Bab 8 | Hey, Kamu!

2439 Kata
Rayya menggeliat pelan saat mendengar alarm ponselnya berdering, dia mengerjap dan melirik waktu yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Sambil menguap dan menggeliat, Rayya meraih ponselnya dan mematikan alarm itu, lalu mengecek pesan yang semalam belum terbalas dari mereka-mereka yang menjadi penghuni tetap kontak ponselnya. Pesannya pada Rayyan diabaikan begitu saja setelah Rayya menggodanya sambil mengirim emotikon cium dan lidah yang memelet dengan kedipan manja. Oh, ada pesan balasan dari Devin yang baru dibalas pria itu satu jam yang lalu. -Jam enam pagi kita ke bandara.- Rayya mengangguk sendiri membaca informasi yang baru dikirimkan Devin. -Ok. Noted.- Itu balasan lain dari Devin terkait Rayya yang memberikan ukuran bajunya. Dia mengatakan pada Devin jika semua ukuran bajunya di size medium. Rayya lalu beranjak dari ranjang, menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi, sambil mengecek pakaian dalamnya yang ternyata masih sedikit lembab. Dia langsung menyalakan hair dryer yang memang tersedia di sana, lalu mengeringkan bra dan underwear-nya selama beberapa menit hingga dirasa kering. Dia lalu kembali menutupi tubuhnya dengan bathrobe, dia ikat kencang bathrobe itu dan keluar dari kamar untuk membuat sarapan sebagai tugas pertamanya. Rayya tidak ingin ada kesalahan atau sampai mengecewakan. Misinya lebih dari sekedar memberikan kinerja terbaik pada Rayyan, namun juga membuat pria itu jatuh cinta padanya. Untuk menu pertamanya, Rayya memutuskan membuat nasi liwet pagi ini, lengkap dengan lauk, sayur, lalapan dan sambalnya. Pokoknya akan Rayya buat spesial dengan pelet cinta untuk pria itu. Rayya menurunkan suhu AC nya lebih rendah, ternyata dia merasa kepanasan bolak-balik di dapur mengerjakan ini dan itu memakai bathrobe. “Nasi sudah dimasak. Cek. Ayam sedang diungkep. Cek.” Rayya menggumam sendiri dan sibuk membuat menu selanjutnya, dia akan membuat dua jenis sambal. Sambal terasi dan sambal tomat. Supaya lebih mantap. Rayya patut mengacungi jempol untuk dapur pria itu yang super lengkap bukan hanya dari bahan-bahan memasaknya, namun alat-alat memasaknya juga sangat lengkap. Lengkap di sini yang membuat Rayya takjub adalah bahkan cobek dan ulekannya tersedia, dan terletak di kabinet bawah. Bibirnya sampai menganga, Taipan Muda mana yang super tajir melintir tapi masih menyimpan alat masak tradisional? Rayya rasanya perlu mendengar banyak hal tentang kebiasaan makan pria itu kepada Devin. Dia bukan hanya penasaran, namun benar-benar dibuat takjub dan penuh rasa ingin tau disertai alasannya tentang hal-hal tidak umum terkait selera makan pria itu. Rayyan terbangun bukan karena alarm di ponselnya seperti biasa, namun harum masakan yang membuat perutnya langsung membunyikan alarmnya sendiri karena tiba-tiba saja lapar di pagi yang masih gelap itu. Pria itu beranjak untuk mencuci muka terlebih dahulu setelah mengingat jika sejak semalam bukan hanya dia satu-satunya penghuni di apartemennya. Ada wanita jadi-jadian yang sialnya dia butuhkan kemampuannya dan membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain bertahan untuk sementara waktu. Begitu dia keluar kamar, semakin mendekat ke arah dapur, wanginya semakin semerbak dan rasanya Rayyan ingin sarapan di pagi buta saat itu juga. Namun Rayyan tersentak begitu memasuki dapur hingga langkahnya refleks mundur dua langkah. Rayyan menyugar rambutnya dengan erangan kekesalan. Bahkan di saat dia baru membuka mata, wanita itu tetap saja membuatnya naik pitam dengan hal-hal tidak terduga yang dilakukannya. Astaga! Ini masih pagi! Apa yang ada di kepala wanita itu sebenarnya? Rayyan benar-benar ingin membedahnya. “Apa yang kamu lakukan?!” Nada suara Rayyan tajam dan menusuk ke telinga Rayya. Wanita itu juga terkejut dengan kemunculan Rayyan. “Ihhh … Abang …. Pagi-pagi bikin kaget aja. Pertanyaan Abang aneh, tau, ngga? Pake nanya lagi apa? Lagi goyang koplo. Ya, lagi buat sarapan, lah.” Rayya tetap terlihat sibuk mengulek sambelnya. “Maksud saya, kenapa kamu memasak memakai bathrobe?!” Rayyan ikut kesal, dia memijit pelipisnya yang tiba-tiba pening dengan kelakuan Rayya yang selalu di luar prediksi. Orang waras mana yang memiliki pikiran memasak dengan memakai bathrobe?! Sudah jelas wanita itu memang tidak waras! Astaga! Rayyan mendesah lagi dengan kelakuan wanita absurd itu. “Ya, kan, semua gara-gara Abang, udah dibilangin Rayya ngga punya baju lain, semalem udah melas-melas supaya Abang mau minjemin baju malah ngga dikasih.” Wanita itu masih tetap mengulek tanpa menatap ke arah Rayyan, tangannya terangkat untuk menyingkirkan anak rambutnya yang jatuh ke kening. “Baju Rayya yang semalem udah bau asem, emang Abang mau, Rayya masak pake baju bau asem? Bisa-bisa keringetnya Rayya peres, Rayya jadiin tambahan bumbu.” Rayyan mendecak mendengar ucapan dramatis wanita itu. “Makanya ini Rayya pake bathrobe. Rayya mikirin Abang, loh, ini. Kurang berdedikasi apa coba Rayya sebagai koki pribadi? Selalu mastiin badan Rayya bersih dulu sebelum buat makanan buat Abang.” Barulah wanita itu membalikkan badannya sambil membawa cobeknya ke meja pantry di mana Rayyan sedang bersandar. “Tapi Rayya tetep pake daleman, kok, Abang. Dalemannya Rayya cuci semalem dan Rayya keringin pake hair dryer, Abang jangan mikir m***m kalo Rayya ngga pake apa-apa di balik bathrobe ini, ya!” Rayya mengerling jenaka menuju meja makan sambil membawa sambal buatannya, meninggalkan Rayyan yang melongo mendengar ucapan vulgar wanita itu dengan rahang yang mengeras. “Abang, ih, mukanya santai aja kenapa, si? Masih pagi ini. Matahari juga belum terbit, tuh.” Rayya kembali masuk ke area dapur yang memang memiliki konsep open space itu. “Benar-benar sinting kamu! Mulut kamu benar-benar minta dijahit!” “Tapi mulut Abang yang jahit, ya? Kalo dijahit pake mulut Abang bisa Rayya pertimbangin deh.” Rayya membalasnya dengan santai, kali ini mengambil nasi dan membawanya ke meja makan. Sekali lagi, Rayyan mengusap wajahnya kasar, benar-benar tidak mengerti dengan bagaimana cara berpikir wanita itu yang seolah tidak memiliki ketakutan. Seharusnya wanita itu memiliki rasa takut akan kemungkinan Rayyan yang mungkin saja akan menerkamnya dan memerkosanya, kan? “Apa kamu tidak punya rasa malu membicarakan hal-hal tabu seperti itu pada pria, hah?! Atau kamu tidak takut jika saya akan memerkosa kamu?!” Rayyan kali ini menatapnya tajam. Rayya langsung menyatukan tangannya di depan d**a dengan menunjukkan ekspresi ketakutan. “Takutttt, Abangggg.” Ucapnya sambil mengedip-ngedip manja. Kali ini dia mengambil lauk pauk dan sayurnya ke meja makan, lalu kembali berhenti di depan Rayyan. "Abang, tolong rapiin rambut Rayya, dong, ini jatuh-jatuh ke jidat jadi nyulek ke mata." Wanita itu bahkan sudah mencondongkan wajahnya, memang rambutnya sedikit lepek dan berantakan hingga menutupi sebagian keningnya. "Saya sedang menahan diri untuk tidak menjambak rambut kamu, Rayya!" Desis Rayyan dengan tangan yang mengepal kuat dan dia angkat di depan wajah Rayya, seolah kepalan tangannya bisa melayang saat itu juga untuk menonjok wajahnya. Namun, Rayya bahkan tetap tersenyum dan tidak terlihat takut sama sekali saat bogem itu hanya berjarak tiga senti dari wajahnya. "Oh, Abang sukanya main kasar, ya? Ih, makin takut dan penasaran, deh, Rayya. Kok Abang udah spill gaya favorit, si? Emang udah siap bawa Rayya ke KUA? Kalo kita udah sah, Abang minta gaya apa aja bakal Rayya jabanin, mau lembut mau keras, gas pokoknya, Abang." Rayya kembali mengedip-ngedip manja. Rahang Rayyan semakin mengeras sempurna dengan kepalan tangan yang akhirnya maju dua centi lebih dekat ke wajah Rayya, namun pada akhirnya pria itu mundur dan menjauh dengan decakan kerasnya. Rasanya semua ucapannya selalu mental dan Rayyan bahkan tidak memiliki sedikit pun clue bagaimana menjinakkan wanita gila di depannya kini. Pada akhirnya pria itu beranjak keluar lagi dari dapur, napsu makannya yang tadi meningkat pesat langsung terjun bebas menghadapi wanita sinting itu. “Abanggg … Ihhh, mau ke manaaa? Ini sarapan dulu. Rayya udah buatin nasi liwet lengkap bin spesial. Rayya minta maaf, Abang.” Rayya kini mencegahnya, mulai merasa sedikit bersalah karena tidak menanggapi pria itu dengan serius. “Rayya niatnya kan, becanda, abis muka Abang serius mulu, cape tau, Rayya lihatnya, itu urat-uratnya tegang mulu. Hidup tuh harus dinikmati kali, Abang. Banyak senyumnya, banyak ketawanya, genre hidup Abang horor mistis apa gimana, si? Susah banget buat ketawa, deh!” “Diam kamu!” Rayyan kembali melanjutkan langkahnya, dan Rayya kembali maju sambil merentangkan tangan lalu menghadang langkah pria itu. “Abang, ih, Rayya buatin sarapan itu buat Abang. Katanya Devin kita berangkat jam enam. Rayya mau masuk kamar lagi ini kalo-kalo Abang ngga kuat liat kecantikan dan pesona Rayya pagi-pagi yang cuma pake bathrobe.” Tetap saja, meski pun menyampaikan tujuannya, wanita itu tetap menggoda dan membual di akhir dengan mulutnya yang berbisa. “Minggir!” Rayyan langsung mendorongnya dan kembali masuk ke kamarnya, membuat Rayya mendengus kesal. Dia lalu mengetuk pintu kamar pria itu. “Abang, Rayya masuk kamar ini. Abang tolong itu dimakan sarapannya, mubazir, Abang. Apalagi enak. Rayya ngga akan ganggu Abang, deh. Rayya keluar nanti kalo Devin udah dateng dan bawa baju Rayya.” Rayya lalu beranjak dari kamarnya, kini benar-benar merasa bersalah karena membuat mood pria itu anjlok, padahal, kan, Rayyan datang ke dapur pasti karena kelaparan setelah mencium harumnya wangi masakan. “Aishhh, Rayya! Kamu, si, mulutnya makin kotor.” Rayya mengacak rambutnya dengan kesal dan memukul ringan bibirnya yang semakin sulit difilter jika sudah berhadapan dengan pria itu. Tidak disangka, belum lama Rayya masuk ke kamar, pintunya diketuk, tanpa suara, hanya ketukan pintu. Rayya lalu beranjak untuk membukanya, dan saat dia pintunya terbuka, dia mendapat lemparan baju tepat mengenai mukanya. “Pakai!” Ucap Rayyan masih mendelik kesal dan berdiri di depan pintu dengan tatapan jengah setelah melempar setelan baju training pada Rayya. “Ihhh, Abanggg … Rayya, kan, jadi meleleh. Abang kaya es krim, deh, dingin-dingin tapi bikin meleyot.” Bibirnya tersenyum lebar dengan mata yang berkedip genit, namun Rayyan langsung mendecih dan meninggalkan wanita itu menuju ke meja makan untuk melanjutkan niatnya sarapan sepagi ini. Rayya mengunci pintu kamarnya dan melihat baju training abu-abu yang kini ada di tangannya, dia endus-endus baju itu yang memiliki wangi yang khas, dan bibirnya kembali tersenyum sumringah. “Aihhh … ini pasti wanginya Abang. Bikin mabuk kepayang, deh, ah.” Gumamnya sambil tertawa. Rayya lalu menarik simpul tali bathrobe-nya dan bergegas untuk mengganti pakaiannya. Setelahnya, wanita itu kembali keluar dan menuju ke ruang makan, melihat Rayyan yang bahkan sudah menikmati sarapannya dalam diam. “Abang, butuh sesuatu lagi?” “Butuh kamu keluar dari sini. Kamu membuat napsu makan saya hilang.” Ucap Rayyan dengan nada tegas. Kali ini Rayya tidak membantah dan hanya mengerucutkan bibirnya sebal. Justru Rayyan yang dibuat sedikit bingung dengan tingkah Rayya, kenapa wanita itu tidak lagi mendebatnya dengan ucapan-ucapan konyol tidak masuk akalnya? Apa karena dirinya yang sedang makan, dan Rayya akan merasa bersalah jika terus mengganggunya? Ah, Rayyan mulai memahaminya kini. Satu hal yang telah dia dapatkan untuk membungkam mulut wanita itu. “Rayya mau mandi lagi, deh, ya, Abang. Kalo butuh dibuatin yang lain tunggu dua puluh menit lagi.” Rayya kembali melongokkan kepalanya ke dapur, senyumnya tetap cerah, wanita itu bahkan melambai-lambaikan tangannya sambil berpamitan. Rayyan hanya memutar bola matanya malas, dan dengan gerakan tangannya dia mengusir Rayya untuk menyingkir dari pandangannya. “Ughhh …” Rayyan kembali menyendok nasi ke piringnya yang sudah bersih, ronde kedua karena dia belum merasa puas untuk menghabiskan nasi liwet yang terasa begitu nikmat di sarapannya pagi ini. Sambalnya, pedasnya langsung menyatu di lidah, ayamnya juicy dan matang sempurna dengan bumbu rempah yang kuat, urap sayurnya juga teksturnya pas. Semua kombinasi itu benar-benar sempurna dan terasa sangat nikmat sampai ke ubun-ubun, dan Rayyan bahkan sampai menambah. “Sial! Kenapa bisa seenak ini?” Rayyan menggumam lirih sambil mendesis. Selama ini, semua masakan mantan-mantan koki pribadinya hanya memiliki level enak dan cocok di lidahnya, namun buatan Rayya benar-benar lebih dari enak, terlalu nikmat yang membuat Rayyan selalu ingin menambah lagi dan lagi. Jika terlalu enak seperti ini, dia takut seleranya berubah lebih tinggi, sehingga akan lebih susah bagi koki-koki yang akan menggantikan Rayya untuk memenuhi standar kriterianya yang sudah berubah dan harus bisa menyamai rasa enak seperti yang dibuat Rayya. “Wanita itu benar-benar!” Rayyan mengerang sendiri dengan rasa frustasi, takut jika dia semakin bergantung pada setiap kenikmatan makanan yang dibuatkan Rayya. *** Mereka tiba di bandara sekitar jam setengah tujuh pagi, Rayya memakai masker dan topinya, langkahnya terlihat tidak tenang dan selalu berusaha untuk menyamai Rayyan, padahal Devin ada di belakang mereka. Melewati imigrasi, jantung Rayya semakin berdebar tidak karuan dengan telapak tangan yang sudah berkeringat dingin. Bagaimana jika ada orang-orang Raespati yang sudah menempatkan penjagaannya di bandara dan akan langsung menangkap Rayya? Rasanya itu sangat mungkin. Makanya, semakin mendekat untuk pemeriksaan imigrasi, Rayya semakin diserang kepanikan hingga perutnya terasa melilit. “Sariawan kamu?” Tanya Rayyan tiba-tiba saja, melihat Rayya yang terus diam sepanjang perjalanan menuju ke bandara. “Cie perhatian, ya, Abang? Kangen sama suara merdu Rayya, ya?” Di keadaan genting seperti ini, pun, dia tetap bisa membalas ucapan pria itu dengan candaan. Tentu saja dia harus bisa, supaya Rayyan tidak curiga dan mulai mengulik tentang dirinya. “Ya, soalnya Rayya mau pergi sama taipan muda kaya raya kebanggaan Indonesia, gimana ngga grogi. Takut banget loh diserang fans Abang.” Ucap Rayya yang terus berdiri di belakang Rayyan. “Sinting kamu.” “Abang, ih. Minim kosakata, ya? Nih Rayya ajarin kosa kata lain selain sinting, kamu. Stress, kamu. Gila, kamu. Next-nya pake ini, Abang, kalo mau ngatain Rayya. Cantik, kamu. Manis, deh, kamu. Pinter, banget, si, kamu. Calon istri idaman, kamu.” Rayyan langsung menoleh ke belakang dan memberikan death glare-nya pada Rayya, sedangkan Rayya justru tetap menunjukkan senyum manisnya. Devin yang berada di barisan paling belakang hanya bisa mengusap tengkuknya sambil menahan tawa mendengar percakapan absurd wanita itu dengan bosnya yang selalu berhasil mengocok perut. Paginya kembali menjadi lebih berwarna dan indah kali ini. Seorang petugas mendatangi Rayyan, dan membimbing Rayyan menuju ke alinea yang berbeda setelah diarahkan oleh salah satu petugas bandara. Line-nya lebih cepat seolah menggunakan jalur fast track. Oh, mungkinkah karena pria di depannya adalah taipan kaya raya? Sehingga gratifikasi bisa berlaku di keiimigrasian? Ah, Rayya tidak tau, persetan dengan gratifikasi dan sejenisnya. Yang dia butuhkan adalah cepat naik pesawat dan bisa keluar dengan selamat tanpa dicekal atau ditahan di kantor imigrasi. Jika dia tertahan, maka tamatlah riwayatnya! Benar-benar tamat, bahkan sebagai koki pribadi pria itu dan juga misinya untuk membuat Rayyan jatuh cinta. Rayyan melenggang kangkung melewati imigrasi. Sudah barang pasti! Kali ini giliran Rayya, keningnya sampai sudah berkeringat, saat dia menghadap ke petugas imigrasi dan petugas itu mencocokkan wajahnya dengan foto di passport-nya, jantung Rayya rasanya langsung berdetak brutal tidak karuan. Kenapa saat bagian dirinya jadi lama sekali? Bahkan Devin yang tadi ada di belakangnya sudah lolos, kenapa dirinya tidak diloloskan saja? Padahal, kan, sudah jelas Rayya pergi dibawa oleh pria berpengaruh itu? Barulah setelah beberapa saat passport-nya di kembalikan dan dia dipersilahkan melewati imigrasi. Namun, baru saja dia melangkah melewati pintu imigrasi, sebuah suara dengan lantang memanggilnya. “Hey, kamu!” Dan saat Rayya melihat ke arah Rayyan dan Devin, kedua pria itu juga mengernyit dengan tatapan menuntut tanya pada Rayya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN