Lift konslet dan meluncur bebas hingga ke dasar, di bagian basement. Gia dan Bastian yang ada di dalamnya ikut terjatuh bersama kotak besi itu.
"Aw.." Gia meringis saat tubuhnya terhentak.
"Kamu nggak apa-apa?" Dalam keadaan lampu gelap, Bastian langsung menarik Gia agar mendekat. Beruntung ia tidak mengalami cedera, hanya beberapa bagian tubuhnya saja yang terasa sakit. Tapi Gia, wanita itu sepertinya mengalami cedera.
"Kakiku sakit." Keluhnya.
Udara sesak dan gelap semakin membuat Bastian kesulitan melihat kondisi Gia secara langsung. Tapi wanita itu sudah ada didekatnya. Bastian memeluk pinggang Gia dengan erat.
"Aku nggak bisa berdiri." Rintihnya lagi.
"Kemana petugas! Apa mereka tidak tahu lift ini rusak dan tidak layak pakai?" Bastian mulai kesal, sebab dari saat Lift mengalami konsleting sampai terjatuh, tidak ada bantuan atau petugas yang datang menyelamatkan mereka.
"Tahan sebentar," Bastian semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Gia. "Pegangan yang kuat." Ucap Bastian saat Gia mengalungkan tangannya pada leher Bastian.
"Ada orang di dalam?" Akhirnya terdengar suara seseorang dari arah luar.
"Ada! Cepat buka, sialan!" Umpat Bastian dari dalam lift.
Gia tidak bisa lagi berkata-kata, sebab rasa sakit di bagian kakinya terasa begitu menyiksa. Entah hanya terkilir atau pun bisa saja patah, Gia tidak bisa membedakannya sebab rasanya begitu sakit. Luar biasa sakit.
Butuh waktu sampai lima belas menit sampai akhirnya pintu lift terbuka. Gia dan Bastian sudah merasakan kepanasan sampai pakaian mereka basah akibat keringat.
"Pak Bastian masih wangi, padahal keringetan." Bisik Gia, tepat di dekat telinga Bastian.
"Masih sempat-sempatnya kamu ngomong gitu?! Padahal kita hampir mati."
"Ah iya," Gia menganggukan kepalanya. "Hampir aja aku mati di dalam lift bersama suami sahabatku."
Bastian hanya menghela lemah dan segera menggendong Gia setelah lima petugas berhasil membuka pintu lift. Keadaan menjadi ricuh, saat Bastian membawa Gia keluar menuju ruang IGD. Salah satu perawat mereka mengalami kecelakaan akibat lift rusak.
"Periksa dia dengan baik." Ucap Bastian, setelah ia berhasil membawa Gia ke salah satu bangkar yang ada di ruang IGD.
"Pastikan Gia mendapat perawatan yang baik. Kakinya terluka." Ucap Bastian lagi.
Gia menoleh ke arah lelaki itu yang terlihat khawatir. Gia tersenyum samar, jika saja ia memiliki seseorang yang memperhatikannya, rasanya pasti sangat menyenangkan. Tapi Bastian suami Olivia, ingat itu Gia!
Gia menggelengkan kepalanya.
"Dia suami sahabat gue," Gumamnya pelan.
"Pak Bastian mau kemana?" Tanya Gia, saat Bastian hendak pergi.
"Aku harus memeriksa kinerja pekerja di rumah sakit ini, terutama di bagian keamanan. Mereka lalai, sampai tidak terdeteksi adanya kerusakan di salah satu lift. Bahaya kalau hal tersebut kembali terulang." Jelasnya.
Gia hanya menggumam pelan dan menganggukan kepalanya.
"Dia juga kesakitan," Ucap Gia pada salah satu perawat yang juga temannya.
"Pak Bastian serem ya kalau marah, nggak kebayang para pekerja itu, pasti habis-habisan di marahin."
"Tapi dia kelihatan makin sexy kalau marah," Balas Gia.
"Mana ada orang marah kelihatan sexy, ngaco!"
"Ada, Pak Bastian buktinya."
"Mudah-mudahan hanya kakimu saja yang terkilir akibat terbentur, tapi otakmu jangan."
Gia hanya meringis pelan, apalagi saat kakinya di gips karena mengalami retak. Beruntung tidak patah dan hanya mengalami retak saja, meski begitu Gia akan mengalami kesulitan saat berjalan dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
"Cuti sampai kakimu sembuh?" Tatapan Steven begitu tajam, seolah kecelakaan yang dilakukan Gia adalah kesalahan konyol seperti terkilir saat hendak makan seblak.
"Iya." Balas Gia pelan. Sudah cukup kakinya yang sakit, ia tidak perlu lagi membuang-buang energi untuk berdebat bersama Steven.
Selama bekerja di rumah sakit ini, Gia tidak pernah mengeluhkan apapun, dia begitu menikmati perannya sebagai seorang perawat, tapi saat Steven datang menggantikan posisi Yuna, saat itu juga dunia kerja Gia berubah. Setiap harinya ia harus merapalkan doa agar tidak kebablasan menampar atau memukul kepala Steven. Lelaki itu sangat menyebalkan. Untung aja ganteng, setidaknya kelakuan abnormal nya masih terselamatkan oleh ketampanan yang dimilikinya.
"Kamu masih bisa kerja menggantikan Diana, di bagian operator rumah sakit. Jadi kamu nggak perlu cuti terlalu lama dan masih bisa bekerja."
"Apa? Saya sakit loh, Dok. Saya kecelakaan akibat lift rusak, bukan sakit disengaja atau cuman sakit panuan." Gia kesal.
"Padahal tadi tuh kenapa nggak Dokter aja yang nganter laporan ini ke ruang Lab, biar Dokter sendiri yang jatuh dari lift bersama Pak Bastian dan kakinya patah."
Kali ini Gia tidak bisa mentolerir sikap menyebalkan Steven. Sebab Gia akan semakin kesulitan melarikan diri dari rumah, jika kondisinya sakit seperti sekarang ini. Sakit dan ada dirumah selama proses penyembuhan bukan ide bagus, sebab setiap hari, setiap menit dan setiap jam ia akan bertemu dengan Nenek lampir yang berstatus sebagai ibu tirinya.
"Kalau begitu istirahat dua hari cukup." Ucapnya tanpa ekspresi.
Kalau saja memukul Dokter dengan tongkat yang dikenakannya saat ini bukan tindakan kriminal, mungkin Gia akan melakukannya dengan senang hati. Tapi sayangnya ia masih butuh pekerjaan dan tidak mau pindah tempat tinggal ke penjara.
"Baik." Jawabnya patuh atau mungkin Gia malas untuk kembali berdebat.
"Kalau begitu saya permisi, Dok. Saya mau langsung pulang," Pamit Gia.
Dengan langkah tertatih, Gia langsung meninggalkan ruang kerja Steven. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuat tekanan darahnya naik.
Dibantu dua teman lainnya, Gia di antar sampai lobi Rumah sakit. Ia sudah memesan taksi online dan meninggalkan mobilnya di rumah sakit, dengan kondisi seperti itu Gia tidak bisa mengemudi sendiri.
"Saya antar pulang," Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bastian muncul.
"Perasaan dari tadi nggak lihat Pak Bastian, tau-tau udah nongol aja." Gia menoleh ke arah belakang Bastian.
"Nggak mungkin kan tiba-tiba datang atau pake jurus menghilang."
"Kamu aja yang nggak sadar," Bastian menarik Gia menuju mobilnya.
"Mobil saya ada disana."
"Tapi saya udah pesen taksi online, Pak."
"Batalin aja. Saya antar pulang,"
Gia tidak bisa menolak apalagi berontak. Kakinya tidak bisa diajak kerja sama untuk saat ini, bahkan untuk berjalan pun sulit.
"Olivia tau Pak Bastian antar saya pulang." Tanya Gia, saat keduanya sudah berada di dalam mobil.
"Nggak." Jawab Bastian singkat.
"Pak Bastian tau kan, saya dan Olivia teman baik?"
"Tau." Jawabnya lagi, lagi-lagi Bastian menjawab singkat.
"Saya nggak mau Olivia salah paham aja."
"Kayaknya yang salah paham itu kamu, saya cuman mau antar pulang, bukan mau ngajak kencan."
Gia melotot ke arah Bastian. Ternyata dua lelaki tampan yang ada di rumah sakit memiliki mulut tajam setajam silet!