Bab 3. Pembantu Baru

1786 Kata
Happy Reading "Ma, siapa wanita yang tadi membersihkan kamarku?" tanya Ethan saat makan malam bersama dengan keluarganya. Matanya menatap sang Mama dengan penuh rasa ingin tahu, mengamati ekspresi wajah sang Mama yang tampak tenang. Ia memang belum pernah melihat wanita itu sebelumnya di rumah mereka. Biasanya, kamarnya dibersihkan oleh asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan keluarganya. Namun, hari ini dia melihat wajah baru. Seorang wanita muda. "Oh, itu Levina, asisten rumah tangga kita yang baru," jawab Mama Bela, sambil menyendokkan nasi ke piring Ethan. "Mama kasihan sama dia. Beberapa hari ini Mama selalu lihat dia wara-wiri di depan toko kuenya Oma. Dia kelihatan nyari lowongan pekerjaan. Lalu, pada waktu Mama mau membeli bunga untuk ziarah ke makam Opa Brandon di toko bunga dekat taman kota, Mama melihatnya lagi. Kali ini dia sedang berbicara dengan pemilik toko, menanyakan lowongan pekerjaan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap berusaha tersenyum. Sepertinya dia memang sangat membutuhkan pekerjaan. Lagipula, asisten rumah tangga yang biasanya mengurusmu, Bi Inah, sudah mengundurkan diri karena harus merawat ibunya yang sakit di kampung. Jadi, tidak ada salahnya, kan, kalau Mama mempekerjakan Levina? Dia terlihat rajin dan jujur." Mama Bela menjelaskan dengan detail, berharap Ethan mengerti alasannya mempekerjakan Levina. "Tapi kalau dia orang jahat bagaimana?" tanya Ethan lagi, masih sedikit ragu. Ia terbiasa dengan Bi Inah yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Kehadiran orang baru yang mengurus tempat pribadinya tentu membuatnya sedikit waspada. Ia tidak ingin privasinya terganggu. Bela menatap suaminya, Morgan, sejenak, kemudian beralih menatap Ethan. "Mama mengerti kekhawatiranmu, Ethan," katanya lembut. "Mama tahu dia orang yang sedang kesusahan. Dulu, hidup Mama waktu masih muda juga susah. Mama harus bekerja keras untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Mama pernah merasakan bagaimana rasanya mencari pekerjaan dan ditolak berkali-kali. Sejak kecil, Mama juga sudah diajari sebagai orang yang harus bisa mengenal karakter seseorang karena tuntutan pekerjaan Mama dulu. Mama dilatih untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan intonasi suara seseorang. Jadi, Mama cukup yakin kalau Levina adalah wanita baik-baik dan memang butuh pekerjaan untuk membiayai hidupnya. Dia punya tatapan yang tulus dan cara bicaranya sopan. Mama percaya, dia tidak akan berbuat macam-macam di rumah ini." Bela berusaha meyakinkan Ethan dengan pengalaman dan instingnya. Ethan tahu kalau masa mudanya, Mamanya ini adalah seorang bodyguard dan mata-mata yang handal. Ia pernah mendengar cerita-cerita tentang bagaimana ibunya melindungi orang-orang penting dan menjalankan misi rahasia. Insting ibunya memang tajam dan jarang salah. "Oke, Ethan percaya sama insting Mama," ucap Ethan akhirnya. Ethan mengangkat kedua bahunya, acuh. Dia juga tidak peduli siapa Levina, yang penting wanita itu bisa bekerja dengan baik, menjaga kebersihan kamarnya, menyiapkan pakaiannya dengan rapi, dan tidak mengganggu privasinya. "Bagaimana dengan Sonya? Kapan kamu akan menetapkan tanggal pernikahan?" kali ini sang Papa, Morgan, yang bertanya. Suaranya terdengar serius, menunjukkan betapa pentingnya hal ini baginya. "Aku belum ingin menikah dalam waktu dekat ini, Pa," jawab Ethan dengan nada tenang. "Yang terpenting aku sudah menuruti keinginan Papa untuk bertunangan dengan Sonya, bukankah itu kemajuan yang luar biasa? Aku masih ingin fokus dengan pekerjaanku dan mengembangkan bisnisku. Pernikahan adalah langkah besar dan aku ingin memastikan aku benar-benar siap sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius. Aku nggak janji, tapi aku pasti bakal bikin kalian bahagia dengan caraku sendiri." Ethan berusaha menjelaskan posisinya tanpa menyinggung perasaan ayahnya. Papa Morgan menghela napas panjang. "Papa mengerti kamu ingin fokus pada karirmu, Ethan. Tapi, kamu sudah dewasa, dan sudah sepatutnya di umurmu ini kamu harus menikah dan membangun keluarga. Papa harap kamu bisa mempertimbangkan untuk segera melangsungkan pernikahan dengan Sonya. Dia itu putri dari sahabat Papa, Pak Wijaya. Papa kenal Sonya. Dia wanita yang baik, cerdas, dan penyayang. Papa yakin kalau Sonya wanita yang tepat untuk kamu. Dia akan menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anakmu kelak." Ucap Morgan menasihati. Ia berharap Ethan segera menyadari betapa beruntungnya memiliki Sonya. Casandra, adik Ethan, yang sejak tadi melihat kedua orangtuanya bicara dengan kakaknya, menyelesaikan makan malamnya dengan segera. Ia tidak ingin terlibat dalam perdebatan antara kakak dan ayahnya. "Aku sudah selesai, Pa, Ma, kak. Aku masuk ke kamar dulu, besok harus ketemu dosen pembimbing untuk sidang skripsi," ucap Casandra, si bungsu, sambil bangkit dari kursinya. Ia mencium pipi kedua orangtuanya dan kakaknya sebelum berlalu. Ia berharap suasana makan malam kembali tenang setelah ia pergi. *** Malam ini, Ethan bergegas menuju markasnya. Kabut tipis menyelimuti jalanan yang dilaluinya, menambah kesan suram pada perasaannya yang tengah bergejolak. Ia baru saja menerima informasi rahasia yang sangat mengganggunya: ada mata-mata yang menyusup ke dalam kelompoknya. Wajah Ethan mengeras, rahangnya mengatup rapat. Perasaan marah bercampur kecewa berkecamuk di dadanya. Ia merasa dikhianati oleh seseorang yang ia percaya, seseorang yang selama ini berjuang bersamanya. Suasana markas malam itu begitu tegang. Lampu gantung redup bergoyang pelan, asap rokok memenuhi udara. Ethan duduk di kursi kulit hitamnya yang besar, tangan kanan memegang gelas berisi bourbon, sementara tatapannya kosong menembus kegelapan ruangan. Ethan meletakkan gelasnya perlahan. Tatapannya beralih pada Johan—orang kepercayaannya yang berdiri di sampingnya. “Johan,” ucap Ethan datar, namun penuh tekanan. “Bawa dia masuk. Aku ingin lihat wajah pengkhianat itu.” Johan mengangguk singkat, lalu memberi isyarat. Dua anak buah menyeret seorang pria ke dalam ruangan. Kemeja pria itu kusut, wajahnya babak belur, darah menetes dari sudut bibirnya. Ethan mencondongkan tubuh, matanya menyipit. “…Rygas.” Suara Ethan rendah, penuh kekecewaan. Pria itu—Rygas, menatap bosnya yang sudah tujuh tahun ia ikuti. “Bos… aku bisa jelaskan.” Ethan berdiri perlahan, langkah kakinya berat dan penuh wibawa. “Tujuh tahun kamu di sisiku. Tujuh tahun aku percaya sama kamu, Rygas.” Ethan berhenti tepat di hadapan pria itu, menatapnya lurus. “Dan sekarang, aku dengar kau jual rahasia kita ke musuh? Setelah semua yang aku kasih?” Rygas menggertakkan giginya, menunduk. “Aku… aku terpaksa, Bos. Mereka—mereka ancam keluargaku.” Ethan menghela napas panjang, lalu menoleh sekilas pada Johan. “Johan… kau tahu yang paling kubenci apa?” Johan menunduk dalam, menjawab pelan. “Pengkhianatan, Bos.” Ethan kembali menatap Rygas. Matanya dingin, tanpa ampun. “Kau sudah tahu jawabannya, Rygas. Dan aku bukan hakim yang suka dengar alasan.” Rygas berusaha merangkak maju, memohon. “Tolong, Bos… beri aku satu kesempatan. Demi tujuh tahun itu!” Ethan mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga Rygas. “Justru karena tujuh tahun itu… sakitnya lebih dalam.” Ia lalu berdiri tegak, memberi isyarat pada Johan tanpa kata. Johan mengangguk, menarik pistol dari balik jasnya, sementara Rygas menatap dengan mata membelalak. Johan mengokang pistol, moncongnya sudah menempel di pelipis Rygas. Pria itu gemetar hebat, air matanya bercampur darah di pipi. “Bos… kumohon… jangan begini. Aku bisa buktikan kesetiaanku lagi. Satu misi terakhir… biar aku menebus semuanya.” Ethan menatapnya lama, seolah sedang menimbang. Tangannya terlipat di depan d**a, wajahnya dingin tak terbaca. Hening menekan ruangan, hingga suara jarum jam pun terdengar jelas. Akhirnya Ethan mengangkat tangannya, memberi isyarat kecil pada Johan. Pistol diturunkan. Rygas menarik napas lega—tapi hanya sebentar. Ethan melangkah maju, membungkuk sedikit, dan menatap langsung ke mata Rygas. “Kamu pikir aku akan biarkan kamu mati semudah itu? Kematian terlalu ringan buat pengkhianat.” Rygas menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Apa maksudmu, Bos…?” Ethan menepuk bahunya pelan, namun dingin. “Kamu akan menebus dosamu. Ada misi—satu jalan, tanpa kepulangan. Kau akan masuk ke markas musuh kita, sendirian, bawa pesan dariku… dan hancurkan mereka dari dalam. Kalau kau berhasil, mungkin rohmu bisa sedikit tenang. Kalau gagal…” Ethan menyeringai tipis. “…maka kau akan mati di tangan musuh. Itu lebih pantas untukmu.” Rygas terdiam, wajahnya pucat pasi. “Itu… itu bunuh diri, Bos.” Ethan berbalik, berjalan kembali ke kursinya dengan langkah mantap. “Bunuh diri? Tidak. Itu penebusan. Dan mulai malam ini, kau bukan lagi salah satu dari kami. Kau hanya bayangan, utusan untuk neraka.” Johan menatap bosnya sejenak, lalu menunduk paham. Ia menarik Rygas dengan kasar, menyeretnya keluar. Rygas hanya bisa menatap punggung Ethan, matanya penuh putus asa—antara rasa bersalah, ketakutan, dan secercah harapan tipis untuk menebus dirinya. Ethan menuang bourbon baru, meneguknya perlahan. Tatapannya kosong menembus dinding, suaranya pelan tapi menusuk. “Pengkhianatan… selalu ada harga yang harus dibayar. Dan aku pastikan, tak ada yang bisa lari dari itu.” *** Keesokan paginya, sinar matahari yang cerah menembus celah-celah tirai kamar, membangunkan Levina dari tidurnya. Ia teringat tugasnya untuk membersihkan kamar tuan mudanya yang terkenal dingin dan angkuh, seperti es di kutub selatan Benua Antartika. Dengan langkah ringan, Levina berjalan menuju kamar Ethan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar. Namun, betapa terkejutnya Levina ketika pintu terbuka, ia mendapati Ethan baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air masih menetes dari rambutnya yang basah, membasahi d**a bidangnya. Pemandangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya itu membuat Levina terpaku di tempat, jantungnya berdebar kencang. "Hey, lancang sekali kamu! Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kamar ku!!" bentak Ethan dengan suara tegas dan dingin, memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka. Suaranya menggema di ruangan kamar yang luas, membuat Levina tersentak dari lamunannya. Wajahnya memerah karena malu dan takut. Ia tidak menyangka akan bertemu Ethan dalam kondisi seperti ini. Ia mengira tuan mudanya itu sudah berangkat ke kantor, seperti biasanya. Levina menundukkan kepalanya, menghindari tatapan tajam Ethan. "Maaf, Tuan, saya tidak tahu kalau Anda masih di rumah," jawab Levina dengan suara gemetar. "Saya kira Anda sudah berangkat ke kantor, jadi saya berani masuk ke dalam kamar Anda." Ia meremas ujung roknya, gugup dan takut akan reaksi Ethan selanjutnya. Levina benar-benar tidak bermaksud untuk mengganggu privasi Ethan. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang pelayan. Ethan merasa kesal dengan pelayan baru itu. Ia merasa Levina tidak sopan dan lancang memasuki kamarnya tanpa izin, terlebih lagi dalam kondisi seperti ini. "Dasar jelek, apa kamu mau menggodaku dengan penampilanmu yang seperti itu?" tuduh Ethan sinis sambil melangkah mendekati Levina. Tatapannya menusuk, membuat Levina semakin ketakutan. Levina mundur selangkah demi selangkah, berusaha menjauh dari Ethan. Ia berniat untuk segera pergi dari hadapan tuan mudanya itu. Namun, saat Levina berbalik badan untuk pergi, Ethan dengan cepat mencengkram pergelangan tangannya. Cengkramannya tidak terlalu kuat, namun cukup erat untuk mencegah Levina kabur. Levina merasakan sengatan listrik menjalar di sekujur tubuhnya saat kulitnya bersentuhan dengan tangan Ethan. Ethan menatap dalam mata Levina yang juga sedang menatapnya. Waktu seakan berhenti berputar. Di tengah ketegangan yang mencekam, Ethan merasakan sesuatu yang aneh saat tatapan mereka bertemu. Ada getaran asing yang mengusik hatinya. Deg! 'Mata itu!' batin Ethan dalam hati. Ada sesuatu yang familiar dalam tatapan mata Levina, sesuatu yang mengingatkannya pada masa lalunya. Sebuah kenangan yang samar-samar muncul di benaknya, namun ia belum mampu mengingatnya dengan jelas. Mata Levina yang jernih dan polos itu seakan menyimpan sebuah rahasia yang ingin ia ungkapkan. Ethan terpaku, terhipnotis oleh tatapan mata Levina yang terasa familar. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN