Bab 11. Lebih Suka Kamu

1260 Kata
Happy Reading Levina melangkah keluar dari taksi online yang membawanya pulang dari supermarket. Sepasang tumit kecil dress pink mudanya beradu dengan lantai marmer halaman depan mansion keluarga Savanier. Dari luar, bangunan megah itu tampak sunyi, tapi bagi Levina, hatinya masih berisik penuh dengan suara amarah. Pertemuan singkat dengan Roni tadi di restoran cepat saji kembali terputar jelas di kepalanya. Senyum mesra pria itu pada wanita yang dulu ia kenal sebagai “sahabat”, tatapan lembutnya, bahkan tangan Roni yang tak segan menyeka bibir wanita itu—semuanya membuat dadanya kembali sesak. Dia masih bebas… masih bisa hidup lebih baik dengan hartaku. Sementara aku? Terperangkap di sini, hanya jadi b***k di rumah orang. Levina menggertakkan gigi, langkah kakinya semakin cepat menuju pintu masuk mansion. “Cih,” ia mendesis pelan. “Ternyata udah selingkuh dari dulu… kenapa aku bodoh banget dulu nggak sadar?” gumamnya penuh getir. Begitu masuk ke dalam mansion, aroma harum bunga segar dari vas-vas besar menyambutnya. Dari arah ruang tamu, terdengar suara lembut Bibi Ana. “Levina, mana belanjaannya?” seru wanita paruh baya itu sambil menyeka tangannya dengan celemek. Levina terhenyak sejenak, lalu segera menampilkan wajah biasa, seakan tak ada yang terjadi. “Ah, ini, Bi,” katanya sambil mengangkat dua kantong plastik berisi barang belanjaan. “Maaf lama, tadi aku jajan dulu. Nggak apa-apa, kan?” tambahnya, suaranya dibuat ringan. Bibi Ana menghela napas lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, asalkan pakai uang sendiri. Ya sudah, biar aku yang bawa ke dapur. Sekalian buat dimasak untuk makan malam. Tadi Nona Casandra minta menunya pakai daging asap.” Levina mengangguk patuh, menyerahkan kantong belanjaan itu. “Baik, Bi. Kalau begitu aku bersih-bersih kamar tuan muda dulu.” Bibi Ana menerima belanjaan sambil mengamati Levina. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan gadis itu—seperti ada bara yang disembunyikan rapat di balik senyum tenangnya. Namun, ia memilih tidak bertanya lebih jauh. Levina menaiki anak tangga satu per satu menuju lantai atas. Setibanya di koridor panjang, ia berhenti sejenak di depan cermin besar yang menempel di dinding. Gadis itu menatap pantulan dirinya sendiri: wajah cantik dengan make-up natural, tapi matanya berkilat penuh dendam. “Roni,” bisiknya pelan. “Kamu pikir bisa bahagia dengan semua yang kamu rampas? Lihat saja… aku akan balikin semua rasa sakitku padamu.” Senyum miring mengembang di bibirnya. Setelah itu, ia melanjutkan langkah, menuju kamarnya. Begitu masuk, Levina menggantung dress pink mudanya, lalu kembali mengenakan celemek seragam khas para pelayan di mansion Savanier. Bahan kain itu terasa dingin di kulitnya, mengingatkan kembali siapa dirinya di rumah ini. Namun, kali ini Levina tidak lagi merasa hina. Justru dari titik rendah inilah, ia akan menyusun langkah untuk naik lagi. *** Levina mendorong pintu kamar Ethan perlahan. Aroma maskulin bercampur harum parfum mahal langsung menyergap indra penciumannya. Kamar itu luas, dengan ranjang king size yang selalu tertata rapi, lemari pakaian besar dari kayu mahal, serta jendela kaca tinggi yang menampakkan halaman belakang mansion. Meski Ethan sedang di luar kota, ruangan itu tetap harus bersih. Levina tahu betul, pria itu sangat perfeksionis dan tidak suka melihat kamar berantakan sedikit pun. Ia mengambil kain lap, lalu mulai mengelap meja kerja Ethan. Tumpukan berkas yang rapi, pena mahal, dan laptop yang diletakkan sejajar membuat Levina menghela napas panjang. “Orangnya aja dingin, kamarnya juga kayak gini. Semua serba tertata, tapi bikin orang tertekan,” gumamnya pelan sambil terus mengusap permukaan meja. Setelah itu, Levina beralih ke lemari pakaian. Ia membuka pintunya perlahan, lalu menatap deretan kemeja yang digantung rapi, semua berwarna netral—putih, hitam, abu-abu, biru tua. Tidak ada warna cerah, seolah mencerminkan kepribadian sang tuan muda. Levina merapikan beberapa lipatan yang terlihat agak miring, lalu menutup kembali lemari itu. Tangannya lalu sibuk menata bantal-bantal di ranjang, memastikan garis sprei tidak ada yang berkerut. Saat tangannya berhenti sejenak, pandangan Levina jatuh pada bingkai foto kecil di meja samping ranjang. Foto Ethan bersama keluarganya. Wajah Cassandra yang selalu cantik dan anggun di setiap potret, berdiri manis di samping kakaknya. “Benar kata orang, kalau gen keluarganya cakep, anak-anaknya pasti pada cakep! Duh, kapan bisa punya keluarga yang utuh kayak gini," gumamnya. Namun, bayangan Roni tiba-tiba melintas kembali di benaknya. Tawa mesra pria itu bersama sahabat lamanya. d**a Levina kembali sesak, membuatnya meletakkan bantal dengan kasar. “Tidak, aku nggak boleh larut begini,” ucapnya pelan sambil mengepalkan tangan. “Aku harus fokus. Roni harus merasakan pahitnya hidup seperti aku dulu. Dia harus hancur, baru aku bisa tenang.” Levina kemudian mengambil vacuum cleaner kecil, mulai menyedot debu di bawah ranjang. Setiap gerakan tangannya penuh tenaga, seolah sedang melampiaskan amarah. Ketika selesai, ia berdiri tegak di tengah kamar Ethan. Ruangan itu kini berkilau bersih, seakan tak pernah disentuh debu. Levina menepuk tangannya pelan, lalu tersenyum tipis. “Selesai. Setidaknya, kalau Tuan Ethan pulang nanti, aku nggak akan dimarahi soal kebersihan.” Namun dalam hati, ia tahu, kebersihan kamar ini hanyalah kewajiban kecil. Yang lebih besar adalah bagaimana ia akan membersihkan hidupnya sendiri dari luka masa lalu. *** Levina baru saja merapikan vacuum cleaner kecil di sudut kamar ketika pintu mendadak terbuka. “Levina?” suara lembut itu terdengar, khas milik Nona Cassandra. Levina buru-buru berbalik, lalu sedikit membungkukkan badan. “Iya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Cassandra melangkah masuk dengan anggun, gaun putih sederhana yang ia kenakan membuatnya terlihat semakin manis. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, wangi parfum beraroma bunga semerbak memenuhi ruangan. “Tidak, aku hanya ingin melihat-lihat kamar Kak Ethan. Kamu sedang bersih-bersih, ya?” tanyanya sambil menatap sekeliling. “Iya, Nona. Supaya tetap rapi kalau tuan muda pulang nanti,” jawab Levina sopan. Cassandra tersenyum kecil, lalu menghampiri ranjang. Tangannya menyentuh sprei yang sudah tertata rapi. “Kamu telaten sekali. Jujur saja, aku suka caramu bekerja, Levina. Kamu tidak hanya bersih, tapi juga terlihat tulus.” Levina menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya. “Terima kasih, Nona. Saya hanya melakukan kewajiban saya.” Cassandra duduk di pinggir ranjang, menatap Levina dengan sorot mata teduh. “Kamu tahu, sejak kamu ada di mansion ini, suasana terasa berbeda. Kamu ramah, sopan, dan rajin. Tidak heran Bibi Ana juga sayang padamu. Kak Ethan juga kayaknya terlihat beda, dia lebih hidup, apalagi saat manggil aku, disuruh-suruh," ujar Casandra terkekeh. Levina terdiam sesaat, tidak tahu harus membalas apa. Tapi kemudian Cassandra menambahkan dengan suara lebih lirih, seakan berbicara kepada diri sendiri. “Andai saja… tunangan Kak Ethan bisa seperti kamu.” Kata-kata itu membuat Levina menoleh cepat, matanya berkedip heran. “Tunangan Tuan Ethan?” tanyanya, penuh penasaran. Cassandra tersenyum tipis, matanya menerawang. “Ya, namanya Sonya. Kak Ethan sudah dijodohkan dengannya sejak lama. Tapi…” ia menarik napas, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, aku merasa ada yang aneh. Sonya itu cantik, berpendidikan, keluarga terpandang. Tapi sifatnya… entah kenapa aku tidak bisa cocok. Rasanya terlalu dibuat-buat. Berbeda jauh dengan kamu, Levina. Kamu sederhana, tapi justru itu yang membuatmu menyenangkan.” Levina menelan ludah. Hatinya mendadak dipenuhi rasa ingin tahu. Ia belum pernah bertemu dengan wanita bernama Sonya itu, tapi dari cara Cassandra berbicara, sosok tersebut seolah punya kepribadian yang kurang baik. “Kalau boleh tahu, Nona…” Levina memberanikan diri bertanya, “seperti apa sebenarnya Nona Sonya itu?” Cassandra menoleh, tatapannya seakan menimbang apakah ia boleh menceritakan lebih jauh. Lalu bibirnya melengkung tipis. “Nanti kamu juga akan lihat sendiri, Levina. Suatu saat… kamu pasti akan bertemu dengannya.” Ada nada samar dalam ucapan Cassandra, seolah menyimpan sesuatu yang tidak diucapkan. Levina hanya mengangguk, tapi hatinya semakin dipenuhi rasa penasaran. Siapa sebenarnya Sonya? Dan kenapa Cassandra lebih nyaman bicara padaku daripada calon kakak iparnya sendiri? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN