Happy Reading
Malam itu, kamar Levina terasa sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Levina baru saja selesai merapikan buku catatan kecilnya dan hendak tidur lebih cepat. Namun, ponselnya yang diletakkan di meja samping berbunyi ting.
Sebuah pesan masuk. Dari Ethan.
“Levi… aku rindu kamu.”
Levina spontan merasakan jantungnya berdegup kencang. Kata sederhana itu terasa seperti gemuruh yang membangunkan hatinya yang berusaha keras untuk tetap tenang. Bibirnya bergetar, jemarinya ragu menekan layar. Kenapa dia mengucapkan itu? Plis, jangan bikin aku baper?
Belum sempat ia membalas, tiba-tiba layar ponselnya menyala lagi. Kali ini, sebuah panggilan video masuk. Nama Ethan terpampang jelas.
Levina menahan napas. “Ya Tuhan… mau apa dia malam-malam begini?” gumamnya, namun tangannya tetap gemetar menekan tombol terima.
Layar menampilkan wajah Ethan. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak lelah tapi tetap memancarkan karisma. Dan yang membuat Levina nyaris kehilangan kata-kata—Ethan tidak mengenakan baju. Hanya kulitnya yang terlihat jelas, bidang dadanya yang terbuka lebar, otot perutnya kotak-kotak, membuat Levina menelan ludah.
“Hei, Levina…” suara Ethan terdengar rendah dan berat, ada nada rindu yang samar.
Levina langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya dari kamera. “T-tuan muda… kenapa tiba-tiba video call?” tanyanya gugup, berusaha terdengar tenang.
Ethan tersenyum tipis, senyum yang pernah membuatnya kalah berkali-kali. “Karena aku nggak bisa tidur. Aku kepikiran kamu terus.”
Deg!
Levina menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan reaksi berlebihan. “Jangan bercanda, Tuan Ethan…”
“Aku nggak bercanda.” Ethan memiringkan kepala, tatapannya menusuk lewat layar. “Aku kangen suara kamu. Kangen liat wajah kamu. Bahkan… kangen nyium kamu.”
Levina memejamkan mata erat, berusaha mengatur napas. Kata-kata Ethan mengingatkannya pada malam-malam panas mereka, saat ia tak punya pilihan selain menyerahkan diri. Tapi entah kenapa, detik ini hatinya ikut bergetar.
Ethan kembali bersuara, kali ini lebih rendah, lebih intim. “Kamu inget nggak… malam terakhir sebelum aku pergi? Kamu ada di pelukanku, wajahmu merah, tubuhmu gemetar, tapi kamu tetap aku dekap erat. Aku pengen itu lagi.”
Levina hampir menjatuhkan ponselnya. Ia menggigit bibir bawah, menahan dirinya agar tidak ikut larut. “Tuan muda… tolong jangan bicara begitu. Aku—aku hanya pelayan di sini. Jangan buat aku…”
“Jangan buat kamu apa?” potong Ethan cepat. Senyum miring muncul di wajahnya, penuh godaan. “Jangan buat kamu jatuh makin dalam?”
Levina terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Hatinya berteriak, mengingatkan bahwa semua ini hanya perjanjian. Tapi tubuhnya… tubuhnya merespons lain.
Ethan mengusap rambutnya sendiri, lalu menatap Levina lagi. “Aku nggak peduli apa pun status kamu di sini. Yang aku tahu… aku pengen kamu. Bahkan sekarang, meskipun jauh, aku ngerasa kamu ada di sisiku.”
Levina terisak kecil tanpa sadar, lalu buru-buru menutup mulutnya. “Jangan bilang begitu… aku nggak boleh—”
“Levina,” suara Ethan tegas namun lembut, “berhenti berpura-pura. Kamu ngerasain juga, kan? Sama kayak aku.”
Mereka terdiam, hanya suara napas masing-masing yang terdengar di ujung panggilan.
Levina menggenggam ponselnya lebih erat, tapi ia menahan diri. “Selamat malam, Tuan Ethan… istirahatlah. Jangan buat aku makin sulit.”
Sebelum Ethan sempat membalas, Levina menekan tombol end call. Layar kembali gelap.
Ia menunduk, bahunya bergetar hebat. “Kenapa kamu bikin aku hampir lupa kalau hubungan kita cuma perjanjian?” bisiknya lirih.
***
Di kamar hotel mewah tempatnya menginap, Ethan masih menatap layar ponselnya yang baru saja gelap. Rahangnya mengeras, jemarinya mengetuk permukaan meja dengan irama tak sabar.
“Berani-beraninya dia matiin call gue sepihak,” gumam Ethan rendah, suaranya mengandung nada kesal. Tapi di balik tatapan tajamnya, ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap bayangan dirinya di kaca besar di seberang ruangan. Tanpa baju, hanya dengan celana panjang, otot-otot dadanya mengembang setiap kali ia menarik napas panjang.
“Dasar gadis keras kepala,” lanjutnya lagi, kali ini lebih lirih, dengan senyum miring. “Padahal jelas-jelas aku bisa lihat matanya tadi bergetar. Dia ngerasa hal yang sama, tapi masih pura-pura.”
Ethan mengambil ponselnya kembali, membuka percakapan dengan Levina. Jemarinya sempat menekan papan ketik, hendak menuliskan pesan panjang, tapi ia urungkan. Ia malah menutup layar, menggeleng pelan.
“Ck. Bikin aku gemas aja,” katanya sambil terkekeh kecil. “Kamu pikir bisa kabur dari perasaan ini, Lev? Kamu salah besar. Aku nggak akan biarin kamu cuma jadi sekadar perjanjian di antara kita.”
Senyumnya berubah penuh arti, ada rencana yang jelas di balik sorot matanya. Ia menegakkan tubuhnya, lalu merebahkan diri di ranjang besar.
***
Keesokan harinya.
Suasana pagi di mansion Savanier terasa tenang. Hembusan angin dari halaman belakang membawa aroma bunga yang ditanam rapi oleh para tukang kebun. Di ruang tamu utama, pintu besar berlapis ukiran elegan perlahan terbuka.
Seorang wanita anggun dengan gaun pastel rapi melangkah masuk. Wajahnya cantik, berkelas, dengan riasan natural yang membuatnya tampak berwibawa. Sonya.
Bela, yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah mode, segera berdiri melihat seorang wanita cantik datang.
“Sonya, sayang… kamu datang.”
Sonya tersenyum, meski terlihat ada kegelisahan di balik matanya. Ia mendekat dan memberi salam sopan. “Tante Bela, maaf kalau tiba-tiba datang. Aku… sebenarnya ingin bicara sebentar.”
Bela mengangguk, lalu memberi isyarat pada pelayan untuk menyiapkan teh. “Tentu, duduklah dulu. Ada apa? Wajahmu terlihat cemas.”
Sonya menarik napas dalam, jemarinya menggenggam tas kecil di pangkuannya. “Tante… akhir-akhir ini aku susah sekali menghubungi Ethan. Telepon jarang diangkat, pesan juga lama dibalas… bahkan kadang sama sekali tidak. Aku jadi bingung, Tante. Apa Ethan marah padaku? Atau… ada sesuatu yang dia sembunyikan?”
Bela hanya tersenyum samar, wajahnya tetap tenang. Ia menepuk tangan Sonya dengan lembut. “Jangan khawatir, sayang. Ethan sedang keluar kota beberapa hari ini. Urusan bisnis.”
“Keluar kota?” Sonya mengulang dengan suara ragu. “Oh… begitu, ya. Pantas saja…”
Senyumnya tampak dipaksakan, tapi ia mencoba percaya.
***
Sementara itu, dari arah koridor yang menghubungkan ruang tamu dengan dapur, Levina baru saja turun membawa setumpuk handuk bersih. Pandangannya tanpa sengaja terhenti.
Seorang wanita duduk di ruang tamu bersama Nyonya Bela. Tatapan Levina tertuju pada wajahnya—wajah yang tidak asing. Jantungnya berdegup.
Apa… itu yang namanya Sonya? Wanita yang pernah disebut Nona Casandra… tunangan Ethan?
Wajah Levina menegang. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak berat. Kalau benar… berarti dia calon istri sah Tuan Ethan?
Tak ingin lama-lama terlihat, Levina segera berjalan cepat kembali ke dapur. Di sana, ia meletakkan handuk dengan agak terburu-buru di meja samping.
Salah satu pelayan, Mira, menoleh heran. “Lev, kamu kenapa? Wajahmu pucat gitu.”
Levina menelan ludah. “Mir… tadi aku lihat seorang wanita duduk sama Nyonya Bela. Cantik, anggun, kayak orang kota banget… dia siapa, ya?”
Mira tersenyum kecil, lalu berbisik sambil tetap sibuk mengupas sayuran. “Oh, itu Nona Sonya. Tunangannya Tuan Ethan. Dari dulu memang sudah dijodohkan sama keluarga.”
Deg!
Levina terdiam. Dadanya makin sesak. Dalam hati, pertanyaan-pertanyaan liar berputar. Jadi benar… dia Sonya. Tunangan Ethan. Tapi kenapa wajahnya terasa tidak asing bagiku? Seperti… aku pernah melihatnya entah di mana.
Ia hanya berdiri terpaku, menahan gejolak di dalam hati yang semakin kacau.
***
Levina duduk di tepi ranjang kamarnya yang sederhana di mansion Savanier. Lampu meja menyala temaram, menyoroti wajahnya yang baru selesai dibersihkan dari sisa make-up. Tatapannya kosong menembus jendela yang tertutup tirai tipis.
Kata-kata Mira masih terngiang di telinganya. “Itu Nona Sonya. Tunangannya Tuan Ethan. Dari dulu memang sudah dijodohkan sama keluarga.”
Levina menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan gejolak perasaan yang tak menentu. “Jadi dia tunangannya Tuan Ethan? Bahkan calon istri sah,” bisiknya lirih.
Tangannya mengepal di atas pangkuan. Bayangan wajah Ethan, tatapannya yang dingin tapi kadang hangat, juga sentuhan yang begitu mendominasi saat di kamar—semuanya berputar di kepalanya.
Namun, semakin lama Levina berpikir, semakin jelas kenyataan yang tak bisa ia tolak.
“Hubunganku dengan Ethan… hanyalah sebuah perjanjian,” gumamnya sambil menunduk. “Aku cuma… kekasih gelap. Pendamping sementara. Orang yang dia beli dengan uangnya.”
Nafasnya terengah, terasa berat. Ada luka yang menusuk, tapi sekaligus ada rasa lega. Luka, karena diam-diam ia sudah melibatkan hati; lega, karena akhirnya ia sadar di mana posisinya berdiri.
“Tidak boleh ada perasaan. Aku nggak boleh jatuh cinta padanya,” ucapnya lagi, kali ini lebih keras, seperti sedang mengingatkan dirinya sendiri. “Karena pada akhirnya… dia akan menikah dengan Sonya. Bukan aku.”
Setetes air mata lolos juga dari pelupuknya. Levina segera mengusapnya cepat-cepat, seakan marah pada dirinya sendiri.
“Ingat, Levina! Kamu ada di sini karena misi. Kamu harus ambil kembali hartamu dari Roni. Jangan sampai terikat perasaan dengan Ethan. Dia bukan penyelamatmu. Dia hanya bagian dari perjanjian yang menguntungkan.”
Perlahan, ia berbaring di kasur, memejamkan mata, meski sulit terlelap. Dalam hatinya, ia berusaha membangun dinding setebal mungkin, agar Ethan tak lagi bisa masuk lebih jauh dari sekadar tubuh.
***
Keesokan harinya.
Levina duduk santai di kursi empuk salon, matanya terpejam ketika terapis sedang mengoleskan masker wajah terakhir pada kulitnya. Suara musik lembut mengalun, menenangkan pikirannya. Setelah beberapa kali melakukan perawatan, kulit Levina semakin cerah dan sehat. Padahal dari sananya kulitnya memang putih bersih, tapi kini, hasilnya terlihat lebih terawat, bercahaya, dan membuat rasa percaya dirinya naik berkali lipat.
“Sudah selesai, Nona Levina. Silakan lihat hasilnya di cermin,” ucap terapis dengan ramah.
Levina membuka matanya, menatap pantulan wajahnya di cermin besar. Kilau di kulitnya membuatnya tersenyum tipis. “Hmm… lumayan. Aku semakin percaya diri dengan ini.”
Setelah membayar di kasir, Levina keluar dari salon dengan dress sederhana berwarna biru muda. Rambutnya sebahu dibiarkan tergerai, langkahnya ringan menyusuri trotoar pusat perbelanjaan.
“Hari ini aku bebas… sekali-kali jalan-jalan sebentar nggak ada salahnya,” gumamnya. Ia memutuskan untuk berjalan ke arah butik, sekadar melihat-lihat.
Namun, saat baru saja melewati pintu keluar gedung, matanya langsung menangkap sosok yang sangat familiar di kerumunan orang.
Deg!
Jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin… lagi?
Sosok itu berdiri tak jauh, mengenakan kemeja abu-abu rapi dengan jam tangan mewah di pergelangan. Roni. Mantan suami yang sudah membuatnya jatuh terpuruk.
Levina berdiri terpaku, seakan bumi berhenti berputar. Pandangannya tak bisa lepas dari pria itu yang sedang sibuk berbicara di ponsel. Senyum tipis tergambar di bibirnya, seakan hidupnya begitu ringan, penuh kebahagiaan—bahkan lebih bahagia setelah mengusir dan menceraikan Levina.
“Dia lagi…” Levina berbisik pelan, suara gemetar menahan amarah.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, kuku-kukunya menancap ke telapak tangan. Bayangan di restoran tempo hari kembali muncul: Roni dengan wanita yang diakui sahabat, kemesraan mereka, tawa mereka.
Roni menurunkan ponsel dari telinga, lalu menoleh ke kanan… pandangannya bertemu tepat dengan Levina.
Mata pria itu langsung membelalak kecil. Wajahnya berubah kaku, langkahnya terhenti.
“Le-Levina?” suaranya tercekat, hampir tidak percaya.
Levina tersenyum miring, meski hatinya bergejolak. Ia melangkah maju, sepatu haknya berdetak mantap di lantai marmer. “Kebetulan sekali, Roni. Kita bertemu lagi…”
Roni menelan ludah, jelas gugup. Tangannya yang memegang ponsel sedikit bergetar. “Kamu… apa yang kamu lakukan di sini?”
Levina menatapnya lurus, penuh sinis. “Pertanyaan yang bagus. Tapi seharusnya aku yang tanya. Kenapa aku selalu harus bertemu denganmu di saat aku ingin menenangkan diri?”
Roni mencoba mengalihkan tatapan, matanya melirik ke arah sekeliling yang ramai. “Levina… jangan mulai lagi, ya. Ini tempat umum.”
Levina terkekeh dingin, lalu menyilangkan tangan di d**a. “Tenang saja, aku nggak akan bikin drama. Tapi aku penasaran, Roni…” ia mencondongkan tubuh sedikit. “Hidupmu enak, ya? Pakai jam tangan baru, kemeja rapi, wajah sumringah… pasti senang sekali menghabiskan harta yang dulu kamu rampas dariku.”
Roni terdiam, wajahnya terlihat kaku.
Bersambung