Bab 12 | Di Bawah Ranjang

1752 Kata
Rayyan menghela napasnya panjang dan berusaha untuk menetralkan hatinya yang tiba-tiba memikirkan Rayya terlalu jauh. Tidak seharusnya ada racun seperti itu di otaknya, dia tidak perlu memuji Rayya atau merasa tersanjung dengan caranya, memang sudah menjadi tugas wanita itu sebagai seseorang yang bekerja di bawahnya. Tidak ada yang spesial sampai dia harus memujinya sejauh itu! “Ya sudah, ayo keluar. Saya sudah selesai dan mau berangkat sekarang dengan Devin. Nanti saya chat kamu password untuk masuk jika kamu sudah harus membuat makan malam.” Rayya beranjak dengan hati yang berat. “Rayya, kan, ngga tau password kamar Rayya, Abang. Rayya istirahat di sini aja, si, sebentar, abis itu, kan, langsung buat makan malem, ngapain bolak-balik ke kamar Rayya, coba?” Rayya masih mencoba mencari alasan, dan itu membuat Rayyan mendengus. “Devin yang akan memberi tahu password-nya nanti. Cepat keluar.” Dengan terpaksa Rayya menggeret kopernya dan beranjak menuju kamarnya yang terletak di sebelah kamar Devin. Berbeda dengan Rayyan, Devin langsung tersenyum begitu melihat Rayya keluar dari kamar Rayyan, dia lalu beranjak menuju kamar bertuliskan 3005 dan menekan digit angka hingga pintu terbuka. “Silahkan, kamar kamu. Selamat beristirahat.” Ucap Devin dengan nada yang ramah, sedangkan wajah Rayya masih ditekuk dan dengan tidak ikhlas masuk ke kamarnya. “Password-nya sudah aku kirim.” Devin menambahkan dan Rayya langsung mengangguk sambil berterima kasih. Begitu memasuki kamar dan menutup pintunya, entah kenapa bulu kuduk Rayya langsung meremang. Tentu saja kamar itu lebih kecil, tidak ada ruang tamu besar dan ruang makan mewah apalagi sampai dapur. Namun tetap saja, kamarnya nyaman dan sangat luas. Tapi, entah kenapa Rayya tetap merasa tidak nyaman, suasana kamarnya terasa suram dan mencekam. Namun, Rayya harus bertahan di sana setidaknya sampai Rayyan memberikan password kamarnya. Rayya lalu bergegas mandi dan membersihkan diri, dia tidak yakin dia bisa beristirahat dengan nyaman jika perasaannya sendiri saja merasa ketakutan dan tidak nyaman di sana. “Kenapa, ya? Aneh.” Bisiknya pada diri sendiri, bulu kuduknya masih berdiri saat dia menatap ke sekeliling. Tidak ada jendela besar apalagi bagian yang menghadap ke city view. Dindingnya tertutup rapat tanpa jendela. Dan Rayya benar-benar hanya duduk di single sofa yang ada di sana tanpa makan apa pun, dan tidak bisa tidur sama sekali meski pun ranjangnya terasa sangat nyaman. Dia lalu mengetik pesan untuk pria itu dan meminta Rayyan untuk segera memberi password pintu kamarnya. -Abang. Mana password-nya?- -Rayya harus beres-beres dapur dulu kan tadi belum diberesin. Rayya juga belum makan Abang, cuma ada cemilan di sini. Jahat, ih, Abang, biarin Rayya kelaparan, padahal Rayya yang bikin perut Abang kenyang. Ini, si, namanya, air s**u dibalas air comberan. Jahat banget-banget-banget.- Begitu kembali membaca pesannya sendiri, Rayya menggerutu dengan bibir mengerucut. Sampai sepuluh menit kemudian, pesannya tetap belum dibalas, dan entah kenapa Rayya merasa kamarnya semakin mencekam, seperti ada sesuatu yang mengintainya. Apakah ini hanya perasaannya saja karena terlalu paranoid dengan kemungkinan keluarga Raespati yang akan menemukannya, atau memang ada yang tidak beres dengan kamar itu? Pada akhirnya, sambil menunggu balasan dari Rayyan, Rayya keluar kamarnya dan memilih menunggu di depan kamar pria itu. -Abang, Rayya ngga nyaman di kamar Rayya ngga tau kenapa, Rayya udah nunggu di depan kamar Abang ini.- Kini, Rayya bukan hanya mengirim pesan, namun juga mengirim foto dirinya yang berdiri di depan kamar Rayyan. Dia mondar-mandir dengan hati yang gelisah, Rayyan belum juga membalasnya dan entah kenapa hal itu membuat Rayya semakin cemas. Hingga bunyi denting di ponselnya membuat wanita itu langsung membukanya secepat mungkin, bibirnya tersenyum lebar sambil melihat digit angka yang dikirimkan Rayyan, dia membukanya sambil melihat kiri dan kanam. Begitu terbuka, dia langsung masuk dan menutup pintunya dengan hati yang terasa lega luar biasa. Kamar milik Rayyan terasa hangat dan menenangkan begitu dia masuk, auranya sangat berbeda dengan kamar milik Rayya entah kenapa. Rayya tidak lagi mengecek ponselnya, dia terlihat sibuk menyiapkan makan malam untuk Rayyan sesuai dengan permintaan pria itu. Saat melirik jam begitu dia selesai menghidangkan semuanya, nyatanya waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rayya lalu keluar dan memilih menunggu di ruang tamu, barulah saat itu dia bisa menyentuh ponselnya lagi. Tidak ada pesan apa pun yang dikirimkan Rayyan, tentu saja, memang pria itu memiliki kepentingan apa dengannya selain request menu makanan? Rayya lalu inisiatif untuk memotret semua hidangan yang siap di meja makan dan mengirimnya pada Rayyan. -Abang, udah siap semua. Abang pulang jam berapa jadinya?- Rayya tersenyum-senyum sendiri setelahnya, kenapa dia merasa benar-benar mirip seperti seorang istri yang menunggu kepulangan suaminya? Namun pesannya tetap tidak dibalas oleh pria itu hingga menit-menit berlalu. -Abang, calon istrinya nanya dijawab kenapa? Udah dimasakin super enak dan spesial pake toping cinta juga. Jangan jutek-jutek, nanti kalo udah jatuh cinta sama Rayya kelimpungan loh kalo Rayya jutekin.- Rayya tertawa sendiri membaca pesannya, dia bahkan memukul-mukul lengan sofa karena merasa konyol dengan dirinya sendiri. Namun tetap saja, pesannya tidak dibalas sama sekali. Rayya mendesah lagi sambil menggerutu. “Sombong amat, sih, balas pesan doang ngga mau! Ngga tau terima kasih dasar!” Ucapnya yang lalu kembali merebahkan dirinya di sofa sambil menunggu kepulangan pria itu. Tiga puluh menit kemudian, Rayya mendengar suara pintu yang terbuka. “Abang!” Panggilnya sumringah, Rayyan hanya melewatinya dan mendengus lalu menuju ke kamarnya, tidak disangka Rayya mengikutinya. “Kamu apa-apaan?!” Rayyan langsung melempar jasnya ke arah Rayya begitu menyadari wanita itu mengekorinya. “Wangi, deh, jasnya, Abang!” Ucap Rayya sambil tertawa kecil dan justru memeluk jas itu. “Keluar, Rayya!” Teriak Rayyan dengan napas yang memburu. “Iya, ini, Rayya mau mastiin aja, Abang mau mandi dulu baru makan malam, kan? Biar Rayya bisa panasin makanannya nanti aja pas Abang udah lagi mandi, biar pas gitu loh pas lagi dinikmatin. Kalo Abang mau mandi nanti langsung Rayya panasin sekarang.” “Banyak alasan kamu! Sana panaskan sekarang.” “Yeeee galak banget si, Abang.” Ucap Rayya lalu keluar dari kamar pria itu dan menuju ke meja makan untuk menghangatkan semua makanannya. Saat Rayyan masuk ke ruang makan, saat itulah Devin juga datang sambil tersenyum lebar. “Duduk, Dev.” Rayyan mempersilahkan, Rayya memanyunkan bibirnya, dia yang masak kenapa dia tidak dipersilahkan? “Kenapa kamu? Mau makan sambil berdiri?” Tanya Rayyan dengan alis yang menukik tajam, barulah saat itu Rayya tersenyum dan mengambil duduk di depan pria itu. "Abang, tuh, bisa loh bilang ke Rayya, duduk Rayya, makan sama Abang. Bukan marah-marah terus, beneran darah tinggi nanti loh, Abang." "Ya kamu yang membuat saya darah tinggi." Rayyan mendengus lagi, selalu saja wanita itu menimpali setiap ucapannya. "Dehhh, galak banget! Untung ganteng." Gumamnya kesal. Namun, dengan cekatan dia menyiapkan makanan Rayyan seperti seorang istri yang berbakti dengan melayani suaminya. “Dev, kamu ambil sendiri, ya, kan? Aku di-training-nya jadi istri Abang, bukan kamu, jadi aku cuma ngelayanin Abang aja.” Ucap Rayya dengan nada riangnya. Sekali lagi Rayyan mendecak keras dan menatap tajam pada Rayya yang tidak pernah menjaga omongannya, sedangkan Devin memilih cari aman dengan mengangguk kaku dan menikmati makanannya. Setelah makan malam, Devin langsung berpamitan kembali ke kamarnya, sedangkan Rayya masih sibuk membereskan dapur sambil mencuci piringnya. Dia melama-lamakan cuci piringnya supaya bisa bertahan lebih lama di kamar pria itu. Rayyan yang sengaja menunggunya sudah mendengus kesal berkali-kali, pasalnya ini sudah hampir satu jam sejak Rayya sibuk membereskan dapur. “Rayya! Lama sekali, sih?! Saya mengantuk! Cepat pulang ke kamar kamu!” Rayyan yang tidak tahan akhirnya menyusul ke dapur. Rayya langsung tersenyum dan sedikit meringis. “Ya, udah, Abang tidur aja. Ini Rayya sekalian prepare buat besok pagi. Nanti kalo udah selesai Rayya pasti balik ke kamar, kok, Abang.” “Omongan kamu tidak bisa dipercaya! Sudah, besok pagi saja. Saya mengantuk, saya harus mengganti password-nya, takutnya ada penyusup yang tiba-tiba tidur di ranjang saya.” Rayyan membrikan tatapan tajamnya penuh kecurigaan, dan itu membuat Rayya meringis seolah tertangkap basah, memang itu yang sedang dia pikirkan. “Abang …. Rayya tidur di sini aja, ya? Rayya takut sama kamar Rayya, ngga tau kenapa auranya negatif banget. Rayya tidur di sofa aja gapapa, jangankan di sofa, di karpet lantai juga gapapa. Rayya ngga berani di kamar sendirian, Abang.” “Banyak alasan kamu! Tidak ada toleransi lagi untuk kamu! Keluar sana! Aura negatifnya itu karena diri kamu sendiri! Saya tidak peduli dengan ketakutan dan segala alasan tidak berdasar kamu yang ingin tinggal dengan saya. Kamu mengerikan, bagaimana bisa ada wanita yang dengan sukarela memilih tidur satu ruangan dengan pria asing dibanding memiliki ruangannya sendiri yang dipastikan aman? Memang gila kamu! Atau kamu memiliki maksud lain? Menjebak saya mungkin?” Rayyan sudah maju dan menatap tajam pada Rayya, tangannya bersidekap di depan d**a dengan raut mengintimidasi, dan entah kenapa Rayya menjadi gugup sendiri. “Ya Allah, Abang. Jahat banget pikirannya. Demi Allah, Rayya cuma takut di kamar itu, ngga ada maksud apa-apa, apalagi sampe punya maksud buat ngejebak Abang. Rayya ngga kepikiran, kan, Abang juga bisa kunci pintu kamar Abang, Abang bakal tetep aman sampe pagi, Rayya ngga mungkin masuk, Rayya cuma mau numpang tidur di sofa, ya, Bang? Rayya takut banget.” “Keluar, Rayya! Ketakutan kamu itu tidak berdasar!” Rayyan sudah mencengkram pergelangan tangannya, dia menarik Rayya dengan sedikit kuat untuk bisa keluar dari unit miliknya. Rayya menghela napas panjang dan menatap Rayyan dengan nanar begitu diusir oleh Rayyan, bahkan pria itu langsung menutup pintunya dengan keras dan meninggalkan Rayya yang mulai gemetar dan merasa sesak untuk kembali ke kamarnya. Biasanya, feeling Rayya kuat jika ada sesuatu yang janggal, selama ini, jika dia mengabaikan feeling-nya, maka sesuatu yang buruk itu benar-benar terjadi, namun kali ini bukannya dia mengabaikan, namun dia tidak memiliki pilihan lain. Dengan tangan yang gemetar entah karena apa, Rayya membuka lagi kamar itu, memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan jika tidak ada apa pun di kamarnya. Dia langsung sikat gigi dan mencuci muka, berharap bisa tidur secepatnya dan pagi akan cepat datang. Namun, baru saja dia merebahkan tubuhnya di ranjang barang lima menit, dia mendengar suara yang diketuk-ketuk di bawah ranjangnya, cengkeraman tangannya langsung mengerat ke selimut, dia meraih ponselnya dan langsung mendial nomor Rayyan. Namun, ketukan itu justru semakin cepat dan keras. “Siapa?!” Teriaknya, memekik antara kesal dan ketakutan. Dia memberanikan diri untuk menengok ke kolong ranjang. Dan saat dia melihat ke bawah, jantungnya rasanya lolos ke perut melihat ada seseorang di kolong ranjangnya, yang juga menatapnya dengan senyum sumringah seperti seorang predator yang siap menerkamnya. “Argghhhh” Rayya langsung lompat dari ranjang dan berlari ke arah pintu, namun pria itu langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan menarik Rayya lalu mendorongnya kembali ke ranjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN