Happy Reading
Ethan masih di luar kota selama seminggu ini, hal itu membuat Levina sedikit lega. Setidaknya, malam-malamnya bisa tenang tanpa gangguan, tanpa suara pintu kamarnya yang tiba-tiba diketuk dan tanpa tubuh lelaki itu yang tiba-tiba naik ke ranjangnya.
Malam itu, ketika Levina sedang merawat wajahnya dengan masker, terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar.
Tok! Tok! Tok!
"Levina, besok tolong belikan daging asap di supermarket, ya? Badanku lagi meriang," suara Bibi Ana terdengar sedikit serak.
Levina membuka pintu kamarnya, melihat wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh iba. "Iya, Bi. Besok biar aku aja yang belanja. Bibi istirahat aja, jangan kebanyakan kerja," ucapnya lembut sambil tersenyum.
Bibi Ana menatap wajah Levina sekilas lalu tersenyum geli. "Sekarang kamu pintar perawatan, ya? Wajah kamu juga kinclong, makin glowing! Beda sekali sama dulu."
Levina hanya terkekeh pelan. "Hehe, iya, Bi. Aku belajar merawatnya, kok."
Padahal, dalam hatinya ia tahu perubahan besar pada dirinya bukan hanya karena belajar perawatan, melainkan karena bantuan Ethan—dari uang, akses ke dokter kecantikan, hingga produk skincare yang dulu tak mungkin ia beli. Meskipun begitu, Levina sudah bertekad, suatu hari nanti ia akan membalas semua kebaikan Ethan. Bukan hanya dengan tubuhnya yang terpaksa ia serahkan, tetapi dengan sesuatu yang lebih berarti, setelah ia berhasil merebut kembali seluruh harta yang dirampas Roni darinya.
"Hoam... sebaiknya aku tidur," gumamnya sambil melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Ia mematikan lampu kamar, menarik selimut, dan mencoba memejamkan mata.
***
Keesokan harinya.
Siang itu, Levina berjalan menyusuri lorong supermarket dengan keranjang belanja di tangannya. Dress selutut warna pink muda yang ia kenakan membuat dirinya terlihat segar, dipadukan dengan riasan natural yang ia pelajari sendiri lewat tutorial YouTube. Setiap langkahnya kini lebih percaya diri, berbeda jauh dengan Levina beberapa bulan lalu yang selalu menunduk dan merasa minder.
Ia memasukkan daging asap, beberapa sayuran, dan kebutuhan dapur lainnya ke dalam keranjang. Setelah merasa cukup, ia pun melangkah ke kasir, lalu keluar dari supermarket.
Perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. "Hmm... kayaknya enak kalau sekalian beli kentang goreng," gumamnya. Ia pun memutuskan masuk ke restoran cepat saji yang berada tak jauh dari pintu keluar supermarket.
Levina memesan paket kentang goreng kesukaannya lalu mencari tempat duduk kosong. Namun, ketika hendak menarik kursi, pandangannya secara tidak sengaja terpaku pada sosok di seberang ruangan.
Deg!
Seakan ada palu besar yang menghantam dadanya. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar memegang nampan berisi makanan.
"Roni...?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Ya, itu benar. Mantan suaminya. Lelaki yang pernah bersumpah setia namun kemudian membuatnya menderita seolah hidupnya tak berarti.
Levina terpaku di tempat. Matanya menajam, menyapu pemandangan yang semakin menusuk hati—Roni duduk bersama seorang perempuan cantik. Wanita itu berpenampilan anggun, rambut panjangnya tergerai indah, bibirnya dilapisi lipstik merah muda, dan dari cara mereka berbicara, terlihat jelas kedekatan di antara keduanya.
Levina menelan ludah, suaranya tercekat dalam d**a. "Dia... bisa makan siang dengan santai seperti itu... sementara aku dulu hampir mati karena menunggu dia pulang untuk makan bersama."
Seolah tak cukup, matanya menangkap momen ketika Roni menyuapkan sepotong ayam goreng ke mulut perempuan itu. Mereka tertawa bersama, tanpa beban, tanpa rasa bersalah.
Tangannya yang menggenggam nampan bergetar semakin kuat. "Sialan, Roni..." bisiknya dengan nada penuh luka.
Seorang karyawan restoran lewat di dekatnya, membuat Levina buru-buru mencari kursi di pojok ruangan, berusaha menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kacau. Hatinya terasa seperti diremas-remas.
Masa lalu yang berusaha ia kubur, kini muncul kembali di hadapannya. Ia ingin berdiri dan berteriak, tapi tubuhnya membeku.
‘Kenapa harus hari ini? Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?’ batinnya kacau.
Levina hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Namun sedetik kemudian, dia menatap Roni dan wanita itu lagi.
"Sepertinya aku pernah lihat wanita itu?" Levina bergumam pelan, matanya terus menatap ke arah perempuan yang sedang duduk berhadapan dengan Roni. Kepalanya sedikit miring, mencoba mengingat.
"Oh… bukankah dia sahabat lama Roni? Yang dulu dikenalkan padaku beberapa bulan setelah kita menikah…" bisiknya lirih, tetapi kemudian kedua bola matanya membelalak kecil. "Tapi… kenapa mereka suap-suapan seperti orang yang sedang berpacaran?"
Levina memicingkan matanya, tatapannya menusuk. Dari jarak itu ia bisa melihat jelas, tangan Roni yang dengan manis membersihkan noda saus di sudut bibir wanita itu. Gerakan lembut, penuh perhatian.
"b******k!" Levina menggeram pelan, giginya bergemeletuk menahan amarah. "Ternyata selama ini Roni benar-benar membohongiku!"
Selama menikah, Levina tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Tidak pernah sekalipun Roni menyeka sudut bibirnya, apalagi menatap penuh cinta seperti sekarang. Roni selalu dingin, selalu sibuk, dan selalu punya alasan untuk mengabaikannya. Dan kini, di depan matanya, pria itu bisa tersenyum hangat untuk wanita lain.
Air mata hampir menetes, tetapi cepat-cepat ia mengedip, menahan harga diri yang tersisa. Tidak! Aku tidak akan menunjukkan kelemahanku lagi. Aku yang akan membuat dia membayar semua ini!
Levina menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, tubuhnya gemetar antara marah dan sakit hati. "Aku nggak akan biarin dia gitu aja!" gumamnya dengan nada penuh tekad.
Tanpa berpikir panjang, Levina melangkah mendekati meja itu. Setiap langkahnya seperti dentuman keras di dadanya, tapi ia tidak peduli. Pandangan orang-orang di restoran mulai mengikuti, karena jelas ada aura tegang yang terpancar dari sosoknya.
Roni yang sedang tertawa bersama wanita itu tiba-tiba membeku ketika merasakan bayangan berdiri di dekat mejanya. Perlahan ia menoleh—dan jantungnya langsung serasa jatuh ke perut.
"Le-Levina?" suaranya tercekat, wajahnya mendadak pucat pasi.
Wanita yang bersamanya ikut terkejut, matanya berkedip bingung, seolah tak mengerti situasi apa yang sedang terjadi.
Levina menarik kursi, duduk dengan tenang namun penuh wibawa di hadapan mereka. Senyumnya miring, menyeringai seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia besar.
"Hai, Roni!" ucapnya dengan nada santai, namun matanya tajam, menusuk pria itu sampai membuatnya gelagapan.
Roni menelan ludah. "Kamu… apa yang kamu lakukan di sini?"
Levina menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat tangan di d**a. "Pertanyaan yang bagus. Tapi kurasa aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kamu lakukan di sini, suap-suapan mesra dengan… oh, siapa ya namanya? Sahabatmu yang dulu pernah kamu kenalkan padaku?"
Wanita itu mulai salah tingkah, memalingkan wajahnya, tapi Levina tidak melepaskan pandangan dari Roni.
Wajah Roni semakin pias, peluh dingin membasahi pelipisnya. "Levina… jangan bikin keributan. Ini tempat umum."
Levina terkekeh dingin. "Keributan? Oh, jadi kamu takut orang lain tahu siapa sebenarnya Roni? Suami yang pura-pura setia, tapi ternyata berselingkuh dengan sahabat sendiri?" suaranya cukup keras untuk membuat beberapa pasang mata di restoran menoleh penasaran.
Roni langsung menunduk, mencoba menenangkan Levina dengan suara lirih, "Cukup, Vin… jangan di sini…"
Tapi Levina semakin menyeringai, mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke matanya. "Kenapa? Takut ketahuan? Harusnya kamu malu, Roni. Selama ini aku yang kamu siksa, aku yang kamu rendahkan, sementara kamu diam-diam memberi perhatian manis pada wanita lain."
Wanita di samping Roni mencoba membuka suara, "Levina, ini—"
Namun Levina langsung mengangkat telapak tangannya, menghentikan. "Kamu diam saja! Aku masih ingat wajahmu dengan jelas. Dan sekarang aku semakin yakin, bukan cuma sekadar sahabat. Ya kan, Roni?"
Roni tidak mampu menjawab. Wajahnya kaku, bibirnya bergetar, tetapi tak ada kata yang keluar.
Levina menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Tenang saja. Aku tidak akan menangis, aku tidak akan memohon. Aku hanya ingin kamu tahu satu hal, Roni… aku akan membuatmu menyesal. Aku akan ambil lagi semua yang pernah kamu rampas dariku. Dan kali ini, aku yang akan menertawakan kehancuranmu."
Roni terpaku. Wanita di sebelahnya memandang dengan wajah panik.
Levina berdiri, mengambil tasnya, dan tanpa menoleh lagi ia melangkah pergi. Setiap langkahnya tegap, penuh amarah yang tersalurkan menjadi tekad.
Sementara di belakangnya, Roni masih duduk membisu, wajahnya pucat dan matanya kosong.
Bersambung