3. Habis Kamu

1206 Kata
Ivone masih di luar setelah Sam dibawa masuk IGD. Ia menimbang, harus masuk memastikan keadaan Sam atau langsung pulang saja. Setelah beberapa saat berpikir, ia akhirnya memutuskan untuk masuk. Selain memikirkan kesembuhan Sam, Ivone juga memikirkan nasib pist0l yang kini dibawanya. Tidak mungkin akan dibawa pulang. Bisa-bisa nanti akan menambah masalah. Ivone masuk rumah sakit setelah memarkirkan kendaraan. Tiba di dalam gedung rumah sakit, ia mengirim pesan pada sang ibu. [Bu, aku mungkin nggak pulang. Nginep di kantor.] Ivone sengaja berbohong agar sang ibu tidak khawatir. Wanita itu masuk IGD, melihat dari jauh ketika Sam ditangani. “Mbak sedang nunggu siapa?” tanya seorang perawat. “Pria itu. Tadi saya yang membawanya ke sini. Saya masih ingin memastikan kondisinya.” Ivone menunjuk Sam. “Oh, Mbak tenang saja. Dokter Sam pasti akan ditangani sebaik mungkin.” “Dokter Sam?” tanya Ivone bingung. “Ya. Dia salah satu dokter di sini. Dokter Obgyn.” Mulut Ivone membulat, membentuk huruf o. Ia kian lega, ternyata menolong orang baik. Namun tunggu. Dokter kenapa bisa tertembak, memiliki senjata, dan sampai dikejar-kejar seperti tadi? Ivone menggeleng, mengusir pikiran buruknya. “Tapi tidak apa kan, kalau saya menunggunya? Minimal sampai dia bisa diajak komunikasi.” “Tidak apa-apa. Tapi kalau saran saya, lebih baik pulang saja.” “Sebentar saja. Soalnya saya juga masih ada urusan sama dia.” “Baiklah.” Ivone akhirnya menunggu dengan duduk di kursi tunggu. Ia mengamati bajunya yang basah sebagian karena bergulat dengan hujan tadi. Untung memakai mantel, kalau tidak ia basah kuyup. *–* Cahaya putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara langkah kaki dan instruksi para dokter bersahut-sahutan di ruangan darurat. Tubuh Sam segera diangkat ke atas ranjang operasi, darah terus mengalir dari bahunya, membasahi kain putih di sekitarnya. “Peluru harus segera dikeluarkan! Tekanan darahnya menurun!” Suara dokter menggema. Sam dibawa ke ruang operasi. Sementara Ivone dari tadi mengikuti ke mana Sam dibawa. Beberapa perawat menyarankan agar Ivone pergi, tetapi ia menolak dengan alasan masih ada hal penting yang harus dibicarakan pada Sam. Ia duduk di luar. Tubuhnya masih menyisakan gemetar karena pengejaran sebelumnya. Ditambah melihat kondisi Sam yang sepertinya tidak baik-baik saja. Pintu ruang operasi menutup rapat, meninggalkan Ivone dengan rasa waswas yang membuat dadanya sesak. Di dalam sana, hidup seseorang yang bahkan belum ia kenal sepenuhnya, sedang dipertaruhkan. Jam berlalu. Tengah malam dilewati Ivone sambil terjaga. Ia masih menunggu dengan sabar. Lampu operasi akhirnya padam, dan ranjang Sam digiring keluar. Bahunya telah diperban rapi, selang infus menempel di punggung tangannya. Wajahnya pucat, tetapi masih ada garis kehidupan. Ketika akhirnya ia membuka mata, samar-samar, sosok pertama yang ditangkap pandangannya adalah Ivone yang duduk di kursi dengan pasmina sedikit basah di kepalanya. Wanita itu sempat terlelap, lalu tersentak bangun begitu mendengar suara roda berjalan dari ranjang Sam. Ivone langsung berdiri. “Syukurlah,” gumam Ivone lega sambil tersenyum. Ia mengikuti Sam yang akhirnya dibawa ke ruang perawatan VVIP. Sorot mata Sam yang tajam perlahan kembali. Namun, matanya terlalu berat untuk terus terbuka. Ia kembali mengatupkan mata. Ingatan demi ingatan muncul dalam angan. Malam, hujan, dan tawa musuhnya. Ada satu nama yang bergaung seperti bisikan iblis. Hanif. Beberapa jam tadi .... Gelap, bau tanah lembap dan kayu lapuk menusuk indra penciuman. Sam membuka mata dengan berat. Kepalanya pening, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya terikat di kursi kayu, pergelangan tangannya dijerat tali kasar yang membuat kulitnya perih. Ia masih setengah sadar, obat yang disuntikkan padanya belum sepenuhnya hilang pengaruhnya. Di sekelilingnya, suara dedaunan bergesekan. Jauh dari kota, hanya hutan sunyi yang menjadi saksi. Langkah kaki berat mendekat. Dari balik bayangan, muncullah seorang pria dengan jas hitam, menyalakan rokok dengan tenang. Cahaya merah kecil dari bara rokok memantulkan wajahnya. Hanif. Sahabatnya. Orang yang pernah ia percaya untuk menjaga punggungnya. “Maaf, Sam,” suara Hanif tenang, bahkan terdengar ramah, namun penuh pengkhianatan. “Dunia ini tidak cukup untuk kita berdua. Kamu terlalu lama duduk di kursi kebesaran itu.” Sam hanya bisa mendengus, tubuhnya lemah, tetapi matanya penuh amarah. “Hanif … kau akan mati karena ini.” Hanif tertawa kecil. “Kamu pikir aku takut? Malam ini, kamu akan hilang di hutan. Orang-orang akan menemukanku sebagai penerusmu. Semua beres.” Ia memberi isyarat. Anak buahnya mendekat, menodongkan pistol ke kepala Sam. Mulut Sam juga diikat. “Tidak perlu kutanyakan permintaan terakhir. Karena kamu sebatang kara dan selama ini cukup hidup mewah. Sekarang, ucapkan selamat tinggal pada dunia.” Hanif tertawa keras. “Aku baik hati, bukan? Akan mengirimmu ke neraka bersama keluargamu.” Di detik terakhir, sesuatu dalam tubuh Sam memberontak. Meski ototnya lemah, ia meraih kesempatan. Ia berdiri. Kepalanya dihentakkan keras ke wajah pria yang menodong pistol, membuat senjata itu terlepas. Dalam kekacauan, Sam menggunakan kursi untuk menghalau peluru dan menghantam tubuh salah satu penjaga. Kayu pecah, talinya sedikit longgar dan ikatan akhirnya terlepas. Dor! Seseorang lain berhasil menembakkan martil menyusup di bahu Sam. Adrenalin menguasai. Dengan kekuatan penuh, Sam merebut pistol dari salah satu anak buah Hanif yang sudah berhasil dilumpuhkan, menembak ke segala arah di mana anak buah Hanif yang lain berada. Beberapa dari mereka terkena sasaran. Teriakan panik terdengar, beberapa orang terjatuh. Sam, setengah berdarah dan masih limbung, merayap keluar dari pondok reyot itu, masuk ke kegelapan hutan. Hujan deras menyamarkan langkahnya. Peluru musuh terus melesat, tetapi ia tetap berlari, terhuyung, menembus batang pohon dan tanah becek. Malam itu, entah bagaimana, ia berhasil lolos. Namun, peluru tetap bersarang di bahunya, membuat setiap detiknya terasa seperti perjuangan terakhir. Sampai akhirnya ia bertemu Ivone. *–* Sam akhirnya terbangun sepenuhnya. Napas pria itu berat. Ivone berdiri di samping ranjang, hendak memanggil perawat, tetapi Sam lebih dulu berbisik serak. “Panggilkan anak buah saya .…” Ivone ragu, siapa yang dimaksud. Namun, tidak lama pintu kamar terbuka. Dua pria berpakaian hitam masuk dengan wajah tegang. Itu anak buah Sam. Mereka menunduk hormat. Sam menatap mereka, sorot matanya dingin. “Cari Hanif.” Kedua anak buah itu saling pandang, lalu salah satunya memberanikan diri bertanya, “Bos, apa benar Hanif yang …?” “Ya,” potong Sam dingin, suaranya serak tetapi penuh wibawa. “Tangkap dia. Hidup atau mati, saya tidak peduli. Dia sudah berkhianat. Malam ini, di hutan, dialah yang mencoba menghabisi saya.” Ivone tertegun, darahnya berdesir. Baru beberapa jam ia mengenal pria ini, tetapi kini ia menyadari betapa dalam dunia yang sedang ia masuki. Dunia di mana mungkin anak buah bisa berubah jadi pengkhianat dan pengkhianatan dibayar dengan darah. Anak buah Sam mengangguk cepat, “Baik, Bos. Kami akan memburunya.” Saat pintu kembali tertutup, Sam menoleh pada Ivone. Tatapannya tajam, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda: keheningan di balik badai. “Kamu sudah melihat terlalu banyak,” ucapnya pelan. Ivone menelan ludah, tetapi tetap menatap balik. “Saya tidak menyesal. Kalau saja saya membiarkanmu mati di jalanan tadi, saya yang tidak akan bisa tidur. Satu yang pasti. Kamu seorang dokter, nyawa dan dedikasimu dibutuhkan banyak orang.” Sam hanya terdiam, matanya terpejam lagi. Satu hal pasti, malam itu, peluru yang ditembakkan Hanif gagal membunuhnya dan mulai hari itu, nama Hanif sudah tertulis di daftar hitam kematian milik Sam. “Pulang dan pergilah. Terima kasih atas bantuanmu. Anggap hari ini kita tidak pernah bertemu dan lupakan semua yang sudah kamu lihat. Kalau kamu berani buka mulut, habis kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN