Wajah Tanpa Dosa

1430 Kata
"Aw!! Sakit, Ma," rengek Dirga, mengusap-usap telinganya yang baru saja mendapat hadiah berupa jeweran dari mamanya. Padahal, Dirga baru tiba di rumah. Ia hendak naik ke lantai atas. Tubuhnya yang letih sudah menuntut untuk diistirahatkan. Namun, kemarahan sang mama membuatnya urung menaiki anak tangga. Sekarang, telinganya bahkan terasa amat panas. "Lebih sakit mana kalau dibandingkan sama Delia yang mergokin kamu lagi bareng perempuan itu, Dirga?" teriak Rima. Tangannya terus memelintir telinga putra semata wayang. Kekesalannya belum juga hilang. "Ini, Mama tau dari mana coba? Delia ngadu?" "Enggak! Justru mama nunggu dia ngomong. Tapi sampe selesai makan malam, dia gak ngomong apa-apa." Tadi, Delia pulang lebih dulu setelah selesai makan siang bareng Dirga. Ia diantarkan pulang sementara suaminya kembali ke kantor dengan alasan masih ada pekerjaan. Rima mendesak Delia untuk menceritakan semua yang terjadi di kantor. Namun, apa yang Rima dengar dari sopirnya sama sekali tidak keluar dari mulut menantunya itu. "Delia itu terlalu baik. Mungkin kalau gadis lain yang jadi menantu mama, mama udah pusing denger aduannya tentang kelakuan kamu, Ga." Rima menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Kembali ke posisinya semula yang sedang menikmati acara televisi bersama suaminya—Sultan Bagaskara—sebelum Dirga datang. "Sini kamu!" seru Rima garang. Meminta Dirga agar duduk di sampingnya. "Jangan galak-galak, Ma. Nanti Dirga lari, loh." Sultan menggoda Rima, tangannya meraih remot televisi, memindahkan saluran acara sebelumnya ke saluran berita. Sultan Bagaskara terkekeh kala melihat istrinya itu mendengkus. Apalagi saat mendapati Dirga melangkah malas dengan wajah ditekuk. "Sini, Ga. Sama papa aja. Kalo sama mama nanti kena jewer lagi," kata Sultan sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya. Dirga menurut, dia duduk di sebelah papanya setelah melirik sekilas mamanya yang masih cemberut. "Papa gak bakal jewer Dirga juga, kan?" tanyanya pada sang ayah. "Kamu ngerasa salah gak? Kalau enggak, ya, gak perlu takut, bukan?" Sultan balik melempar tanya, menohok Dirga yang seketika meneguk ludah. "Ah, sama Mama aja, lah. Papa kalo marah lebih kejam." Dirga sudah melangkah hendak pindah ke sisi Rima. Namun, langkahnya terhenti saat Sultan Bagaskara sudah lebih dulu menarik kemeja bagian belakang Dirga. "Ah, Pah." "Sudah tau kalo berbuat salah apa akibatnya? Kapan kamu bersikap dewasa, Dirga. Sedikit aja," keluh Sultan. "Ini Dirga kenapa jadi terdakwa begini, sih? Iya, oke! Dirga minta maaf. Tapi sumpah, bukan Dirga yang bawa Angel ke kantor. Dia sendiri yang datang, Dirga aja kaget." Akhirnya Dirga mengakui juga apa kesalahannya. Namun, Sultan belum puas dengan apa yang dituturkan putranya itu. "Bukan hanya itu, kamu juga membatalkan meeting seenak jidat gara-gara hal itu, iya, kan?" Dirga memejamkan mata. Buru-buru ia pindah ke sisi Rima, meminta perlindungan sebelum Sultan murka. "Ma, tolongin! Aku gak meeting bukan karena Angel, loh. Jadwal meeting tadi jam sebelas sebelum makan siang, tapi, kan, Delia terus datang, masa Dirga tinggalin dia sendiri. Iya, kan, Dirga gak salah 'kan, Ma?" adunya, meminta pembelaan dari sang mama. "Kamu tuh, Ga. Udah dewasa juga, malu sama Delia." Rima menjitak pelan pelipis Dirga yang saat itu sudah merebahkan kepala di pangkuannya. Masih sama seperti biasa, manja. Setiap ia lalai dalam pekerjaan, Sultan akan menceramahi Dirga dan anak semata wayang itu pasti mencari perlindungannya. "Ya sudah sana! Temuin istrimu. Biar mama yang ngomong sama papamu." Rima menepuk pelan puncak kepala Dirga. Menyuruhnya segera ke kamar. "Tapi kamu udah makan malam, kan?" tanya Rima sebelum anak laki-lakinya itu bangkit. "Udah dong, Ma," jawab Dirga, malas. Rima membuang napas kasar. Tangannya menjambak rambut Dirga, gemas dengan tingkah Dirga yang kekanak-kanakkan. "Makan malam di luar terus, sih, Ga. Jangan diulang! Mulai hari ini, kamu sudah harus ada di rumah sebelum jam tujuh malam. Ngerti!" Dirga mendengkus. "Ada pekerjaan, Ma." "Kamu sudah punya istri, Ga. Inget itu!" Rima memperingatkan putranya. Kalau tidak seperti itu, Dirga sering lalai. Bisa-bisa anak itu keluyuran sepanjang malam. "Ya, elah, iya." Dirga bangkit dari pangkuan sang mama. "Ke kamar, ah. Mau nemenin istri Dirga yang imut, cantik itu." Dirga menggerak-gerakkan alis ke arah Rima. "Oke, Ma. Katanya mau cucu. Nyetak dulu nyetak!" Dia mencium mamanya sebelum beranjak. "Bye, Pah." "Anak itu." Sultan menggeleng-gelengkan kepala. Fokusnya masih tetap sama, pada televisi yang setia menyala. "Kayak Papa, tuh," timpal Rima. "Kata siapa, Mama, tuh, yang begitu." Sultan mengelak. Rima mendesis. "Ngomong-ngomong, itu dulu bikinnya gimana, sih, mama lupa. Absurd begitu anak. Masa kata Mang Kasim dia lagi sama perempuan centil itu. Dipangku-pangku, Pah. Ih, kalo mama jadi Delia, mama udah tampar itu Dirga. Mama jambak rambut perempuan itu, mama pukul dia," cerocos Rima, kesal. Dia sudah berpindah tempat ke samping Sultan. Tangannya gemas memukul-mukul paha suaminya. "Jangan dipraktekin juga apa, Ma. Sakit papa." *** Langkah Dirga gontai memasuki kamar. Membuka pintu, malas. Namun, begitu sampai di dalam, mata Dirga berubah binar. Pemandangan seseorang yang tertidur di atas ranjang membuatnya kembali bersemangat. Dia bersiul-siul mendekati tempat di mana istrinya itu berada. Delia tengah memejamkan mata, selimut menutupi sebatas pinggang. Gadis itu tidur menyamping membelakangi arah Dirga datang. Dari posisi Dirga tidak terlihat apakah Delia hanya tiduran ataukah sudah pulas ke alam mimpi. Sedangkan, yang Dirga lihat dan membuat fokusnya tertuju ialah pakaian yang Delia kenakan. Baju tidur tipis dengan tali kecil di pundaknya. "Wow! Mangsa ini mah," ujar Dirga kembali bersiul, menggoda. Dirga semakin mendekat, tetapi tak ada pergerakan dari gadis itu. Dirga melongok wajah Delia. Istrinya itu memejamkan mata, entah tidur atau berpura-pura, Dirga tidak tahu. Ia hanya menilik jam di pergelangannya, sudah pukul sepuluh malam. "Pantas saja. Delia pasti capek, seharian di luar rumah," gumam Dirga. Tangannya mengusap sisi wajah Delia. Membelai rambut penuh sayang, menyelipkannya ke belakang telinga. Dirga baru saja hendak beranjak untuk pergi ke kamar mandi. Namun, netranya menangkap pergelakan dari kelopak mata Delia. Ia yakin gadis itu belum tertidur, melainkan hanya berpura-pura. Dirga berdehem, tetapi Delia masih memejamkan mata. "Jangan pura-pura, De. Mas tau kamu belum tidur." Dirga berdiri di samping tempat tidur. Jemarinya membuka kancing kemeja satu-persatu. "Delia buka mata kamu!" Nihil, tidak ada respon. "Ayolah, De. Lanjutin yang tadi di kantor. Mau?" Masih tidak ada pergerakan. Dirga merapatkan wajahnya ke samping pipi Delia. Bibirnya hampir menyentuh telinga. "Dosa, loh, nolak suami," bisik Dirga. Delia masih pada pertahanannya. "Beneran tidur, ya?" Telapak tangan Dirga mengibas di depan wajah Delia. "Ya, udah, mas mandi dulu, ya. Jangan pura-pura tidur!" Dirga melangkahkan tungkainya ke bilik mandi. Hatinya tengah berbunga-bunga. Dirga yakin Delia tidak akan menolak 'tuk melayaninya malam ini. Namun, tiba-tiba Dirga kembali keluar dengan segala umpatan. "Delia, bangun!" teriaknya lantang. "Delia jangan bohong kamu! Kamar mandi bau banget, bangun kamu! Bersihin!" Dirga masih ngotot. "Apa, sih, Mas. Delia ngantuk," keluh gadis itu sambil menguap. "Bohong, kamu belum tidur, kan?" Dirga duduk di sisi ranjang memperhatikan wajah Delia. "Eum ... udah, kok. Delia gak tahu kapan Mas Dirga datang," elak Delia. "Mas Dirga kenapa teriak-teriak?" "Kenapa kamu bilang? Itu kamar mandi bau gitu, kamu makan apa, sih?" Delia kembali menguap. Telapak tangan menutupi mulutnya. Sebelum gadis itu menjawab, Delia lebih dulu meraih gelas berisi air mineral. "Heh, orang nanya tuh dijawab, Delia," geram Dirga. Mendapati sikap istrinya yang kelewat santai. "Bentar, dong. Haus, nih. Kenapa?" tanya Delia seolah tidak paham. "Bau, ya, kamar mandinya. Delia lupa, nyiramnya sedikit tadi. Padahal abis makan pete." Gadis itu menyengir. Menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi. Benar-benar wajah tanpa dosa. Dirga melongo. "Pete?" "Iya." "Kapan?" Dirga bangkit dari duduknya, berdiri memperhatikan langkah gontai Delia menuju kamar mandi. "Kapan kamu makan pete, dan gimana bisa ada yang masak pete di rumah ini?" "Tadi pagi, Mas. Sebelum ngemol sama Mama Rima." Delia menoleh ke arah Dirga sebelum masuk ke kamar mandi. Bibirnya maju beberapa mili saat mengucapkan kata 'ngemol'. "Sebelum ke kantor, De?" "Iya." "Sebelum kita ... ciuman?" "I, iya," jawab Delia—sedikit ragu, tetapi terdengar lantang—dari dalam kamar mandi. "Buset dah. Saya nyium dia abis makan ... idih." Dirga mengusap bibirnya. "Cih!" Mendecih jijik. Di dalam kamar mandi, Delia menyiramkan banyak air. Menggosok lantai menggunakan disinfektan dengan wangi sitrus agar bau tak sedap tidak lagi tercium. Tak terlewat, kloset juga ia bersihkan. Delia benar-benar lupa kalau Dirga anti dengan aroma buah petai yang ia makan. Air seni jika habis memakan makanan tersebut pasti berbau. Ia lupa membersihkannya dengan baik. Walaupun bagi Delia tidak begitu tercium. Namun, mungkin berbeda dengan indera yang dimiliki Dirga. Sangat tajam. Delia keluar saat Dirga masih mengusap bibirnya. "Kenapa, Mas? Jijik, ya? Tapi mulutku gak bau, kan?" Delia kembali menunjukkan senyumnya yang polos-polos menjengkelkan itu. "Gak usah nyengir! Jorok!" Delia tertawa renyah. Tangannya melambai pada Dirga yang berlalu, kembali ke kamar mandi. "Itu anak kenapa jadi berubah gitu, ya? Biasanya kalem. Malu-malu. Kenapa jadi sering nyengir kuda," gumam Dirga begitu ia menutup kembali bilik mandi. Bahunya terangkat, heran mendapati sikap aneh Delia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN