Ivone sedikit berlari. Langkahnya tergesa menyusul sang ibu yang sudah didorong masuk IGD. Meski terlihat tenang, sebenarnya jantungnya berdegup tidak menentu, antara panik karena ibunya dan cemas karena sadar ia berada di tempat yang sama sekali tidak ia bayangkan.
Kusnul, ibunya Ivone mulai ditangani. Wanita paruh baya itu diberi beberapa tindakan seperti pemasangan infus dan oksigen. Sementara Ivone ke ruang administrasi untuk daftar dan mengisi data pasien sebab ini pertama kalinya ia ke rumah sakit ini. Setelah selesai mengurus, ia kembali menemui sang ibu.
“Ibu yang sabar, ya? Bertahan. Demi aku,” bisik Ivone sambil berusaha tegar. Digenggamnya tangan sang ibu yang kesadarannya mulai hilang timbul.
Ivone anak yatim. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itulah, ia yang awalnya bekerja di luar kota, kembali ke rumah untuk merawat ibunya yang mulai sakit-sakitan sejak ditinggal sang belahan jiwa. Ibunya memiliki usaha toko kue dan sekarang masih berjalan. Dijalankan karyawannya. Ivone jarang sekali ikut turun tangan ke toko tersebut.
Ivone tidak bisa berbuat banyak selain menciumi tangan sang ibu. Sampai akhirnya, Kusnul dibawa ke ruang ICU untuk perawatan lanjutan.
“Besok lakukan cek lengkap. Sepertinya bukan hanya paru-parunya yang bermasalah, saya curiga jantungnya juga kena,” ujar dokter jaga.
“Baik, Dok.”
“Nanti biar dijadwalkan sama perawat.”
Ivone mengangguk.
Brankar berisi Kusnul didorong menuju ICU. Ivone mengekor. Lorong berbau antiseptik itu terasa panjang. Hingga pada satu tikungan, Ivone mendongak dan matanya terpaku.
Beberapa meter di depannya, berdiri seorang pria dengan jas putih rapi, ditemani dua staf rumah sakit. Bahunya tegap, wajahnya tegas, sorot matanya dingin namun karismatik. Pria itu Sam.
Sejenak, waktu seolah berhenti. Sam juga melihatnya sekilas. Hanya per sekian detik.
Ivone spontan menunduk, berpura-pura sibuk menggenggam tas dan menggiring brankar ibunya. Nafasnya tercekat, pura-pura tidak mengenali pria yang berdiri di sana. Sesuai perintah pria tersebut sebelum mereka berpisah. Ia hanya melangkah cepat melewati, seakan-akan Sam hanyalah dokter biasa yang tidak berarti apa-apa baginya.
Namun, Sam tidak secepat itu melupakan. Tatapannya mengikuti langkah Ivone, bibirnya terangkat tipis membentuk senyum samar yang sulit ditebak artinya.
“Dia datang lagi,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Malam ini, Sam ada operasi darurat dan baru saja selesai. Siapa sangka, malah bertemu lagi dengan Ivone.
Langkah Ivone makin tergesa, seolah-olah berharap bayangan itu menghilang. Namun ia tahu, di rumah sakit ini, di bawah pengawasan pria itu, ia tidak akan bisa bersembunyi selamanya.
*_*
Hari berikutnya, di rumah sakit seolah berjalan lambat bagi Ivone. Ia setia menunggui ibunya di ruang perawatan, menyeka keringat, atau sekadar duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan sang ibu. Ia sengaja izin tidak masuk bekerja.
Ivone sudah dalam tahap berbakti pada orang tua untuk saat ini. Kalaupun dipecat karena sering izin, akan diterima. Toh masih ada toko kue yang meskipun kecil, masih menghasilkan. Namun, bosnya tidak setega itu memecat. Hanya saja, kadang Ivone harus sering lembur untuk mengganti jam izinnya.
Ivone tidak menyadari, di balik ketenangan ruang ICU itu, ada sepasang mata yang kerap menyorotinya. Sam.
Meski sibuk dengan jadwal operasi dan jadwal poliklinik. Meski reputasinya sebagai CEO rumah sakit membuat Sam dikejar banyak urusan, entah bagaimana ia selalu menemukan celah untuk memandang diam-diam ke arah kamar ICU yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari ruang operasi tersebut.
Kadang saat melewati lorong, ia memperlambat langkah. Kadang ketika berpapasan dengan perawat yang keluar masuk kamar itu, matanya sekilas melirik ke dalam.
Sampai suatu siang, Sam mendapati Ivone tidak sendirian. Seorang pria muda berperawakan gagah datang dengan setangkai bunga dan kotak buah. Wajahnya ramah, senyumnya hangat.
“Mas Yama.” Suara Ivone terdengar lembut saat menyambutnya di depan kamar. Ada binar bahagia singkat di matanya.
“Ibu gimana kondisinya?”
“Ya gitu. Kadang sadar, kadang enggak. Kata Dokter, selain paru-paru, jantung dan lambungnya kena.”
“Kamu yang sabar. Boleh aku masuk menjenguk?”
Ivone mengangguk. “Masuklah. Aku tunggu di sini karena hanya boleh satu yang masuk.”
“Nantilah. Mau ketemu kamu dulu.”
Ivone tersenyum.
Sam yang kebetulan lewat menghentikan langkah, berdiri beberapa meter dari mereka. Senyum tipis terbit di wajahnya, samar tetapi penuh arti. Bukan senyum ramah, melainkan lebih pada lirikan dingin yang menyimpan rasa tidak suka.
Ia melihat bagaimana Yama dengan mudah mengelus sekilas kepala Ivone yang tertutup hijab, bagaimana tawa kecil terdengar saat keduanya berbincang, dan bagaimana Ivone seolah sejenak lupa pada dunia di sekelilingnya.
“Apa dia kekasihnya?” Sam berbisik pelan, nyaris tidak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri. Ada ketegangan samar di rahangnya sebelum akhirnya ia kembali melangkah, menyamarkan keberadaannya.
“Jadi hari ini kamu izin?” tanya Yama.
“Hm. Dikasih izin cuma tiga hari. Lusa masuk lagi.”
“Keluar saja dari kantor Komar. Cari kerjaan lain. Atau fokus rawat ibu kamu. Kan sudah ada toko roti.”
“Iya sih. Tapi selagi masih bisa kerja lain, kenapa enggak.”
“Itu terlalu memaksakan diri namanya.”
“Bukan gitu. Tapi aku tuh nggak terlalu suka dunia masak-memasak dan dunia jual-beli. Nggak suka aja.”
“Trus sukanya ikut orang selamanya? Padahal orang lain lebih suka punya usaha sendiri loh. Kamu aneh.”
“Ya karena toko kue masih bisa berjalan tanpa harus ditunggu tiap waktu. Selagi ada banyak waktu luang, kenapa nggak sekalian kerja juga? Iya, kan?”
“Dan ibumu yang jadi korban. Kasihan, masih harus mikirin toko kue padahal sering sakit.”
Telunjuk Ivone terangkat. “Mas Yama pergi aja deh. Sumpah aku tambah pusing kalo Mas terus menyudutkanku kayak gini.”
Yama mengembuskan napas berat. Bukan seperti itu maksudnya. Ia hanya ingin sang kekasih tidak terlalu terbebani kerja padahal sudah ada pemasukan jalur lain. Namun, ia tahu Ivone ini keras kepala. “Baiklah, saya minta maaf. Terserah kamu saja maunya gimana. Asal jangan kecapean.”
Keduanya diam, sampai akhirnya Yama membukakan makanan. “Makanlah. Kalau lapar, kamu selalu pengen makan orang.”
Ivone tertawa. “Kamu juga sih. Mancing-mancing orang. Mas Yama nggak kerja hari ini?”
“Aku ini bosnya, Iv. Jadi bisa datang atau libur kapan saja. Nggak kayak kamu yang harus nurut sama si Komar. Kamu lanjutin makan. Aku mau ketemu Ibu.” Yama bangkit sebelum Ivone kembali marah-marah.
Sementara Yama masuk, Ivone makan dengan tidak berselera.
*_*
Siang keesokan harinya, saat Ivone kembali dari ruang farmasi, ia melihat kerumunan kecil di salah satu kamar VIP. Perawat keluar masuk membawa berkas. Jelas pasien keluarga kaya sedang dirawat di sana.
“Tenang, Ibu. Operasinya berjalan lancar. Bayi dan ibunya sehat selamat. Sekarang tinggal tahap pemulihan. Jangan banyak cemas, cukup doakan untuk kesembuhannya.”
Itu Sam.
Ivone tertegun, berdiri di ujung lorong sambil memperhatikan ruangan yang sedikit terbuka tersebut. Sam berdiri di sisi ranjang pasien, wajahnya serius, tetapi hangat. Cara ia bicara tidak hanya penuh wibawa, tetapi juga menenangkan. Tangannya yang kokoh sesekali terangkat sambil menjelaskan sesuatu.
Ivone menelan ludah. Rasanya aneh. Pria yang pernah terkapar berlumuran darah di pelukannya, pria yang mengancamnya, kini berdiri elegan sebagai dokter yang dipuja pasien.
Sebuah kontras yang membuat Ivone bingung.
Sam, yang dikenal dunia luar sebagai dokter kandungan dan CEO rumah sakit ternama, di balik itu adalah seorang mafia yang bisa menodongkan pistol tanpa ragu.
Ivone segera menunduk dan berjalan cepat, takut jika Sam tiba-tiba menoleh dan menangkap basah pandangannya. Namun, tanpa disadari, Sam sudah melihatnya sejak awal.
Ia membiarkan Ivone pergi, hanya menyimpan senyum samar. Senyum yang entah mengisyaratkan apa.
Setelah visit selesai, Sam sengaja berjalan ingin menemui Ivone. Waktu yang pas karena wanita itu sedang duduk di depan ruang ICU. Sam berhenti, berdeham.
Ivone kelabakan. Ia pun menunduk.
“Ibumu yang dirawat?” tanya Sam datar.
“I-iya.”
“Sepertinya dia tidak akan selamat.”
Sam langsung pergi begitu saja setelah mengatakan itu, meninggalkan Ivone yang geram luar biasa.
“Siapa dia berani bicara begitu? Berani-beraninya.”
Ivone membisu sebentar, lalu wajahnya berubah serius. “Atau jangan-jangan dia mau bunvh ibuku?”
Ia lantas menggeleng. "Kalau sampai kamu lakukan, aku juga bisa bongkar rahasiamu. Dasar dokter gadungan."