Setiap hari, ucapan Kusnul makin melantur mengenai Sam. Wajah wanita itu kian semringah, seperti punya semangat baru, yakni menjodohkan anaknya dengan Sam jika memang pria itu masih sendiri.
“Nduk, kamu dulu kenal Dokter Sam di mana?” tanya Kusnul menggebu-gebu suatu hari.
“Nggak sengaja ketemu di jalan. Udah ah, Bu. Jangan bahas pria itu lagi.”
“Tapi nggak tahu kenapa, Ibu punya firasat kalau kamu sama dia berjodoh.”
“Bu ....”
“Namanya firasat, Nduk. Bisa salah bisa benar. Tapi Ibu berharap benar.”
Ivone justru punya firasat kalau Sam bukan orang baik. Bahkan berbahaya. Ya, meskipun pria itu dokter.
“Kalau dia sudah punya istri, Ibu mau aku jadi istri kedua? Dih, amit-amit jabang bayik. Lagian ya, Bu. Nggak mungkin ada seorang dokter mau sama wanita pulu-pulu kayak aku.”
“Eh, jangan salah. Kamu itu cantik. Sangat cantik malah. Pendidikanmu juga lumayan, nggak rendah-rendah amat. Hanya agak kurang di masalah ekonomi saja kalau dibandingkan dokter spesialis. Tapi seenggaknya kita nggak miskin-miskin amat.”
“Halunya sudah, Bu. Cukup. Lagian aku juga udah ada Mas Yama. Kurang apa dia coba? Dia juga kontraktor.”
“Kurangnya satu. Dia belum siap nikah atau mungkin sebenernya nggak cinta sama kamu. Kamu cuma dijadikan mainan. Siapa tahu dia punya wanita lain?”
“Bu, jangan bilang begitu.”
“Nduk, Iv. Kondisi Ibu kadang sehat seperti ini, kadang tiba-tiba drop. Ibu nggak tahu sampai kapan bisa bertahan. Jadi, sebelum Ibu pergi, izinkan Ibu melihatmu menikah. Cuma itu.”
Kalau sudah seperti ini, Ivone sudah tidak bisa lagi berdebat.
Kondisi Kusnul memang tidak tentu. Jika sedang baik, seperti tidak pernah sakit. Namun, sekali drop, bernapas saja rasanya bukan mengeluarkan udara, tetapi duri berapi.
“Ketemu temenku yang dokter Ibu bisa bilang begini. Nanti mungkin kalo Ibu ketemu temenku yang lain, bos tambang misalnya. Ibu akan nyuruh aku nikah sama dia juga?”
Kusnul tertawa. “Ya enggaklah. Pokoknya Ibu bakal cari tahu tentang Dokter Sam. Media sosialnya apa, ya? Kamu tahu nggak? Atau nanti pas kontrol, Ibu mau tanya perawat sana, Dokter Sam sudah nikah apa belum. Pasti tahu."
“Ibu ...!”
“Ganteng banget loh, Iv. Wajahnya ke-Arab-Araban."
“Ibu udah deh. Atau Ibu aja sana yang nikah sama dokter gadungan itu "
Itu masalah di rumah. Belum lagi saat Ivone menghadapi pekerjaan di kantor. Komar, selalu punya cara menindasnya.
“Iv, pergi ke kantor Aditama. Tanya mereka, barang sudah bertahun-tahun nggak ada kejelasan. Mau diklaim hilang atau mau terus disewa,” titah Komar.
“Tapi tagihan dibayar lancar kan, Pak?” sahut Ivone.
“Iya, lancar. Tapi sudah ada hampir dua tahun. Kalau alat berat nggak diservis secara berkala pasti rusaklah.”
“Selagi masih rutin bayar sewa tiap bulan, ya biarkan saja.”
“Enak saja suruh biarkan. Itu barang saya! Kalau sampai rusak atau hilang, saya yang rugi, bukan kamu!”
“Nagihnya sama Bapak, kan?”
“Nggak! Saya masih ada urusan di PT. Wilmer.”
“Jadi, saya sendiri?”
“Iyalah! Berangkat sekarang! Pulangnya mampir ke PT. Wika. Minta kejelasan masalah pajak. Kita minta seberapa, mereka bayar seenaknya.”
Ivone hanya mengangguk. Kian hari, sang bos makin menyebalkan baginya. Terus menuntut pekerjaan berat. Ia bertahan semata-mata karena tidak suka dunia per-kue-an. Namun, jika Komar makin menjadi, ia pasti akan mengundurkan diri.
Memang, ada mobil perusahaan beserta sopir yang akan mengantar. Namun, tetap saja menghadapi para kontraktor sendirian itu bukan perkara mudah.
“Nasib. Hidup cuma sekali. Udah gitu jadi anak buahnya Pak Komar pula,” keluh Ivone ketika sudah ada di mobil, dalam perjalanan.
“Yang sabar, Mbak Iv. Oh ya, sudah dengar selentingan belum?” sahut Yono, sang sopir.
“Masalah apa?”
“Katanya Pak Komar suka sama Mbak.”
Ivone langsung terpingkal-pingkal. “Mana ada? Dia sudah punya istri. Dua malah.”
“Mau jadikan Mbak istri ketiga mungkin. Mbak merasa nggak, sikap Pak Komar berubah akhir-akhir ini?”
“Banget. Suka menekan saya sembarangan. Cuti atau izin dipersulit.”
“Itu karena Mbak pacaran sama Pak Yama. Pak Komar baru tahu, cemburu tuh. Kata anak-anak gitu.”
“Nggak mungkin.”
“Saran saya, hati-hati ya, Mbak sama Pak Komar.”
Ivone terdiam. Diam-diam ia merasa takut dan waspada.
“Pak Yono bikin takut ah.”
“Memang harus waspada. Jaga diri pokoknya sama Pak Komar. Kalau diberi minuman yang sekiranya mencurigakan, jangan mau. Kecuali kalau makan bareng-bareng karyawan lain. Itu insyaallah aman.”
Ivone hanya mengangguk. Sepertinya ia harus menyalakan alarm peringatan untuk dirinya sendiri mulai sekarang.
Begitu tiba di kantor PT. Aditama, Ivone masuk dan dipersilakan menunggu. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menemui.
“Saya utusan dari Maju Bersama, Pak. Saya diminta perusahaan menanyakan kejelasan scaffolding dan beberapa alat berat kami yang disewa pihak sini.” Ivone mulai menjelaskan alasannya datang.
“Kalau barang kami memang masih ada dan aman, kami juga merasa lega. Tapi kalau rupanya hilang atau rusak, bisa diklaim,” pungkas wanita berhijab abu-abu tersebut.
“Selama ini pembayaran kami lancar loh. Kenapa tiba-tiba ditanyakan?”
“Karena pihak kami juga ingin tahu kondisi barang kami.”
“Aman kok! Buat apa kami mau merusak barang kalian!” Pihak lawan mulai naik pitam. “Kalau masih kami perpanjang, tandanya masih kami butuhkan. Masalah kecil begini saja kok diurusi!”
“Jelas kami urusi. Meskipun pihak Bapak menyewa, tapi tetap saja kami khawatir. Tapi kalau barang kami masih aman tidak rusak, kami cukup lega.”
“Ya, masih aman! Nggak akan kami makan! Nggak doyan kami! Kalian ini, perusahaan kecil tapi beraninya curiga sama PT kami yang sudah besar!”
“Alat berat butuh servis berkala, Pak. Kalau di tempat Bapak terus, bisa rusak.”
“Kami juga punya teknisi! Kalian pikir barang dibiarkan begitu saja?”
Ivone mendesah kesal. Telinganya harus mendengar segala hal buruk, hinaan, dan ejekan dari PT. Aditama. Meski begitu, ia tetap mendengarkan. Hanya saja, masuk telinga kiri, keluar lagi dari telinga kiri juga.
Inilah salah satu risiko melakukan penagihan langsung pada perusahaan dan mungkin ini juga yang diinginkan Komar. Ivone dipermalukan dan dihina.
*_*
Dengan tubuh yang lelah luar biasa, sore harinya Ivone pulang. Di rumah, sudah ada sang ibu yang menunggu.
“Ibu oke?” tanya Ivone seraya tersenyum. Ia lalu mencium tangan ibunya takzim, kemudian memeluk wanita keramatnya tersebut.
“Ya, Ibu oke.” Kusnul membalas pelukan putrinya. “Capek?”
“Hm.” Ivone mengangguk.
“Makanya nikah. Biar nggak usah kerja, nggak capek.”
“Mulai ... mulai. Justru kalau nikah capeknya dobel. Harus ngurus suami pula.”
“Ya sudah, sana mandi. Lalu kita makan. Ibu beli gurami bakar sama sambelnya tadi.”
Ivone mengurai pelukan. “Oke. Aku mandi dulu.”
Wanita itu menuju kamar sambil melihat ponsel. Akhir-akhir ini, pesan atau telepon dari Yama jarang ditanggapi. Mungkin Ivone sudah dalam tahap malas. Atau tidak terlalu berharap keseriusan dari Yama lagi. Pria itu katanya sedang ada di Kalimantan saat ini.
“Kalau memang kami nggak jodoh, tunjukkan jalan agar kami bisa saling menjauh tanpa saling menyakiti, ya Robb. Tapi jika kami berjodoh, beri kami jalan untuk bisa bersama.” Ivone membatin.
Ivone tiba-tiba melihat sekelebat orang lewat, melewati jendela kamarnya. Ia pun langsung memekik.
“Siapa itu!”
Pikiran Ivone langsung tertuju pada satu nama. Sam. Pasti pria itu mengirim mata-mata.