4. Semoga Tidak Bertemu

1376 Kata
Ivone mengangguk ketakutan, berdiri kaku. Tangannya masuk ke dalam tas, menggenggam sesuatu yang sejak tadi membuatnya kepikiran. P1stol hitam milik Sam. Senjata yang membuat jantungnya berdentum setiap kali ia mengingat peluru melesat di jalanan basah tadi. Pelan-pelan, Ivone melangkah mendekat. Tangannya sedikit bergetar ketika ia meletakkan pistol itu di atas meja kecil di samping ranjang. “Ini milikmu. Saya kembalikan. Saya nggak bisa membawanya terlalu lama dan inilah alasan saya masih di sini sampai sekarang,” ucap Ivone lirih. Sam menatap benda itu sebentar, lalu menoleh pada Ivone. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyorot tajam. Ia bersandar, lalu bersuara rendah namun menusuk. “Dengar baik-baik, Ivone.” Ivone menegakkan tubuhnya, menunggu. “Sekali lagi saya tegaskan. Apa pun yang kau lihat malam ini, apa pun yang kau dengar dari saya … tidak boleh keluar dari mulutmu. Pada siapa pun.” Suaranya dingin, nyaris seperti bisikan maut. “Kalau kamu berani bicara, saya sendiri yang akan datang menutup mulutmu selamanya.” Ivone menelan ludah. Ancaman itu begitu nyata, menusuk tulang. Namun, ia hanya mengangguk pelan, mencoba menahan getar di bibirnya. “Ya, saya mengerti.” Untuk sesaat, Sam menatapnya lama, seolah mencoba menembus isi hatinya. Lalu ia menutup mata, menyandarkan kepala. “Saya pergi. Semoga lekas sembuh.” Sam yang masih terpejam, mengangguk. “Terima kasih untuk pertolongannya.” Ivone hendak melangkah, tetapi suara Sam yang memanggil. membuatnya kembali. “Namamu Ivone siapa tadi?” “Ivone Bianina.” “Alamat rumah?” Ivone membalik tubuh, menatap Sam sedikit takut. “Pentingkah pertanyaan itu?” “Ya. Karena mulai detik ini, kamu saya awasi. Sekali kamu membuka mulut, kamu dan keluargamu rata dengan tanah.” “Saya rasa kamu bukan orang sembarangan. Mencari alamat rumah saya, saya yakin urusan yang sangat mudah bagimu. Tapi tolong, jangan pernah sentuh keluarga saya. Ini murni urusan kita berdua.” “Oke. Dan satu lagi, kalau kita bertemu lagi, jangan berlagak sok kenal.” Ivone mengangguk dan segera berlalu dari sana. Sepeninggal Ivone, Sam berdecak sebal. “Tikus kecil. Saya pastikan kamu akan selalu tutup mulut.” Dari rumah sakit, Ivone pulang ke rumah saat Subuh. Tubuhnya masih lelah, pakaian masih berbau hujan dan asap knalpot. Sang ibu yang sudah bangun, menyapanya. “Lembur lagi, Nak?” Ivone menangguk. “Tapi nanti aku libur. Aku istirahat dulu ya, Bu. Capek banget.” “Iya. Tapi sekalian salat dan mandi. Ibu hangatkan air sekalian buatkan jahe hangat. Kayaknya kamu kedinginan. Bibir sampe pucet gitu.” Ivone tersenyum, mengangguk. Kakinya diseret pelan menuju kamar. Di kamar kecilnya, ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, dan memejamkan mata. Bayangan malam tadi terus berputar di kepalanya. Deru motor, tembakan, darah, tatapan Sam, dan ancamannya. Hatinya berdebar tiap kali ia mengingatnya. Antara takut, penasaran, dan anehnya ada secercah lega karena pria itu masih hidup. “Kenapa harus aku yang melihat semua ini?” bisiknya lirih, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Siapa sebenarnya pria itu? Katanya dokter, tapi kok? Menakutkan.” Beruntung hari ini Ivone libur. Untuk itulah, semalam ia mau menunggui Sam dari operasi sampai selesai. Jika hari ini masuk, tidak mungkin ia melakukannya. Setelah mandi, salat, dan sarapan, Ivone tidur. Ia membiarkan ponselnya diisi daya. Bahkan beberapa pesan masuk diabaikannya. Siang hari, ia baru bangun. Begitu membuka ponsel, beberapa pesan dari sang kekasih membuatnya tersenyum. Sedikit mengalihkannya dari kejadian tadi malam. [Semalam tidur jam berapa? Aku hubungi kok nggak diangkat.] Ivone pun membalas. [Semalam lembur, lalu sampe rumah langsung tidur. Capek.] Ivone berpikir, haruskah memberi tahu Yama mengenai hal yang dialaminya semalam? Sejurus kemudian ia menggeleng. Teringat akan ancaman Sam. “Tamat riwayatku kalo sampe buka mulut.” *_* Ivone Bianina bekerja di sebuah CV yang bergerak di bidang penyewaan scaffolding dan alat berat tidak jauh dari rumahnya. Dulu, ia terbilang sukses bekerja di perusahaan swasta di ibu kota. Namun, sejak ayahnya meninggal dan ibunya sakit-sakitan, ia memutuskan untuk pulang dan bekerja yang setiap hari bisa pulang, agar bisa menemani sang ibu. Sementara Yama adalah seorang pemborong yang sering menyewa alat berat di mana Ivone bekerja. Karena sering bertemu, mereka pun saling jatuh cinta. Sejauh ini, Ivone sebenarnya sudah siap untuk berkomitmen mengingat usianya yang sudah cukup, yaitu 25 tahun jalan 26 tahun. Namun, Yama masih sering mengundur dengan alasan belum siap dan tabungan belum terkumpul. *_* Hari ini setelah libur, Ivone kembali berangkat bekerja. Sebagai pegawai bagian lapangan, ia memang jarang ada di kantor. “Iv, PT. Tirta Weni waktunya narik tagihan tuh. Udah kukirim tagihan lewat email seminggu lalu, belum juga ada tanggapan,” ujar Leni, rekan kerja Ivone di bagian kantor. Ivone mengangguk lemah. Sebagai sekretaris bagian lapangan, tugasnya memang memantau pengiriman, mengatasi jika ada masalah pengiriman di jalan, dan kadang menagih ke beberapa perusahaan yang telat bayar atau telat mengembalikan barang. “Invoice-nya udah Mbak buat?” tanya Ivone. “Udah. Sama sekalian nanti kamu barengan aja sama anak-anak ngirim barang ke Ida Karya. Bentar, masih kubuatkan surat jalan.” “Siip.” Selagi menunggu, Ivone berjalan menuju gudang sekalian mengecek apakah barang yang diminta sudah selesai disiapkan atau belum. Di gudang, ada rekannya yang lain yang memang bagian gudang. “Udah siap, Mbak Si?” tanya Ivone. “Udah. Tinggal nunggu ngitung join pin. Banyak yang mereka sewa. Lima ratus set scaffolding.” Ivone mengangguk. Selagi menunggu, ia mengobrol dengan Siti. Bos mereka bernama Komar. Jarang datang ke kantor. Kalaupun datang, biasanya siang dan tidak lama pergi lagi. Setelah barang selesai ditata, mereka berangkat dengan truk. Ivone duduk di depan, di samping sopir. Sementara dua kuli lain di belakang bersama barang. Menyalahi aturan memang, tetapi asal tidak ketahuan polisi, aman. Ketika melewati Heal Hospital, Ivone mengembuskan napas panjang sambil membatin. “Bagaimana kabar pria itu, ya? Apa sudah sehat?” *_* Hari berganti. Luka Sam perlahan sembuh. Dunia mafia tetap berjalan di balik layar, tetapi di hadapan orang-orang, Sam kembali mengenakan topeng wibawanya: jas putih, stetoskop, kadang pisau bedah, dan senyum tenang seorang dokter. Tidak banyak yang tahu, selain memimpin kelompok mafia, Sam juga adalah seorang dokter spesialis kandungan yang disegani sekaligus CEO dari Heal Hospital, rumah sakit swasta ternama di kota Gresik. Nama dan reputasinya tidak bercela di mata publik. Ia dikenal cerdas, karismatik, ramah, dan berhasil membawa rumah sakit itu menjadi pusat kesehatan modern dengan fasilitas lengkap. Di ruangannya yang luas di lantai tertinggi Heal Hospital, Sam duduk di balik meja kaca. Tangannya menandatangani beberapa berkas, sementara sekretarisnya sibuk menjawab telepon. Di dinding, tergantung foto dirinya mengenakan jas putih, tersenyum ramah. Wajah yang berbeda jauh dari Sam yang pernah berdarah-darah di jalan sepi malam itu. Jika ada yang bertanya mengenai kondisinya saat itu, Sam hanya menjawab peluru menyasar. Ia jelas tidak memperkarakan ke jalur hukum karena memiliki hukum sendiri. Di tangannya, ia bisa berbuat apa pun, menghukum siapa pun semaunya. Sam menutup map terakhir, lalu menatap keluar jendela. Langit cerah, biru bersih. Sekilas, bayangan Ivone terlintas di benaknya. Wanita asing yang menolak meninggalkannya saat ia di ambang maut. Entah kenapa, ingatan itu sulit dihapus. Di sisi lain kota, Ivone juga tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Ia bekerja, mengurus rumah, dan merawat ibunya yang sakit paru-paru yang terkadang kambuh. Hampir setiap malam ia mendengar batuk ibunya yang berat, membuat hatinya perih. Sampai akhirnya, suatu malam, kondisi ibunya memburuk. Sesak napas menyerang, wajahnya pucat, tubuhnya lemah. Ivone panik, segera memanggil tetangga untuk membantu membawa ibunya ke rumah sakit terdekat. “Ibu, bertahanlah.” Mobil kecil pinjaman berlari menembus jalanan kota. Ivone menggenggam tangan ibunya erat, air mata menetes di pipi. “Sebentar lagi kita sampai, Bu,” ucapnya lirih. Begitu mobil berhenti, Ivone tersentak melihat tulisan besar di atas gedung modern yang bercahaya terang: Heal Hospital. “Pakde, kok kita ke sini? Saya bilang ke RSUD saja!” protes Ivone. “Saya dengar di sini rumah sakit terbaik. Tenang, di sini juga menerima BP*S kok. Ibumu kulihat nggak ada perkembangan di RSUD.” Ivone berdecak. Akibat tidak terlalu memerhatikan jalan karena sibuk mengkhawatirkan sang ibu, ia tidak sadar dibawa ke rumah sakit lain. Ivone terdiam sejenak, jantungnya berdegup kencang. Semua kenangan mencekam malam itu kembali menyeruak. Ia tidak pernah menyangka, garis hidup akhirnya membawanya kembali ke tempat di mana pria berbahaya itu bekerja. Pria yang ia selamatkan. Pria yang mengancamnya. Dan kini, satu-satunya tempat di mana nyawa ibunya mungkin bisa terselamatkan. “Semoga aku nggak bertemu sama dia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN