Wanita Dari Masa Lalu

1359 Kata
Bima Cakra Group – Rapat Direksi Pagi itu, Nadine melangkah masuk ke ruang rapat dengan percaya diri. Hari ini, ia akan mempresentasikan strategi pemasaran terbaru untuk ekspansi Bima Cakra Group ke sektor media digital. Rapat ini penting. Investor hadir, dewan direksi lengkap, dan tentu saja—Zayn juga ada di sana. Dan pria itu terlihat lebih menyebalkan dari biasanya. Duduk di kursi utama, mengenakan setelan Armani yang sempurna, Zayn menyandarkan tubuhnya dengan ekspresi malas. Tatapan penuh penilaiannya tertuju pada layar proyektor, seolah menunggu sesuatu yang bisa dia kritik. Nadine berusaha mengabaikan tatapan itu dan memulai presentasinya dengan lancar. Slide demi slide ditampilkan. Strategi, target market, prediksi pertumbuhan—semuanya sudah ia susun dengan sempurna. Namun, tepat saat ia selesai berbicara… Zayn mengetuk jari di atas meja dan tersenyum tipis. “Menarik,” katanya santai. “Tapi aku punya pertanyaan.” Semua mata langsung tertuju pada Zayn. Nadine menatapnya tajam. “Silakan.” Zayn menyandarkan tubuhnya lebih jauh ke kursi, lalu berkata dengan nada tenang, “Kamu yakin strategi ini bisa berjalan tanpa mempertaruhkan terlalu banyak sumber daya perusahaan?” Nadine mengerutkan kening. “Tentu saja,” jawabnya. “Semua perhitungan sudah dibuat berdasarkan data pasar yang akurat.” Zayn mengangkat alis. “Jadi, kalau ini gagal, kamu siap bertanggung jawab?” Suasana ruangan langsung berubah tegang. Beberapa direksi saling bertukar pandang. Mereka terbiasa melihat Zayn kritis, tetapi kali ini pertanyaannya terasa lebih tajam dari biasanya. Dan Nadine tahu, ini bukan sekadar pertanyaan bisnis. Zayn sedang menantangnya. Menguji batasnya. Nadine menjaga ekspresinya tetap profesional. “Sebagai CMO, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk memastikan strategi ini berhasil,” katanya. “Jika ada tantangan di lapangan, saya akan mengatasinya.” Zayn menatapnya dalam, lalu tersenyum miring. “Baiklah. Aku akan menunggu hasilnya.” Nadine bisa merasakan nada tantangan terselubung dalam suara pria itu. Rapat pun berakhir dengan ekspresi skeptis dan ragu dewan direksi kepadanya. Para direksi mulai beranjak dari kursi, tetapi Nadine tetap duduk di tempatnya, menunggu ruangan sepi. Karena ia harus menghadapi Zayn sekarang juga. Bima Cakra Group – Ruangan CEO Zayn baru saja membuka laptopnya ketika pintu ruangannya terbuka tanpa izin. Dan, tentu saja, Nadine berdiri di sana dengan ekspresi penuh amarah. Zayn tersenyum kecil. “Astaga, kamu bahkan tidak mengetuk dulu.” Nadine mendekat dengan langkah tegas. “Zayn, apa yang baru saja kamu lakukan di rapat tadi?” Zayn menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Apa maksudmu?” “Kamu tahu maksudku,” Nadine mendesis. “Kamu sengaja menantangku di depan direksi. Kenapa?” Zayn menatapnya dengan intens. “Aku hanya ingin tahu seberapa siap kamu menghadapi tantangan.” Nadine tertawa kering. “Oh, jadi sekarang aku ujian? Sejak kapan pekerjaanku harus melewati ‘tes’ dari CEO sendiri?” Zayn menatapnya lama. Lalu, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahnya. Jarak mereka langsung mengecil. Nadine berusaha tetap tenang, tetapi cara Zayn berdiri terlalu dekat membuatnya sulit bernapas dengan normal. “Apa kamu takut gagal, Nadine?” bisik Zayn dengan membungkukan sedikit tubuh agar wajah mereka sejajar hingga nafas beraroma mint pria itu menerpa wajahnya. Nadine mengeram dalam hati. “Tidak,” jawabnya dengan tegas. “Aku hanya tidak suka diperlakukan seolah aku harus membuktikan diriku setiap saat.” Zayn miringkan kepalanya sedikit, matanya masih mengunci Nadine. “Menarik,” gumamnya pelan. “Aku suka caramu membalas.” Nadine mundur selangkah, mencoba menciptakan jarak. “Kamu bisa mencoba menggertakku, Zayn. Tapi aku tidak akan mundur.” Zayn tertawa kecil, tampak lebih puas dari sebelumnya. “Aku akan mengingat kata-katamu.” Nadine mengembuskan napas panjang dan berbalik. Saat ia mencapai pintu, tiba-tiba ponsel Zayn berdering. Dan sebuah suara yang sangat familiar terdengar dari ponselnya. Suara seorang wanita. “Hai, Zayn. Lama tidak bertemu .…” Langkah Nadine langsung terhenti mendengar suara wanita yang bocor melalui speaker ponsel Zayn. Siapa Wanita Itu? Zayn mengangkat telepon tanpa sadar bahwa Nadine masih di sana. “Hei,” jawabnya santai. “Aku tidak menyangka kamu akan menghubungiku.” Nadine berdiri diam di depan pintu, mendengarkan percakapan itu tanpa sengaja. Siapa pun wanita itu, suaranya terdengar halus dan menggoda. Dan entah kenapa, Nadine merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Cemburu? Tidak mungkin. Ia menepis perasaan itu dan mencoba melangkah keluar. Tapi ketika Nadine akan menutup pintu, Zayn melihatnya dan menutup telepon dengan cepat. Tatapan mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Zayn terlihat sedikit tidak nyaman. “Siapa wanita itu?” Nadine bertanya sebelum bisa menghentikan dirinya sendiri. Dan setelahnya dia menyesal. Zayn mengerjap, lalu tersenyum tipis. “Kamu penasaran?” Nadine mendengus. “Bukan urusanku.” Tapi ia tahu kalimat itu adalah kebohongan besar. Dan Zayn tahu juga. Nadine benar-benar keluar dari ruangan Zayn membawa gundah dan resahnya. *** Setelah Nadine keluar dari ruangannya, Zayn kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap layar ponselnya dengan ekspresi rumit. Nama yang baru saja muncul di panggilan masuk itu adalah nama yang sudah lama ia lupakan. Atau… lebih tepatnya, ia paksa untuk ia lupakan. Ariana Lysandra. Wanita pertama yang pernah membuatnya jatuh cinta dengan serius. Dan wanita yang pertama kali menghancurkannya. Dahulu, Ariana adalah segalanya bagi Zayn. Ia rela melakukan apa pun untuk wanita itu, hanya untuk akhirnya ditinggalkan begitu saja. Sekarang, bertahun-tahun kemudian, Ariana kembali. Dan yang lebih menarik lagi—dia ingin bertemu. Zayn mengetik balasan cepat. Zayn: Restoran Argento. 9 malam. Jangan terlambat. Ia tidak tahu apa yang Ariana inginkan. Tapi satu hal yang pasti—Zayn bukan pria yang sama seperti dulu. Restoran Argento – Malam Itu Ketika Zayn melangkah masuk ke restoran mewah itu, matanya langsung menangkap sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Ariana Lysandra masih secantik dulu. Berambut panjang, mata tajam penuh misteri, dan tubuh ramping yang masih terlihat anggun dalam balutan gaun elegan. Ketika Ariana melihatnya, senyum menggoda langsung terukir di bibirnya. “Zayn,” suaranya terdengar manis, hampir seperti racun yang dibungkus dengan madu. Zayn berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di hadapannya. Ia tidak langsung bicara, hanya menatap Ariana dengan senyum samar yang sulit ditebak. “Aku tidak menyangka kamu akan benar-benar datang,” kata Ariana, mengaduk anggur merah di gelasnya. Zayn menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku juga tidak menyangka kamu akan menghubungiku setelah sekian lama.” Ariana tersenyum kecil. “Well… Aku pikir kita bisa memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.” Zayn mengangkat alis. “Memperbaiki?” Ariana mengangguk, lalu menatapnya lebih dalam. “Kita dulu punya sesuatu yang spesial, Zayn. Aku bodoh karena melepasmu dulu. Dan aku tahu, aku mungkin tidak pantas memintamu kembali… Tapi aku ingin mencoba.” Zayn hanya tertawa pelan. “Aku penasaran,” katanya. “Apa yang membuatmu berpikir aku masih tertarik padamu?” Ariana menggigit bibirnya, ekspresinya seolah penuh penyesalan. “Aku tahu aku melukaimu dulu, Zayn. Tapi aku benar-benar ingin menebus kesalahanku. Aku ingin kita mencoba lagi.” Zayn menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Lalu, perlahan, ia tersenyum. Senyum yang tidak sepenuhnya tulus. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita lihat saja nanti.” Ariana terlihat terkejut, tidak menyangka jawaban itu. Tapi di balik keterkejutannya, jelas ada kilatan harapan di matanya. Dan itu cukup bagi Zayn. Karena dalam hati, ia tidak benar-benar ingin kembali dengan Ariana. Ia hanya ingin memainkan permainan ini. Ia ingin Ariana merasakan apa yang dulu ia rasakan. Dan dalam waktu dekat, ia akan mencampakkan wanita ini—persis seperti yang dulu Ariana lakukan padanya. Usai makan malam, mereka berdua berjalan ke lobby dengan Ariana merangkul lengan Zyan dan tidak mendapat protes. “Mau ke mana sekarang kita, Zayn?” Aruna bertanya, berharap Zayn akan membawanya ke Penthouse. “Sudah malam, Ariana … aku lelah dan besok ada meeting, kamu pulang lah … nanti aku hubungi lagi.” Zayn menunduk untuk mencium bibir Arianalalu memagutnya lembut. CEO b******k itu tidak peduli kalau tindakan tersebut terekam kamera paparazi. Ariana sampai mendesah karena Zayn memang sehebat itu dalam hal bertukar saliva. Zayn mengurai pagutan kemudian melangkah masuk ke dalam mobilnya yang baru saja berhenti di depan mereka. Menurunkan kaca jendela, Zayn melongokan kepalanya di saat Ariana masih terpekur mencerna apa yang baru saja terjadi. “Aku hubungi kamu nanti,” katanya sebelum akhirnya mobil bergerak melaju dengan kecepatan rendah. Angan Ariana melambung tinggi sementara Zayn tersenyum penuh kemenangan, dia selalu suka kalau berhasil memegang kendali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN