Bab 2. Mendapatkan Pekerjaan

1555 Kata
Happy Reading Mobil mewah itu berhenti, Ethan melirik seorang wanita yang tergeletak di pinggir jalan itu. "Tuan, apakah kita akan menolongnya?" tanya Aries. Melirik ke arah Tuannya lewat kaca spion depan. Berharap jika Tuan Ethan memiliki sedikit empati pada orang itu. "Tidak! Kalau dia ternyata jasad, apa kamu mau berurusan dengan pihak berwajib?" ujar Ethan datar. "Tidak, Tuan," jawab Aries mendadak menciut. Tentu saja dia tidak berani berhadapan dengan para polisi, meskipun dia tidak membunuh orang itu. Siapa tahu benar yang dikatakan Tuannya kalau orang itu sudah meninggal. "Kalau begitu, jalan!" Aries langsung menjalankan mobilnya, meninggalkan seseorang yang tergeletak di pinggir jalan itu. Entah itu mayat atau hanya orang pinsan. Aries tidak mau berurusan lagi. Levina mengerjabkan matanya perlahan, kepalanya terasa sangat pusing. "Ah, sakit sekali!" Wanita itu melihat sekeliling. "Aku di mana?" gumamnya mengingat kenapa dia bisa tertidur di emperan toko. Levina akhirnya ingat kenapa dia di sini. Saat itu, Levina sudah berjalan berkilo-kilo meter, tanpa tujuan. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi dan semua hartanya sudah diambil oleh Roni. Tubuhnya lemas, dia kelaparan hingga tidak sanggup untuk berdiri. Berjam-jam lamanya berjalan melewati jalanan yang sepi, waktu sudah semakin larut, Levina benar-benar tidak tahu harus kemana. Selama ini dia tidak memiliki teman. Levina dulu tinggal bersama kakek dan neneknya di kota lain. Kedua orang tuanya sudah meninggal, kakek dan neneknya juga meninggal beberapa tahun yang lalu. Karena merasa lelah, akhirnya Levina memutuskan untuk duduk di pinggir toko yang sudah tutup. Lelah berjalan dan juga lelah hati dan pikiran, membuat wanita itu mengantuk. Levina ketiduran di teras itu dengan perut kosong, tidak memperdulikan hawa dingin yang merasuk. *** Tiga hari sudah Lavina seperti gelandang di jalan, dia hanya makan sehari sekali, itu pun karena dia menjual kalung berlian satu-satunya peninggalan milik sang ibu. Dia juga menyewa kamar kost yang paling murah untuk seminggu ke depan. Selama tiga hari ini dia mencari pekerjaan, tetapi tidak ada yang mau menerimanya. "Ternyata sulit sekali cari kerja kalau nggak punya ijazah!" gumam wanita itu. Semua berkas Levina tertinggal di rumahnya dan dia tidak mau kembali lagi untuk mengambilnya. Dia tidak mau bertemu dengan Roni, pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Debu jalanan menempel di sepatu Levina, meninggalkan jejak samar setiap kali ia melangkah. Trotoar kota yang ramai menjadi saksi bisu perjuangannya. Rambutnya yang dulu terawat kini tampak kusut masai, tertiup angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara gedung-gedung tinggi. Bajunya yang sederhana semakin terlihat lusuh, mencerminkan kerasnya kehidupan yang ia jalani beberapa hari terakhir. Matanya yang sayu menatap lurus ke depan, mencari secercah harapan di tengah hiruk-pikuk kota. Langkah kakinya yang gontai terhenti di tepi jalan, menunggu lampu penyeberangan berganti warna. Di sampingnya, seorang nenek dengan langkah tertatih-tatih juga bersiap untuk menyeberang. Melihat kesulitan nenek tersebut, Levina segera menawarkan bantuan. "Mari saya bantu, Nek," ujar Levina dengan suara lembut, mengulurkan tangannya untuk membantu nenek tersebut. "Makasih, ya, Nak," jawab nenek itu dengan senyum tulus, memegang erat tangan Levina. Keriput di wajahnya seakan bercerita tentang perjalanan panjang hidupnya. Dengan hati-hati, Levina memapah nenek tersebut menyeberangi jalan. Ia memastikan setiap langkahnya aman dan nenek itu merasa nyaman. Setelah sampai di seberang, nenek tersebut mengucapkan terima kasih sekali lagi dan mendoakan Levina agar segera mendapatkan pekerjaan. Doa tulus dari seorang nenek yang membuat hati Levina menghangat. Ia melanjutkan perjalanannya, semangatnya kembali menyala. Tekadnya untuk menemukan pekerjaan semakin kuat. Levina terus berjalan menyusuri trotoar, matanya mengamati setiap toko dan bangunan yang ia lewati. Harapannya tertuju pada sebuah toko bunga yang tampak asri dengan berbagai macam bunga berwarna-warni. Ia memberanikan diri untuk masuk dan menanyakan lowongan pekerjaan. Dengan suara sedikit gemetar, ia menjelaskan situasinya kepada pemilik toko. Sayangnya, toko bunga tersebut tidak membutuhkan karyawan tambahan. Kecewa, Levina berbalik untuk pergi. Namun, tiba-tiba sebuah tepukan lembut di bahunya menghentikan langkahnya. "Eh!" Levina terkejut, menoleh ke belakang. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun berdiri di hadapannya. Wajahnya yang ramah memancarkan aura keibuan. Meskipun usianya tak lagi muda, kecantikannya masih terpancar. "Maaf aku mengejutkanmu," ucap wanita itu dengan senyum lembut. "Ehm, apakah kamu sedang mencari pekerjaan?" "Iya, Bu," jawab Levina, seulas senyum tipis menghiasi bibirnya. Seberkas harapan kembali muncul di hatinya. "Kamu bisa bekerja di bidang apa?" tanya wanita itu, matanya menatap Levina dengan penuh perhatian. "Apa saja, Bu, asal saya mendapatkan pekerjaan," jawab Levina antusias. Keinginannya untuk bekerja begitu besar, ia siap melakukan pekerjaan apa pun. Wanita itu tampak terkesan dengan semangat Levina. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Kamu mau bekerja di rumahku? Sebagai asisten rumah tangga?" Tanpa ragu, Levina langsung mengangguk. "Saya Levina, Bu. Terima kasih banyak, Bu, sudah mau memberikan saya pekerjaan." Matanya berkaca-kaca, ia tak menyangka akan seberuntung ini. "Namaku Bela," ucap wanita itu, mengulurkan tangannya. Levina menyambut uluran tangan Bela dengan penuh rasa syukur. "Bisa bekerja sekarang?" tanya Bela, senyumnya semakin ramah. "Tentu saja, Nyonya. Sekali lagi terima kasih banyak," jawab Levina dengan penuh semangat. "Kalau begitu ikut saya dan hari ini kamu sudah bisa mulai bekerja," ujar Bela. Levina mengangguk, hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ia merasa Tuhan masih menyayanginya dengan memberikan pekerjaan, bahkan bertemu dengan wanita yang sangat baik seperti Nyonya Bela. Ia mengikuti Bela keluar dari toko bunga, melangkah dengan penuh harapan menuju kehidupan yang baru. Sinar matahari sore menembus celah-celah gedung, seakan menyambut lembaran baru dalam hidup Levina. *** "Sialan kau Ethan! Kenapa kau selalu menolakku?! Apa aku kurang menarik? Apa aku kurang seksi?! Kau harus ingat bahwa kita sekarang sudah bertunangan!!" teriak Sonya, suaranya bergetar penuh frustrasi. Bajunya sudah dia lepas, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang berusaha ia pamerkan di hadapan Ethan. Rambutnya yang terurai acak-acakan menambah kesan liar dan menggoda. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang mengancam akan tumpah. Ia merasa harga dirinya terinjak-injak oleh penolakan Ethan yang terus-menerus. Ia telah berusaha semaksimal mungkin untuk menarik perhatian tunangannya, namun selalu berakhir dengan kekecewaan. "Aku sudah memberikan segalanya untukmu, Ethan! Apa yang kurang dariku?" tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam isak tangis yang ditahannya. "Sonya, apakah kau tidak bisa sabar sampai kita menikah? Kenapa sikapmu lama-lama seperti seorang w*************a saja!" jawab Ethan dengan nada santai, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan laporan di mejanya. Kacamata berbingkai tipis yang ia kenakan sedikit melorot di pangkal hidungnya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard laptop, menyelesaikan pekerjaannya yang seakan tak ada habisnya. Ia menghela napas panjang, merasa terganggu oleh kehadiran Sonya yang tiba-tiba dan sikapnya yang terlalu agresif. "Aku tunanganmu dan wajar jika aku bersikap seperti ini!" "Aku sedang sibuk, Sonya. Bisakah kita bicarakan ini nanti?" Ethan berusaha mengendalikan emosinya, meskipun ia merasa jengkel dengan sikap Sonya yang memaksanya. Wanita bernama Sonya itu langsung mengambil dress yang sudah tergeletak di lantai dan segera memakainya dengan gerakan kasar. Wajahnya memerah karena malu dan amarah. Ia merasa sangat direndahkan saat pria yang menjadi tunangannya menolaknya untuk berhubungan intim. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga, membasahi pipinya yang merona. Ia merasa dipermainkan oleh Ethan. "Apa aku tidak cukup baik untukmu, Ethan?" gumamnya lirih, hatinya hancur berkeping-keping. Bahkan ini sudah ketiga kalinya Sonya rela merendahkan dirinya demi bisa memiliki Ethan seutuhnya. Ia telah melakukan berbagai cara untuk memikat hati Ethan, mulai dari berpakaian seksi, memasak makanan kesukaannya, hingga memberikan hadiah-hadiah mahal. Namun, semua usahanya sia-sia. Ethan tetap dingin dan tak tersentuh. Pria itu dikenal anti wanita dan tidak pernah dekat dengan wanita manapun selain adik kandungnya. Rumor tentang Ethan yang tidak tertarik pada wanita sudah beredar luas di kalangan teman-teman Sonya. Banyak yang memperingatkannya untuk tidak terlalu berharap pada Ethan, namun Sonya tetap teguh pada pendiriannya. Ia yakin bisa menaklukkan hati Ethan dan membuatnya jatuh cinta padanya. "Kau tidak lihat kalau aku sedang sibuk?" "Maaf, aku akan pergi sekarang. Aku melakukan ini karena kau adalah tunanganku. Mudah-mudahan kau segera sadar bahwa aku sangat mencintaimu," ucap Sonya dengan suara bergetar, menahan isak tangisnya. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah gontai, meninggalkan Ethan yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Punggungnya tampak rapuh dan hatinya terasa remuk redam. Ia merasa lelah dan putus asa. Ethan hanya menanggapi kepergian Sonya dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata pun. Entah kenapa dia tidak bisa disentuh wanita lain selain gadis itu. Gadis yang bernama Valencia, kekasih masa remajanya. Kenangan indah bersama Valencia masih terpatri jelas dalam ingatannya. Senyum manisnya, tawanya yang renyah, dan tatapan matanya yang penuh cinta selalu menghantuinya. Ethan tidak pernah bisa melupakan Valencia, meskipun waktu telah berlalu begitu lama. Gadis itu menghilang setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak ada yang tahu di mana dia. Ethan telah berusaha mencari Valencia ke mana-mana, namun hasilnya nihil. Ia merasa kehilangan separuh jiwanya. Valencia adalah cinta pertamanya, dan ia yakin bahwa Valencia adalah belahan jiwanya. Bahkan dalam hatinya, Ethan selalu berdoa agar ia bisa dipertemukan kembali dengan cinta pertamanya itu. Ia berharap suatu hari nanti bisa bertemu kembali dengan Valencia dan melanjutkan kisah cinta mereka yang terputus. Ethan yakin bahwa Valencia masih hidup di suatu tempat, dan ia tidak akan pernah berhenti mencarinya. Akhirnya Ethan kembali ke rumah. Dengan gaya angkuhnya, ia menaiki tangga dan terkejut saat melihat wanita aneh di depannya. Mereka sama-sama saling memandang dengan tatapan penuh tanya. Wanita itu memiliki postur tubuh yang mirip dengan Valencia, namun wajahnya sangat berbeda. "Maaf, Tuan," ucap Levina, menundukkan kepalanya kemudian berjalan melewati Ethan. Suaranya terdengar familiar di telinga Ethan. Suaranya sangat mirip dengan suara Valencia. Ethan tertegun sejenak, hatinya berdebar kencang. "Suara itu? Tapi tidak mungkin? Wajahnya sangat berbeda!" batin Ethan, bingung dan penasaran. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan wanita itu. "Mungkin hanya kebetulan saja!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN