Di area pedagang makanan kaki lima, Maira bak bocah yang baru menginjakkan kakinya di dunia luar. Melihat aneka makanan yang berjejer membuat perutnya riuh. Mulutnya penuh dengan liur. Berkali-kali ia menelan ludahnya sendiri karena penampakan dan aroma makanan yang begitu nikmat.
"Mau beli apa?" tanya Evan saat melihat Maira sibuk memerhatikan semua makanan. Namun, tak ada satupun yang ia hampiri.
Maira malu dan ragu. Ia khawatir makanan di sana mahal. Ingin rasanya ia mencicipi semua makanan di sana, tapi tidak mungkin 'kan?
"Em, nggak tau," jawab Maira malu-malu sambil garuk kepala. Evan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis itu. Evan lantas menyeret lengan Maira pelan menuju ke salah satu pedagang martabak manis.
"Mau itu?" tawar Evan. Dengan malu-malu, Maira mengangguk. "Suka rasa apa?"
"Keju," jawabnya sambil menelan ludah saat melihat penjual mengemas seporsi martabak manis ke dalam kotak.
Evan mengangguk, kemudian berbicara dengan penjualnya. "Mas, pesan satu, ya. Isi keju. Nanti kami balik lagi sini," ujar Evan.
"Siap, Bos," sahut penjual martabak. Evan lantas menyeret Maira ke pedagang sate. Sama seperti tadi, ia pun memesan satu porsi sate Madura.
"Mau tahu krispi?" Seperti sapi dicolok hidungnya, Maira mengangguk.
Evan mengajak Maira menghampiri satu persatu penjual makanan di sana. Sampai Maira lupa apa saja yang sudah mereka beli.
"Om, Om, Om, cukup deh. Ini udah banyak banget. Entar nggak habis makannya," ujar Maira saat sadar.
"Beneran? Aku nggak mau ya entar tiba-tiba setelah pulang kamu bilang, duh, kenapa nggak beli itu juga sih? Kan pengen," ujar Evan menirukan gaya bicara Maira membuat Maira terkekeh.
"Is, Om, nggak gitu, ya. Aku nggak serakus itu," gelak Maira.
Evan menyungging senyum tipis. "Aku mau beli bandrek dulu. Kamu mau? Atau kamu mau itu, Thai tea?"
"Mau," seru Maira semangat. Semakin tertariklah sudut bibir Evan. Padahal ia pun memiliki adik perempuan, tapi Naysila tidak pernah bersikap demikian. Naysila tipe manja dan pemaksa. Apa yang ia mau, harus dituruti. Hal itu karena Naysila dulu terakhir prematur dan hampir saja meninggal karena kondisinya yang lemah pasca dilahirkan. Oleh sebab itu, kedua orang tuanya jadi begitu memanjakan Naysila.
Pukul 10, akhirnya mereka tiba di apartemen. Maira yang baru kali itu menginjakkan kakinya di tempat seperti itu jelas kagok sendiri.
"Keren banget," gumam Maira sambil berjalan pelan di belakang Evan. Terlalu fokus memperhatikan sekitar, Maira sampai tidak sadar sudah menabrak punggung Evan.
"Aduh," ucapnya. Ingin mengusap dahi, tapi kedua tangannya penuh dengan makanan.
"Makanya kalau jalan itu liat-liat," omel Evan.
"Om, ini punggung apa tembok sih? Kok keras banget. Pasti jidad aku merah deh," sungut Maira.
Sambil menahan tawa, Evan pun menjawab.
"Ya punggunglah. Masa' aku bawa tembok ke mana-mana."
"Ya, siapa tau Om pasang perisai di belakang badan, Om."
Evan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Maira yang terlihat kekanakan, tetapi ... menggemaskan.
"Kenapa aku malah bilang menggemaskan? Bukannya aku ingin memanfaatkan dia untuk membalas perbuatan ibunya?" keluh Evan dalam hati.
Ya, sebenarnya selain memanfaatkan Maira untuk menutup aib, Evan pun sebenarnya ingin memanfaatkan Maira untuk membalas kekesalannya pada Renita melalui Maira. Namun, lihatlah ini, baru dua hari, bukannya membalas, Evan justru memperlakukannya dengan baik. Meskipun mereka kadang bertengkar, tapi Evan yang memang dasar orangnya baik, susah sekali untuk melakukan pembalasan. Yang ada justru ia menuruti keinginan Maira.
"Ini unitku," ujar Evan sambil menunjukkan salah satu pintu unitnya.
Tangan Maira bergerak untuk menggaruk kepala, tapi saat sadar apa yang ada di tangannya, ia mengurungkannya.
"Om, gimana besok aku mau pergi, ya? Sumpah, aku nggak ngerti cara naik dan ke sini. Ini di mana? Lantai berapa? Mana pintunya sama semua pula. Entar aku salah masuk ruangan, gimana? Enak kalo masuk ke ruangan yang isinya opa Korea, bisa sekalian kenalan malah siapa tau jadi jodoh, kalo masuk ke kamar aki-aki m***m, gimana? Kan ngeri," ujar Maira sambil memasang ekspresi bergidik.
Evan yang gemas pun mencubit pipi Maira.
"Om, sakit! Ih, baru juga dua hari nikah, udah kdrt," protes Maira.
"Hush, sembarangan. Entar ada yang salah paham terus ngirain aku beneran kdrt 'kan bahaya? Mau kamu, jadi janda mendadak karena aku di penjara?"
"Nggak papa kalo aku dapat gantinya spek opa Korea yang muda dan tampan." Maira berucap sambil tersenyum lebar. Sementara itu, Evan melotot kesal. "Kurang ajar," desisnya kesal. Namun, Maira tak ambil pusing dengan umpatan Evan sebab meskipun baru mengenal selama dua hari, laki-laki itu sepertinya tidak segalak yang ia kira.
"Jadi aku tidur di mana?" tanya Maira sambil celingak-celinguk setelah mereka masuk ke dalam unit apartemen Evan.
"Memangnya kau mau tidur di mana? Di kamarku, mau?"
"No!" pekik Maira tiba-tiba sambil meletakkan kantong berisi makanannya di atas meja dapur. "Aku nggak mau," imbuhnya menambahkan.
Evan berdiri sambil melepaskan kancing di lengan kemejanya. "Memangnya kenapa? Kita sudah menikah jadi kita sudah halal. Nggak ada larangan tidur satu kamar. Bahkan melakukan hal lebih pun nggak masalah."
"Iya, itu kalau pernikahan itu atas dasar cinta. Lah kita? Boro-boro cinta, Om aja kayaknya benci banget sama aku."
"Oke, yang kamu bilangin itu boleh jadi benar, tapi ingat laki-laki bisa melakukan apa aja meski tanpa cinta sekalipun," ucap Evan yang kini sudah berdiri di sisi belakang Maira. Maira sampai menelan ludah karena posisi mereka yang terlalu dekat.
"Nggak. Pokoknya aku nggak mau. Aku harap Om jaga batasan karena aku cuma mau melakukannya dengan orang yang aku cintai dan itu bukan Om," tegas Maira yang sebisa mungkin membentengi diri.
Meskipun status mereka sudah suami istri, tetap saja, ia tak ingin melakukan hal lebih dari ini. Banyak hal yang ia pertimbangkan. Salah satunya, bila mereka memiliki anak kelak. Ia tak mau anak mereka menjadi korban karena hubungan yang masih abu-abu ini. Statusnya memang seorang istri, tetapi hanya di atas kertas. Ia bisa saja ditinggalkan begitu saja terlebih saat wanita yang laki-laki cintai itu kembali. Tidak. Ia tidak mau ia dan anaknya menjadi korban. Oleh sebab itu, ia tak mau ada interaksi lebih termasuk hubungan suami istri. Tidak. Maira tak mau melakukannya.
Maira tahu ini salah dan merupakan dosa besar, tetapi ia tidak memiliki jalan lain. Sudah cukup dirinya menjadi korban orang dewasa yang bernama orang tua. Karena kesalahan orang tuanya, justru ia yang harus menanggung segala konsekwensinya. Dan ia tak ingin berkorban lebih daripada ini.
Evan tidak begitu mengindahkan peringatan Maira. Ia justru masuk ke dalam kamar sambil menyeringai.
***
Maira membuka satu persatu kantong berisi makanan yang ia beli tadi. Maira menggaruk kepalanya karena ternyata makanan itu cukup banyak. Ia memang belum tahu harus tidur di mana, jadi ia memilih memanggil Evan untuk makan bersama terlebih dahulu.
"Om, makan, yuk!"
"Makan aja. Aku nggak lapar."
"Lho, itu banyak sekali, Om. Gimana aku mau habisinnnya?"
"Kan bisa kamu simpan di kulkas sisanya. Repot banget."
"Oh, iya, ya." Maira tersenyum lebar. "Om butuh sesuatu? Kopi misal? Teh? Atau apa pun itu, bilang aja. Entar aku buatin," tawar Maira.
"Boleh. Aku mau kopi." Padahal tadi ia sudah minum bandrek, tapi ditawarin kopi, Evan tak menolak juga. Mungkin karena udara cukup dingin dan membuatnya ingin minum yang hangat-hangat.
"Siap, Bos," seru Maira sambil berlalu dengan semangat. Namun, baru beberapa detik Maira menghilang, gadis itu kembali muncul.
"Ada apa lagi?"
"Kopi sama gulanya di mana? Maira nggak tau," cengirnya membuat Evan geleng-geleng kepala. Tingkah Maira memang persis anak kecil.
"Dasar bocah."
"Bocah-bocah gini, istri Om lho."
"Punya istri tapi nggak bisa diapa-apain, buat apa?" ejek Evan.
Maira mendelik. "Dasar, aki-aki mesum."
"Apa?"
"Eh, nggak. Aku nggak ngomong apa-apa kok, suer. Hehehe ...."
Evan pun segera membawa Maira ke dapur. Ia memberitahukan di mana rak bumbu, gula, dan kopi. Setelah Maira membuat secangkir kopi, mereka pun duduk di meja makan. Sementara Evan sibuk dengan ponselnya sambil meminum kopi, Maira justru sibuk menikmati makanannya. Sesekali Evan melirik Maira.
Melihat Maira yang makan dengan lahap, sudut bibir Evan seketika tertarik ke atas. Namun, ada satu hal yang membuatnya bingung, kehidupan Maira sebelum ini. Bila ia perhatikan, memang penampilan Maira begitu kontras dengan penampilan sang ibu yang cenderung glamor. Sementara Maira terlihat sangat sederhana. Terlebih setelah mendengar cerita Maira tadi kalau ia tidak pernah jajan dan tidak memiliki uang.
"Sebenarnya bagaimana kehidupanmu sebelum ini?" batin Evan yang mulai penasaran dengan kehidupan Maira sebelum menikah dengannya.