kamu harus pergi.” Pria itu menarik ke atas sleting celananya. Cassandra mengernyit. “Apa?” “Aku bilang, pergi.” Zayn berjalan ke arah pintu dan membukanya, menatap Cassandra dengan ekspresi datar. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendengus. “Serius?” Cassandra merapihkan pakaiannya. Zayn tidak menjawab. Cassandra menggelengkan kepala, lalu mengambil tasnya. “Brengsek.” Setelah wanita itu pergi, Zayn menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Bahkan dalam situasi seperti itu, ia hanya bisa memikirkan Nadine. Dan itu lebih mengganggunya daripada apa pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN