Jarak Yang Menyiksa

1107 Kata
Bima Cakra Group – Ruangan CEO Hari pertama Zayn menjaga jarak dari Nadine. Dan itu adalah neraka. Sejak pagi, Zayn memaksa dirinya untuk tidak mencari alasan untuk bertemu dengan Nadine. Tidak mampir ke ruangannya, tidak mengirim pesan konyol, tidak menyebut namanya dalam rapat—tidak ada kontak sama sekali. Seharusnya ini mudah. Tapi sialnya, setiap lima menit sekali, otaknya otomatis bertanya-tanya: Apa yang sedang dilakukan Nadine? Apakah dia juga memikirkannya? Atau malah merasa lega karena Zayn akhirnya tidak mengganggunya lagi? “Pak Zayn, ini laporan meeting pagi tadi.” Suara Rina, sekretarisnya, membuyarkan lamunan Zayn. Zayn menerima berkas itu tanpa benar-benar membaca. Matanya justru menangkap sesuatu di layar laptopnya. Sebuah foto yang baru saja diunggah ke media sosial Bima Cakra Group. Foto itu menunjukkan Nadine dan seorang pria sedang berbincang di kantin perusahaan. Pria itu tersenyum lebar ke arah Nadine, dan yang lebih menyebalkan… Nadine membalasnya dengan senyum hangat. Mata Zayn menyipit. Siapa b******n ini? “Rina,” katanya tanpa mengalihkan tatapan dari layar. “Ya, Pak?” “Siapa pria ini?” Zayn menunjuk layar laptopnya. Rina melirik sekilas, lalu tersenyum samar. “Oh, itu Pak Leonard Wijaya. Dia baru saja datang untuk pertemuan dengan Bu Nadine.” Nama itu langsung membuat Zayn ingin membanting sesuatu. Leonard Wijaya. Salah satu pengusaha media yang cukup berpengaruh. Lajang, tampan, dan dari rumor yang beredar—memiliki reputasi sebagai pria yang ‘mampu mendapatkan siapa pun yang dia inginkan.’ Zayn merasakan instingnya menjerit tanda bahaya. Tidak. Dia tidak bisa membiarkan ini. Bima Cakra Group – Ruangan Nadine Hari pertama tanpa Zayn dalam hidup Nadine. Dan, sejujurnya… ini terasa lebih aneh daripada yang dia kira. Biasanya, Zayn selalu menemukan alasan untuk mengganggunya. Entah itu mengomentari pakaiannya, mengiriminya pesan tidak penting, atau tiba-tiba masuk ke ruangannya hanya untuk membuatnya frustrasi. Tapi hari ini? Hening. Tidak ada tanda-tanda pria itu. Dan itu mengganggunya lebih dari yang ia harapkan. Nadine menghela napas dan mencoba fokus ke tamu yang duduk di depannya. Leonard Wijaya. Pria itu adalah gambaran sempurna dari eksekutif yang berkharisma. Setelan rapi, senyum ramah, dan cara bicara yang menenangkan. “Jadi, Nadine,” kata Leonard dengan santai. “Aku benar-benar tertarik dengan konsep pemasaran yang kamu susun untuk kerja sama ini.” “Senang mendengarnya, Pak Leonard.” “Oh, tolong. Jangan terlalu formal,” pria itu terkekeh. “Panggil aku Leo.” Nadine tersenyum tipis. “Baiklah, Leo.” Leonard menatapnya sebentar, sebelum berkata dengan nada lebih ringan, “Kalau boleh jujur, aku sebenarnya sudah memperhatikanmu sejak lama.” Nadine mengangkat alis. “Oh?” “Aku pernah melihat wawancaramu di salah satu acara bisnis tahun lalu. Sejak itu, aku selalu ingin bekerja sama denganmu.” Nada suara pria itu… lebih personal dari yang seharusnya. Dan sebelum Nadine bisa menanggapi, pintu ruangannya terbuka. Brak! Zayn berdiri di sana, menatapnya dengan mata tajam. Oh, sial. Nadine nyaris memutar mata. Serius? Baru satu hari dia menjaga jarak, dan sekarang dia sudah muncul dengan aura mengancam seperti ini? Leonard, yang tidak menyadari perubahan atmosfer, tersenyum santai ke arah Zayn. “Pak Zayn,” sapa Leonard dengan ramah. “Senang akhirnya bisa bertemu langsung.” Zayn menyipitkan mata, lalu melangkah masuk. Bukan sekadar masuk. Tapi langsung berdiri di samping kursi Nadine, seperti sengaja ingin menegaskan keberadaannya. “Oh, aku yakin kita pernah bertemu sebelumnya,” kata Zayn dengan senyum tipis. “Sayangnya, aku tidak terlalu memperhatikan.” “Astaga, Zayn!” Nadine mengeram dalam hati. Bajingan ini bahkan tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. Leonard tetap tersenyum, tetapi ada sedikit tantangan dalam sorot matanya. “Well, sekarang kita bisa mengenal lebih jauh,” katanya santai. “Aku sedang mendiskusikan kerja sama strategis dengan Nadine.” Zayn mendecakkan lidah. “Oh? Kerja sama? Aku harap itu satu-satunya alasan kenapa kamu ada di sini.” Nadine langsung menginjak kaki Zayn di bawah meja bersama pelototan mata penuh peringatan membuat Zayn nyaris mengumpat. Dia benar-benar harus mengendalikan dirinya. Tidak mungkin Zayn dengan sengaja menunjukkan bahwa dia terganggu. Tapi melihat pria lain menatap Nadine dengan penuh minat seperti itu membuat darahnya mendidih. Nadine, yang sudah muak dengan drama ini, langsung berdeham. “Baiklah, Leo. Kita akan lanjutkan pembahasan ini nanti. Aku akan mengatur jadwal pertemuan berikutnya.” Leonard tersenyum tipis. “Tentu. Aku akan menunggu.” Dan sebelum pergi, Leonard menatap Nadine sedikit lebih lama dari yang diperlukan. Rasanya Zayn ingin membanting sesuatu. Nadine menyilangkan tangan. “Apa-apaan tadi?” “Aku harap itu satu-satunya alasan kenapa kamu ada di sini.” Nadine mengulang kalimat Zayn kepada Leonard dengan nada meledek sembari memajukan bibir bawahnya. Zayn mendengus. “Aku hanya memastikan b******n itu tahu batas.” Nadine tertawa pendek. “Oh, jadi sekarang kamu penjaga pribadiku?” Zayn menatapnya lama. Kemudian mengusap wajahnya kasar. “Astaga,” gumamnya, baru menyadari sesuatu. “Kenapa?” Nadine mengernyit. Zayn menghela napas panjang, lalu menatap Nadine seolah-olah dia baru saja mengalami pencerahan besar. “Aku benci ini,” katanya akhirnya. Nadine menyipitkan mata. “Benci apa?” Zayn menatapnya lebih dalam. “…Aku benci melihat pria lain mencoba mendekatimu.” Nadine membeku. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Nadine ketus mengalihkan pembicaraan. Zayn terpaku, tadi dia bertindak impulsif tiba-tiba datang ke ruangan Nadine karena meradang melihat foto Nadine bersama Leonard. Dan sekarang Zayn tidak memiliki alasan yang bisa disampaikan kepada Nadine ada urusan apa datang ke ruangan ini. “Aku butuh laporan kemarin,” katanya meraih iPad Nadine di atas meja kemudian menggulir layarnya. “Kamu bisa chat aku, enggak perlu datang ke sini!” seru Nadine kesal. Zayn menyimpan kembali iPad di atas meja kerja Nadine kemudian mengikis jarak dengannya. Jantung Nadine tiba-tiba berdetak tak beraturan, perlahan kepalanya mendongak saat jarak Zayn semakin dekat. “Pekerjaan aku sangat berat, Zayn … menjalin kerjasama dengan perusahaan lain dan memunculkan citra baikmu di mata publik … jadi tolong, bekerjasama lah.” Nadine bicara baik-baik, siapa tahu si b******k ini mau mengerti. Cup. Dengan gerakan cepat Zayn mencuri kecup di bibir Nadine membuatnya membulatkan mata. “Zayn!” seru Nadine kesal saat Zayn sudah menarik langkah menjauh. Zayn menghentikan langkah kemudian berbalik. “Kamu janji akan mengikuti strategiku dengan menjaga jarak,” sambung Nadine dengan nada kesal dan tatapan marah. “Ya … aku bilang akan menjaga jarak denganmu DI DEPAN PUBLIK, sekarang kita hanya berdua.” Zayn mengedipkan satu mata sembari tersenyum penuh kemenangan. Blam! Pintu ditutup oleh Zayn dan refleks Nadine menjatuhkan tubuhnya di sofa sembari mengembuskan nafas berat. Apa tadi benar-benar terjadi? Nadine tertawa sumbang. “Dasar playboy, dia pikir aku akan baper?” “Aku malah benci cowok kaya kamu, Zayn!” Nadine bergumam sembari menatap kosong lurus ke depan. Pernah mengalami kegagalan cinta membuat Nadine tidak mudah mempercayai pria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN