10. Awas Jatuh

1066 Kata
Hanif masih hidup beberapa hari dalam kesakitan parah. Sam memintanya menghubungi musuh, memanfaatkan Hanif agar memberi informasi bohong sampai mereka percaya. Lalu, hidup Hanif berakhir di meja operasi gelap. Seluruh organnya diambil, dijual cepat pada pemesan yang sudah menunggu. Kali ini, orang dalam negeri. ... dan semuanya beres setelah jenazah Hanif dikremasi. Abunya ditabur di laut. Tidak ada keluarga yang mencari sebab Hanif memang hidup sendiri. “Pelajaran untuk kalian semua. Kalau herani berkhianat, akan bernasib seperti Hanif. Bahkan lebih parah. Hanif orang pertama. Kalau sampai ada Hanif-Hanif lain, saya tidak segan-segan membuat hidup kalian dan seluruh keluarga kalian hancur,” ujar Sam pada anak buahnya. “Sejak kalian bergabung Black Shadow, seharusnya sudah tahu konsekuensinya. Harus setia sampai maut. Tapi kalau di tengah jalan berbelok, tempat kremasi menanti kalian.” Anak buah Sam mengangguk, meneguk ludah takut. “Oh ya. Sebagai perayaan kematian pengkhianat dan terjualnya ‘emas’ kita, akan ada bonus besar untuk kalian.” Di balik ketakutan, Sam ternyata sudah menyiapkan bonus untuk mereka. Bonus dengan jumlah tidak sedikit. *_* Lalu hari berganti, minggu melaju. Semua masih berjalan seperti biasanya. Ruang rapat lantai 5 Heal Hospital dipenuhi suara ketukan pena, berkas laporan, dan aroma kopi. Sebagai rumah sakit swasta yang cukup besar, rapat direksi pagi itu membahas evaluasi bulanan dan rencana pengembangan layanan. Sam duduk di kursi paling ujung meja oval panjang. Kemeja putih bersih dengan jas abu gelap membuatnya tampak berwibawa, berbeda jauh dari sosok gelap di gudang beberapa malam sebelumnya. Ekspresinya tenang, matanya fokus, setiap gerakan tangan memberi kesan pengendali situasi secara penuh. “Dr. Sam, revenue bulan ini meningkat 7%. Tapi kita masih kekurangan tenaga perawat di ruang NICU,” ujar direksi keuangan. Sam mengangguk perlahan. “Catat untuk recruitment plan. Pastikan HRD membuka lowongan secepatnya. Jangan tunggu bulan depan, kebutuhan neonatus tidak bisa ditunda.” “Ada juga masalah keterlambatan laporan rekam medis, Dok. Bagian administrasi masih menumpuk data,” sahut kepala medis. “Itu krusial. Rekam medis adalah jantung rumah sakit. Kalau alur dokumentasi tidak rapi, bisa berisiko pada patient safety. Bentuk task force kecil, libatkan IT, buat sistem digitalisasi lebih cepat.” Sam menatap seluruh ruangan. “Ingat, Heal Hospital bukan hanya tempat berbisnis. Ini tempat pasien menggantungkan nyawa. Jangan biarkan ada celah sekecil apa pun. Beri pelayanan terbaik untuk mereka yang datang.” Nada bicaranya dalam, tetapi sabar. Ia mendengarkan setiap masukan, memberikan keputusan tegas namun tetap menghargai. Aura kepemimpinannya membuat semua orang di ruangan itu terdiam penuh hormat. Sam menjadi CEO di rumah sakit setelah mendapat amanah langsung dari CEO sebelumnya, yang mana CEO yang dulu merupakan rekan orang tuanya. Bisa dibilang, Sam masuk ke sana melalui jalur orang dalam. Ditambah kesepakatan para direksi. Meski ada jalur khusus, selama ini Sam memang dikenal sebagai dokter yang sabar, bijaksana, cerdas, dan cekatan. Wajar jika ia dipilih menjadi CEO dan menjabat beberapa tahun ini. Beberapa jam setelah rapat, Sam turun ke lantai dua, bagian poliklinik. Kebetulan hari itu Ivone mengantar ibunya kontrol pasca rawat inap. Kusnul tampak lebih segar, mengenakan kerudung biru muda, duduk di kursi roda yang didorong Ivone. Senyum keibuannya masih terpancar meski napasnya kadang terengah. Saat keluar dari ruang pemeriksaan, mereka berpapasan dengan Sam. Kali ini, berbeda dari sebelumnya, Sam tersenyum ramah dan menyapa. Entah angin apa yang membuatnya bersikap aneh seperti ini. Sam menunduk sedikit, suaranya lembut. “Apa kabar, Iv?” Ivone hanya tersenyum kikuk. Antara takut dan penasaran. Apa gerangan yang membuat pria ini menyapa? Bukannya dulu pernah berpesan untuk pura-pura tidak saling mengenal? “Selamat siang, Bu. Bagaimana kondisinya hari ini?” sapa Sam pada Kusnul. Kusnul langsung berbinar. “Alhamdulillah sudah agak enteng. Maaf kalau boleh tahu, kamu ini siapa, ya? Sepertinya saya belum pernah lihat.” “Saya Sam, salah satu dokter di sini. Saya temannya Ivone.” Kusnul spontan menatap sang anak. “Bener, Iv? Kok kamu nggak pernah cerita sama Ibu kalau punya teman seorang dokter?” Ivone hanya tersenyum canggung. “Kenalnya juga baru, Bu.” Sam mengangguk membenarkan. Matanya sekilas menatap Ivone yang menunduk kaku, jelas tidak nyaman. “Ibu hari ini kontrol?” tanya Sam lagi. “Iya, Dok. Ini, sakit paru-paru. Tapi sudah lumayan baik.” “Syukurlah. Jangan lupa tetap kontrol sesuai jadwal. Obat inhalernya diminum teratur, ya? Dan saya rekomendasikan rumah sakit ini untuk Ibu berobat. Akan kami beri layanan sebaik mungkin.” “Benarkah?” Sam tersenyum, mengangguk. “Pasti.” “Selama ini, saya berobat di rumah sakit umum. Tapi kemarin karena darurat, tetangga malah mengantar ke sini. Katanya bagus. Tapi memang bagus sih. Nanti saya minta Ivone biar dipindah ke sini saja selanjutnya.” “Bisa, bisa.” “Ya, Iv. Nanti urus di Faskes satu, bilang minta oper ke sini ya?” Ivone yang dari tadi menyimak, mengangguk sekilas. Kusnul tersenyum, lalu menoleh pada Ivone, kemudian kembali menatap Sam dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Maaf, Dokter siapa namanya tadi?” tanya Kusnul. “Saya Sam, Bu. Dokter obgyn di sini.” “Dokter Sam ini tampak baik dan perhatian sekali. Kalian sudah saling kenal lama, Iv?” Ivone terperangah. Tangannya refleks menggenggam pegangan kursi roda lebih erat. “Baru, Bu,” jawab Ivone canggung. “Ya udah, ayo kita pulang. Dok, saya dan Ibu permisi dulu ya?” Sam mengangguk. “Hati-hati. Perlu diantar?” “Ah, enggak. Terima kasih. Dokter pasti sibuk. Permisi.” “Duluan, Dokter,” pamit Kusnul. “Senang bertemu Dokter.” Ivone mengangguk sekilas, lalu segera berlalu bersama sang ibu. Kusnul masih sempat menatap keduanya bergantian. Dalam hati, ia membatin dengan aneh. Andai saja Ivone punya suami baik dan berwibawa seperti dokter ini. Sementara itu, Ivone buru-buru mendorong kursi roda menjauh, wajahnya ketakutan. Sam hanya berdiri di lorong, menatap punggung keduanya dengan senyum samar, samar sekali, antara ramah dan misterius. “Kamu itu mainan baru saya, Ivone. Saya tidak bisa membiarkanmu lolos begitu saja setelah malam itu,” ucap Sam dalam hati. “Bu, setelah aku antar pulang nanti, aku mau balik ke kantor lagi. Tadi cuma dikasih izin sebentar, nggak boleh cuti,” ujar Ivone sambil memapah ibunya. “Iya. Eh, Nduk. Kayaknya dokter tadi cocok sama kamu.” “Bu, dia seorang dokter. Nggak mungkin belum menikah. Dia pasti sudah punya istri.” Ivone hanya menerka, belum tahu juga kebenarannya. “Iya juga ya. Tapi semoga belum. Kalau belum, Ibu pengen punya mantu dia.” “Ibu mending bangun deh. Tidur Ibu terlalu miring. Awas jatuh.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN