BAB 6. Terkurung

1356 Kata
Lucca berdeham. “Ehm. Sudah dramanya? Ayo Leon, jangan buang waktu! Amankan dia sebelum CCTV di rumah ini melapor pada papa.” Itu adalah perintah. Dan seharusnya mutlak dilakukan oleh Leon. Sebab Lucca memberi perintah itu bukan berarti dia kejam. Justru sebaliknya, Lucca adalah kakak laki-laki yang seringkali menjadi tameng bagi Leon. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan sang adik. “Oke.” Hanya itu jawaban Leon. Lalu tanpa aba-aba, dia menarik tangan Eve dan menyeretnya keluar ruang kerja. Tidak lupa pintu ditutupnya rapat-rapat. “Hei! Lepaskan aku! b******k, lepaskan!” caci Eve dengan tangan kanan yang masih ditarik oleh Leon. Dengan tangan kiri, Eve coba memukuli lengan kekar Leon. Tapi pria itu bergeming, bagaikan mati rasa, terus menarik Eve sampai di kamar tamu pojok. Tempatnya tidur tadi malam. “Diam di sini dan kamu akan selamat.” Suara dingin Leon lalu mendorong pelan tubuh eve ke arah ranjang. Namun bukan Eve namanya kalau tidak berontak. Dia berlari menerjang Leon yang telah berjalan kembali ke arah pintu. Tepat bertepatan ketika Leon mendengar langkah gadis itu, dia kembali membalik badan lalu menanggapi terkaman Eve dengan memeluknya erat. Satu kaki Leon menendang ke belakang untuk menutup rapat daun pintu. “Heh! Dasar laki-laki m***m! Lepaskan aku! Kalau tidak, aku tampar lagi!” ancamnya yang terdengar lucu di telinga Leon. Leon menaikkan sebelah alis. “Tampar saja lagi. Kalau bisa. Aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu memohon. Karena aku sudah terlanjur kesal dengan tingkahmu.” Dia menatap tajam. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti. Sebab Eve dia peluk dari arah depan, untuk menghentikan serangannya tadi. “Cih! Aku nggak akan memohon! Memangnya siapa dirimu? Hah?! Siapa kamu sampai berani membawaku kesini?!” geram Eve sudah hilang kesabaran. “Bukan aku yang membawamu, tapi kamu yang mengikutiku. Ingat, semalam kamu mabuk? Hem?” Leon menaikkan kedua alis. Sedangkan kedua tangannya masih mengungkung tubuh Eve. Dia tahu tenaga gadis ini tak seberapa. Tapi dia suka membuat onar. “Aku memang mabuk! Lalu apa urusanmu?! Kenapa kamu MENIDURIKU?! BRENG—hemph!” Leon membungkam mulut lancang Eve dengan menciumnya. Lalu mendorong tubuh gadis itu hingga ke tembok. Eve tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa berat tertekan. Dia juga tidak bisa bicara, mulutnya disumpal dengan ciuman dalam. Semalam Leon memang lembut. Tapi sekarang dia beringas. Meskipun itu hanya sebuah ciuman. Tanpa sadar, Leon bukan lagi menyumpal mulutnya supaya berhenti bicara. Tapi lebih dari itu, dia mulai menikmatinya. Menelusuri bibir manis gadis itu hingga Eve kewalahan. “Ah,” Leon mendesah pelan lalu melepas bibir Eve. Diusapnya bibirnya sendiri, bagian bawah. Darah. Dia terluka karena digigit gadis ini. Namun Leon tidak marah sekali. Sama seperti tadi saat ditampar, tidak ada ekspresi, sakit maupun marah. “Lepaskan aku! Kamu nggak berhak atas tubuhku! Kamu … kamu nggak boleh cium aku semaumu!” teriak Eve dengan suara bergetar. Menahan emosi yang membuncah. Leon menghela napas dalam. “Kalau tidak mau dicium, maka jangan berisik. Kalau kamu sudah tau tentang keadaan rumah ini, maka kamu akan berterima kasih padaku karena sudah kucium. Itu cara paling romantis supaya kamu nggak berisik, kan?” Santai sekali Leon mengatakannya. Tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Bahkan tatapan matanya seperti sedang tersenyum pada Eve. Tapi bibirnya tetap tidak tersenyum. Tidak ada bedanya juga bagi Eve. Yang dia pedulikan hanya ingin membalas sakit hatinya pada pria ini. Itu saja. “Jadi—benar kan kamu yang meniduriku semalam?” Suara Eve bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena marah. Otaknya terus memerintahkan supaya dia tidak menangis. Apalagi di depan pria ini. Eve tidak mau terlihat lemah. Dia ingin membuat pria ini merasa sangat bersalah. Dia ingin pria ini memohon maaf padanya. Tapi tidak akan dia maafkan. Leon mengangguk. “Iya.” Hanya itu. Lalu Leon melepaskan kedua tangan yang melingkari tubuh Eve. “Untuk sementara kamu belum boleh keluar dari rumah ini. Nanti kalau sudah lebih aman, kamu bisa pulang.” “A—” “Ssttt!” Leon meletakkan telunjuknya pada bibir Eve yang sudah akan protes. “Menurut padaku dan kamu akan selamat.” Kening Eve mengernyit. Tiba-tiba dagunya dipegang tangan kiri Leon dan … cekrek. Cekrek. Cekrek. “Sialan! Apa-apaan?!” Eve menepis tangan Leon hingga terlepas dari dagunya. Secepat itu Leon memotret wajahnya dengan handphone. Dan Eve terlambat mengelak. Leon melangkah keluar dari kamar. Terdengar suara anak kunci diputar. Segera Eve berlari dan mencoba membuka knop pintu. Benar saja! Pintunya dikunci! Eve panik. Sekarang dia baru merasakan takut di sini. Segala rasa marah pada Leon buyar. Tertutup dengan rasa takut luar biasa. “Siapapun tolong buka pintunya!” Eve mulai menggedor-gedor. “Buka pintunya! Aku mau keluar! Aku mau pulang! Toloooong!” Eve terus menggedor sampai tangan kanannya sakit. Air mata mulai luruh di pipi. Eve terisak sejadinya. Dia membalik badan. Tubuhnya merosot hingga duduk di lantai, bersandar pada pintu yang terkunci dari luar. Sekarang bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar ini? Dan mau apa orang itu mengurungku di sini? Apa dia mau minta tebusan? Mengincar harta papa seperti yang Mama Arini lakukan? Tapi untuk apa? Bahkan rumahnya jauh mewah dari rumah papa! Beribu pertanyaan melesak di dalam kepala Eve. Membuatnya pusing. Tiba-tiba Eve ingat sesuatu! Dia segera merangkak lalu meraih tas selempang dari atas lantai. Tangannya merogoh, mencari sesuatu di sana tapi tidak ketemu! Frustasi. Eve menumpahkan seluruh isi tas ke lantai. Tidak ada. Handphonenya tidak ada! “Kemana handphoneku?! Manaaa?!” Eve mengingat. Tadi pria itu mengambil foto wajahnya. Eve mengusap wajah dengan kasar. Kalau begitu, tadi dia difoto dengan menggunakan handphonenya sendiri. Baru kali ini Eve menyesal tidak pernah mengunci menu apapun di handphonenya. “Arrgghhh!” teriaknya kencang seraya menutup kedua telinga. Dia sedang putus asa. Tidak mampu berpikir jernih. Hanya rasa takut yang mendera. Di balik pintu kamar, Leon menghela napas. Lalu mulai melangkah meninggalkan kamar tamu paling pojok. Di tangannya menggenggam benda pipih putih yang tadi cepat dia ambil dari dalam tas milik Eve. Dia menuju ruang kerja karena Vito sudah menunggunya di sana. Sepupu sekaligus asistent pribadinya itu belum lama datang. Dia dari kantor, bukan dari rumah. Leon yang memanggilnya kesini. Sedangkan Lucca sudah berangkat, dia mengemban tugas lain yang diberikan sang papa. Perintah langsung dari Italia. Langkah tegap membawa Leon masuk kembali ke ruang kerja. Vito membalik badan, tadi dia hanya sedang berdiri menghadap kaca besar yang membatasi ruangan dengan taman samping. Memandangi pohon-pohon hias tanpa bunga. “Ada tugas untukmu,” ucap Leon lalu duduk di kursi kerjanya yang tinggi. Tanpa basa-basi seperti biasa. Urusan kantor bisa belakangan pikirnya. Yang satu ini entah sejak kapan menjadi lebih penting. Vito beranjak dari sana lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kerja Leon. Mereka dibatasi meja kerja persegi cukup besar. Leon meletakkan handphone berwarna putrih di meja, lalu mendorong hingga mendekati Vito. Layarnya terbuka, menampilkan wajah seorang gadis yang sedang mengernyit dengan dagu dipegang seseorang. “Siapa dia?” tanya Vito santai. "Target berikutnya?" Leon menyandarkan tubuh jangkungnya di kursi lalu mengangkat kedua alis. “Well, kali ini aku yang tanya padamu, siapa dia?” “Hah?!” Vito kaget, natural sekali. Dia langsung menegakkan punggung. Dengan menahan senyuman, Vito menunjuk wajah Leon. “Lagakmu kayak lagi ineterogasi pacar yang selingkuh.” Tidak dapat ditahan lagi. Vito tertawa. Tapi karena Leon hanya diam memandanginya, tawa Vitopun lenyap. Dia berdeham lalu kembali menegakkan punggung. “Jadi apa masalahnya? Sampai mau menyelidikinya?” Karena Vito tahu, siapapun target Leon, pasti sepupu sekaligus bosnya itu sudah mencari tahu sendiri identitas sang target. Baru kali ini Vito yang diperintahkan untuk mencari tahu gadis dalam foto. “Pokoknya, cari tahu semua tentang gadis ini. Apapun itu. Jangan sampai ada yang terlewat. Dan ….” Leon mencondongkan badan ke depan. Menatap lekat Vito. “Jangan sampai Lucca tahu tentang ini. Sangat rahasia!” “Huft! Awas kamu ya kalau ada masalah nanti bawa-bawa aku! Cari penyakit saja! Ya sudah, nanti malam aku kembali lagi.” Vito geleng-geleng kepala lalu bangkit dari duduknya. Berjalan tegap ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, dia masih sempat menoleh ke belakang. Berdecak kesal pada Leon yang suka sekali menyerempet bahaya. Sialnya lagi, dia sebagai asistent pribadi sering kecipratan bahayanya. Vito menunjuk ke arah Leon. “Hati-hati, Leon. Firasat Lucca seringkali tepat. Ck ah!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN