2. Saya Akan Mencarimu

1275 Kata
Ivone menggeleng. Matanya tidak lagi sekadar takut, ada keberanian yang lahir dari rasa iba. Tangannya melepaskan bekapan Sam. “Benar mereka bukan kawanmu?” “Apa saya masih punya waktu berkawan dengan mereka, hah? Kalau mereka teman saya, untuk apa saya sekarat di sini! Kalau saya komplotan mereka, sudah dari tadi peluru di pistol ini bersarang di kepalamu,” desis Sam kesal. “Ba-baiklah, saya berusaha percaya. Saya tidak akan pergi, tidak akan saya membiarkan kamu mati sendirian dalam kondisi seperti ini,” jawab Ivone pelan. “Saya lumayan ahli memukul jika itu diperlukan untuk membantu.” Bibir Sam tersungging. “Pukulanmu tidak diperlukan untuk saat ini, Nona. Tapi peluru.” Hening sesaat, hanya suara hujan yang mendominasi. Lalu Sam tersenyum samar, senyum getir penuh luka. Ia tidak pernah membayangkan, dalam hidup yang dipenuhi pengkhianatan, darah, dan dinginnya dunia mafia, ada seseorang yang rela tetap berada di sisinya di titik terlemah. Malam itu, di jalan yang becek dan berbau darah, takdir mempertemukan Sam dan Ivone. Pertemuan yang seharusnya mustahil, tetapi justru akan mengubah jalan hidup mereka ke depannya. “Sa-saya bawa ke rumah sakit sekarang. Ayo,” ajak Ivone pelan. “Baiklah kalau itu maumu. Kita naik ke sepeda motormu sebelum mereka kian mendekat. Kita lari dari sini.” “Itu dia!” Suara dua orang mengejar, kian mendekat. Sam dan Ivone terseok-seok menuju sepeda motor. Hujan deras masih menutup jalanan malam itu, menenggelamkan suara selain deru air yang jatuh bertubi-tubi. Namun bagi Sam, suara paling keras saat ini adalah detak jantungnya yang mulai melemah. Napasnya makin pendek, tubuhnya kian berat seperti diseret ke dalam jurang gelap. Dengan sisa tenaga, Sam mengeratkan cekalan di lengan kecil Ivone. Sentuhannya dingin, penuh darah, membuat Ivone ketar-ketir. “Heal Hospital.” Suara Sam terdengar serak, hampir tidak terdengar, tetapi jelas sebuah perintah, bukan permintaan. Ivona hanya mengangguk lemah. Sam terbatuk hingga darah segar keluar dari bibirnya. Tatapannya tetap tegas, meski tubuhnya gemetar. “Kalau tidak, kita berdua bisa mati malam ini juga.” Ivone terdiam sejenak. Ia sadar, ini bukan sekadar menolong orang yang tertembak biasa. Ini pria berbahaya yang mungkin sedang diburu musuhnya. Namun, di balik sorot mata tajam Sam, Ivone melihat sesuatu yang lebih sederhana: ketakutan akan kehilangan nyawa, sama seperti manusia pada umumnya. “Bertahanlah,” gumam Ivone akhirnya. Nada suaranya mantap meski jantungnya berdentum cepat. Sam menahan rasa sakit yang merobek bahunya. Sementara Ivone terus berusaha setengah menyeretnya menuju motor matic di pinggir jalan. “Pegangan,” ujar Ivone sambil membantu Sam naik ke jok belakang. Tubuhnya goyah naik di boncengan depan. Sam juga berhasil menempel, satu tangannya mencengkeram pinggang Ivone untuk bertahan. “Bismillah,” gumam Ivone. Begitu mesin dinyalakan dan meraung, Ivone melajukan sepeda motornya menembus hujan. Jalanan sepi itu berubah jadi lorong panjang penuh kabut air, sementara lampu jalan yang berkelip seakan-akan mengiringi perjalanan mereka. Belum lama mereka melaju, suara ban mobil terdengar menderu dari belakang. Ivone melihat sekilas melalui spion. Lampu sorot putih menyilaukan menembus tirai hujan, makin lama makin mendekat. “A-apa itu musuhmu?” tanya Ivone cepat. Suaranya bergetar, tetapi matanya tetap menatap jalan. Sam memicingkan mata sambil mendesis menahan sakit. “Ya. Dan mereka tidak akan biarkan saya hidup.” Seolah-olah membenarkan ucapan Sam, suara letusan pistol terdengar, peluru menghantam aspal dekat ban sepeda motor Ivone. Percikan kecil menyambar, membuatnya refleks membelok tajam, tetapi beruntung bisa dikendalikan lagi. “Aaa!” pekik Ivone ketakutan. “Hati-hati!” Sam berseru, meski suaranya parau. “Tetaplah tenang!” “Saya takut!” Ivone menggertakkan giginya, tangannya menggenggam setang erat, mengambil gas. Motor tetap melaju kencang. Ban belakang sesekali tergelincir di jalan basah, tetapi ia berhasil menyeimbangkannya. Mobil hitam terus memburu, tidak peduli hujan deras. Lampunya berkedip, klakson meraung panjang, lalu terdengar lagi tembakan yang melesat. Ivone menunduk refleks sambil memekik. “Kalau mereka terus menembak, kita sampai rumah sakit berwujud mayat!” Dengan sisa tenaga, Sam meraih pistol yang masih tergenggam sejak tadi. Tangannya gemetar, tetapi ia tetap mengangkat senjata itu. Ia menoleh belakang. Satu tangan berpegangan erat pada pinggang Ivone, satu tangan untuk menembak sekali ke arah ban mobil. Tembakan meleset, tetapi cukup membuat mobil goyah. “Belok jika ada tikungan!” perintah Sam keras, nadanya kembali seperti pemimpin meski hampir pingsan. Ivone menurut. Ia tahu di depan ada perempatan. Ia pun membelok tajam ke arah kiri, nyaris tergelincir. Mobil hitam itu mengikuti, tetapi kehilangan sedikit kendali karena jalanan licin. Sepeda motor melaju terus, menembus genangan, hingga lampu terang beberapa rumah terlihat di kejauhan. “Alhamdulillah, kita udah ada di perumahan. Akan mudah mencari pertolongan,” ujar Ivone. “Apa kita berhenti saja meminta bantuan warga?” “Jangan! Akan repot jika orang-orang tahu!” Rupanya mobil itu belum menyerah. Mereka terus mengejar. “Nggak mungkin. Kita bisa tamat!” Ivone menggertakkan gigi, keringat bercampur hujan menetes di wajahnya. “Kamu cukup tenangkan diri dalam menyetir. Saya yang hadapi mereka.” Sam kembali mengangkat pist0l, kali ini menunggu jarak cukup dekat. Dengan pandangan kabur, ia menarik pelatuk. Peluru melesat dan ban depan mobil itu pecah seketika. Mobil oleng, menabrak pembatas jalan, dan berhenti dengan dentuman keras. Sam tersenyum penuh kemenangan. Ivone memacu motor lebih cepat. Sesekali ia melirik spion, memastikan tidak ada lagi yang mengejar. “Apa mereka masih mengikuti?” tanya Ivone setelah beberapa lama. “Sepertinya kita sudah aman.” “Benarkah?” “Hm.” “Syukurlah.” Hujan masih membasah, tetapi sudah lumayan mereda. “Siapa namamu?” tanya Ivone. “Sam. Kamu?” tanya Sam balik dengan lirih. “Ivone.” “Boleh saya bersandar? Saya sangat lemas.” “I-iya.” Setelah mendapat izin, kepala Sam bersandar di pundak kecil Ivone. Wanita itu sebenarnya merasa risi sebab mereka bukan mahram. Namun, sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri kalau ini keadaan darurat. Pria di belakangnya tidak berdaya dan butuh pertolongan. Kedua tangan Sam juga perlahan-lahan meraih pinggang Ivone, memeluknya erat. “Boleh?” bisik Sam tepat di telinga Ivone, sangat lirih. “A-apa kamu sangat lemas?” “Hm.” “B-baiklah. Tapi jangan mencuri kesempatan.” Ivone lalu terus fokus mengendalikan sepeda motor sambil berusaha menyeimbangkan diri membawa beban berat di pundak dan punggungnya. “Tolong simpan ini,” ujar Sam sambil tangannya memberikan pistol pada Ivone. “Tapi–“ “Suatu saat saya akan mengambilnya darimu.” “Nggak! Saya nggak berani.” “Tolong ....” Ivone pun menghentikan laju sepeda motornya. “Bagaimana kalau saya ditangkap karena memiliki senj4ta?” tanya Ivone sambil sedikit menoleh belakang. Sedikit lagi kepalanya menoleh lebih belakang, pasti bersentuhan dengan hidung Sam. Sam menggeleng. Ia mengerti ketakutan Ivone, tetapi itu tidak mungkin terjadi. Penegak hukum di wilayah ini tunduk semua padanya. “Tidak akan. Ivone siapa namamu?” “Ivone Bianina.” “Hanya dengan tahu namamu, kamu aman. Masukkan ke dalam tasmu dan kita lanjutkan perjalanan. Saya sudah tidak kuat.” Ivone menurut meski sebenarnya berat. Ia pun memasukkan senj*ta api tersebut ke dalam tas. Tidak mungkin juga membawa pist0l itu sampai rumah sakit. Sampai akhirnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa saat kemudian, keduanya berhasil masuk ke halaman rumah sakit. Beberapa petugas medis yang berjaga berlarian begitu melihat mereka berhenti di depan pintu darurat. Ivone menghentikan sepeda motor tepar di depan IGD sambil setengah menjerit, “Tolong! Dia tertembak!” Petugas segera berhamburan, membantu menarik Sam turun dari sepeda motor. Darah bercampur air hujan menetes di lantai. Di detik terakhir sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Sam sempat menatap Ivone. Wajahnya pucat, tetapi tegas, meski tubuhnya sendiri masih gemetar karena kejaran barusan. Untuk pertama kalinya, Sam merasa ada seseorang yang rela mempertaruhkan nyawa demi membawanya keluar dari maut. “Ivone, terima kasih. Saya akan mencarimu suatu hari nanti.” gumamnya lirih, sebelum matanya terpejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN