Rumah Nadine – Hari Minggu
Minggu pagi yang seharusnya menjadi waktu santai berubah menjadi bencana kecil dalam kepala Nadine.
Ia duduk di ruang tamu rumah orang tuanya, mengenakan piyama longgar dengan rambut masih berantakan. Di tangannya ada secangkir kopi hitam yang mulai mendingin karena terlalu banyak dipikirkan, terlalu sedikit diminum.
Matanya menatap kosong ke layar ponsel, berusaha keras untuk tidak mencari berita terbaru tentang Zayn Rayden Natamanggala.
Tapi gagal.
Tangannya bergerak sendiri, membuka aplikasi berita, dan seperti yang sudah ia duga… Zayn kembali menjadi headline.
📌 “CEO Bima Cakra Group Terlihat Bersama Ariana Lysandra, Mantan Kekasihnya”
📌 “Ciuman Mesra di Depan Restoran, Zayn dan Ariana Kembali Bersama?”
📌 “Sosok CMO Bima Cakra, Nadine Arista, Kembali Terpinggirkan?”
Yang terakhir membuat Nadine mendengus keras.
“Sialan,” gumamnya sambil meletakkan ponselnya di meja.
Ia tidak peduli.
Benar-benar tidak peduli.
Lagipula, apa urusannya kalau Zayn kembali dengan mantan pacarnya?
Apa pedulinya kalau pria itu mencium wanita lain di depan umum?
Apa haknya untuk merasa kesal?
Tapi masalahnya…
Kenapa dia merasa kesal?
Dan kenapa hatinya terasa sakit, seperti sedang diselingkuhi padahal dia dan Zayn bukan pasangan kekasih, pria itu hanya pernah menciumnya begitu lembut penuh damba seolah hanya Nadine satu-satunya wanita di hidup Zayn.
Nadine berusaha mengabaikan perasaan itu dan menyesap kopinya, tapi bahkan rasa pahit minuman itu tidak bisa menghilangkan kekesalannya.
Pikirannya masih berkutat pada telepon misterius di ruang CEO Zayn tempo hari.
Wanita itu pasti Ariana Lysandra.
Dan sekarang, Zayn benar-benar bertemu dengan wanita itu.
Nadine berusaha menepis perasaan yang bahkan tidak ingin ia akui sebagai cemburu.
Tapi caranya membaca berita tadi—dengan sorot mata tajam dan ekspresi kesal—mengatakan hal lain.
“Apa yang kamu lihat?” Suara Bunda mengagetkan Nadine.
Refleks, ia buru-buru mematikan layar ponselnya. “Enggak, Bun. Cuma berita biasa.”
Bunda menatapnya penuh selidik. “Berita tentang CEO kamu?”
“Bun!” Nadine mendesah keras.
Bunda tertawa kecil. “Nadine… Aku ini ibumu. Aku tahu kalau kamu kepikiran sesuatu.”
“Aku enggak kepikiran apa pun,” dalih Nadine, tetapi ekspresi Bunda tidak berubah.
“Yakin?” Bunda menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu tersenyum penuh arti. “Kamu sering kesal setiap kali membahas dia, tapi tetap mencari tahu tentang dia.”
“Aku cuma ingin memastikan perusahaan ini tidak terdampak skandalnya.”
Bunda terkekeh. “Ah… alasan klasik. Kamu kesal, Nadine. Dan kamu bahkan tidak menyadari kenapa.”
Nadine memutar bola matanya. “Aku enggak cemburu, Bun.”
“Siapa yang bilang kamu cemburu?” Bunda menaikkan alis.
Nadine terdiam.
Bunda hanya tersenyum penuh kemenangan. “Kamu baru saja menjebak dirimu sendiri, Sayang.”
Nadine buru-buru bangkit. “Aku ke kamar dulu.”
Bunda tertawa kecil saat melihat putrinya pergi dengan wajah yang mulai memerah.
Penthouse Zayn – Malam Itu
Zayn menatap ponselnya, membaca berbagai berita yang sedang mengguncang media.
📌 “Kembalinya Cinta Lama: Ariana Lysandra dan Zayn Rayden?”
📌 “Salah Satu Pasangan Paling Berpengaruh di Dunia Bisnis, Akankah Mereka Bersatu Lagi?”
Zayn tersenyum miring.
Mereka semua tertipu.
Ariana mungkin berpikir bahwa ini adalah kesempatan kedua untuk mereka.
Media mungkin berpikir bahwa Zayn benar-benar jatuh cinta lagi.
Tapi kenyataannya?
Ini semua hanya permainan balas dendam.
Dulu, Ariana meninggalkan Zayn saat ia masih berusaha membangun bisnisnya.
Kini, Ariana datang lagi, saat Zayn sudah menjadi pria yang paling berkuasa di industrinya.
Dan kali ini, Zayn yang memegang kendali.
Pikiran itu seharusnya memuaskannya…
Tapi, kenapa otaknya malah memikirkan seseorang yang lain?
Seseorang yang berambut hitam kecokelatan, yang selalu menatapnya dengan mata tajam penuh ketegasan…
Nadine.
Zayn mengusap wajahnya, berusaha mengusir pikirannya tentang wanita itu.
Denting bel pintu mengalihkan perhatiannya.
Ketika Zayn membukanya, Ariana sudah berdiri di sana dengan senyum penuh harapan.
“Hai…” Ariana menyapa dengan suara lembut.
Zayn menyandarkan tubuhnya ke pintu, menyilangkan tangan di d**a. “Kamu cepat datang.”
“Aku bilang aku ingin memperbaiki segalanya, kan?” Ariana melangkah masuk tanpa diundang, matanya berkeliling, menilai penthouse mewah itu.
“Kelihatannya hidupmu sudah berubah jauh sejak terakhir kita bertemu,” katanya sambil tersenyum tipis.
Zayn tidak menanggapi. Ia hanya berjalan menuju minibar dan menuangkan wine ke dalam dua gelas.
Ariana mengambil salah satunya, lalu menatapnya.
“Apa kamu sudah memaafkanku?” tanyanya pelan.
Zayn menyipitkan mata. “Kenapa kamu bertanya begitu?”
Ariana menunduk sedikit, memainkan gelas di tangannya. “Karena aku tahu aku menyakitimu dulu.”
Zayn tertawa pendek. Ya, kamu menyakitiku hingga.
Tapi bukan itu yang penting sekarang.
Zayn meletakkan gelasnya di meja, lalu berjalan lebih dekat ke arah Ariana.
Dia mengangkat dagu wanita itu, membuatnya menatap langsung ke matanya.
“Aku tidak suka hidup di masa lalu, Ariana,” bisiknya. “Tapi aku tidak keberatan… melihat apa yang bisa kita lakukan sekarang.”
Mata Ariana berbinar penuh harapan.
Betapa mudahnya wanita ini jatuh dalam jebakan.
Zayn mengecup bibir Ariana—cukup lama untuk membuatnya tersenyum, tapi cukup singkat untuk meninggalkan rasa penasaran.
“Pelan-pelan,” kata Zayn dengan senyum miring. “Kita baru saja memulai.”
Ariana tertawa kecil. “Baiklah, aku bisa menunggu.”
Zayn tersenyum puas.
Dia tahu Ariana sudah masuk ke dalam permainannya.
Zayn kembali mengikis jarak hingga tubuh mereka tanpa jeda, perlahan menunduk untuk memagut bibir Ariana yang merekah dengan gincu merah.
Pagutan brutal pun tercipta di sela Zayn menurunkan sleting gaun Ariana di belakang punggung lalu menanggalkannya hingga melingkari kaki wanita itu di lantai
Zayn menunduk untuk melihat bagian d**a Ariana, dalam hati membandingkannya dengan milik Nadine yang besar dan dia kecewa.
Dengan tatapan malas yang tidak disadari Ariana, Zayn melepas kaitan di punggung Ariana membuat dua gundukan nya terekspose dan menggelantung.
Zayn memainkannya dengan meremat lembut membuat Ariana terbuai, dia membalas sentuhan intim itu dengan meremat milik Zayn.
Ariana meraih satu tangan Zayn yang kemudian dia masukan ke dalam g-stringnya.
“Miliki aku seperti dulu lagi, Zayn.” Ariana berbisik lirih dengan tatapan berkabut.
Dengan gerakan cepat Zayn membawa Ariana ke atas sofa, menanggalkan celananya dengan Ariana terbaring membuka kaki lebar.
Senyumnya menggoda tapi entah kenapa Zayn merasa muak.
Setelah mengeluarkan miliknya, Zayn memasuki Ariana dengan kasar dan brutal.
“Aaaahhh … Zayn!” Ariana memekik.
Menulikan telinga, Zayn membalikan tubuh Ariana dan memasukinya dari belakang.
“Zayn, pelan!” Ariana kembali memekik.
Zayn mana mau berhenti, dia terus menghentak memuaskan fantasi liarnya akan bercinta dengan kasar.
“Zayn! Aaahh.” Tubuh Ariana menegang, mudah bagi Zayn untuk membuat pasangan bercintanya kalah telak, pria itu memang memiliki keahlian luar biasa dalam hal bercinta itu kenapa banyak wanita yang sudah pernah merasakan hentakan Zayn akan ketagihan.
“Zayn! Stop!” Ariana memohon, dia kelelahan berjam-jam digempur Zayn yang juga belum puas dan mendapatkan pelepasan.
Zayn membalikan tubuh Ariana hingga terlentang lalu memasukinya lagi sambil bersimpuh di antara kedua kakinya.
Satu tangannya terulur mencengkram leher Ariana yang wajahnya mulai memerah.
Zayn hampir hilang kendali tapi suara telepon menyadarkannya.
Melepaskan begitu saja miliknya dari dalam Ariana, Zayn bergerak mencari ponsel di atas meja.
“Hallo?” Zayn menjawab panggilan tersebut.
“Pak … sesuai perintah Bapak, saya menghubungi Bapak jam segini,” kata sekretaris Zayn yang sudah dia beri tugas sebelumnya.
“Oke … aku ke sana sekarang.” Zayn menyahut tidak sesuai dengan apa yang disampaikan sang sekretaris karena memang sedang berdrama.
“Siapa Zayn?” Ariana bertanya dengan tubuh masih polos karena dia pikir Zayn akan melanjutkannya.
“Aku ada urusan, kamu pulang sendiri.” Zayn menyambar kunci mobil lalu keluar dari penthousenya meninggalkan Ariana yang melongo bingung dan kehilangan.