Ivone ingin memarahi atau mengumpat pada Sam, tetapi sadar itu jelas tidak mungkin. Sam bukan orang sembarangan. Sekali pelatuk pistolnya ditekan, ia akan habis. Namun, jika sampai Sam berani menyentuh ibunya, Ivone tidak akan tinggal diam.
Wanita itu akhirnya kembali ke ruangan sang ibu. Lalu beberapa saat kemudian, dipindah ke ruang perawatan biasa. Kondisi Kusnul perlahan-lahan mulai membaik.
Begitu pindah kamar inap, kondisi ruangan jauh lebih baik menurut Ivone. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Ruangan itu terasa hangat, bukan hanya karena sinar mentari, tetapi juga karena senyum lembut Kusnul yang duduk bersandar di ranjang pasiennya.
Ivone membalas senyuman itu. “Gimana kondisi Ibu sekarang?”
“Alhamdulillah jauh lebih baik. Menurut Ibu, obat dan pelayanan di sini jauh lebih bagus. Siapa yang bawa ke sini?”
“Pakde Salam.” Ivone menyebut tetangga yang membawanya ke sini. “Beliau ngotot bawa ke sini padahal kita biasa ke RSUD.”
“Tapi beneran loh, Iv. Ibu lebih enakan. Kalau di rumah sakit sebelumnya, kayak nggak ada perubahan.”
“Syukurlah. Aku kupaskan buah mau? Atau Ibu mau makan lagi?”
“Buah saja.”
“Baiklah, Ndoro Ibu. Ditunggu nggeh.”
Kusnul tertawa kecil.
Ivone mengupas buah di meja kecil. Sesekali ia melirik ibunya yang menatapnya dengan pandangan penuh kasih sayang.
“Iv ....” Suara Kusnul lirih tetapi jelas.
Ivone menoleh sambil tersenyum. “Iya. Mau apa? Pipis?”
Kusnul menggeleng pelan. Matanya basah, suaranya agak bergetar. “Bukan itu, Nak. Ibu cuma kepikiran satu hal. Kalau boleh, sebelum Ibu pergi, Ibu ingin melihat kamu menikah.”
Pisau di tangan Ivone berhenti bergerak. Senyumnya perlahan luntur, berganti tatapan terkejut. “Bu, kenapa bicara begitu? Jangan ngomong aneh-aneh. Ibu pasti sembuh.”
Kusnul tersenyum hangat, mengelus tangan Ivone. “Ibu nggak minta umur panjang. Ibu cuma ingin tenang. Dan tenangnya Ibu adalah kalau tahu kamu ada yang jagain. Yama anak baik. Ibu percaya dia bisa bahagiain kamu. Kamu juga cinta kan sama dia?”
Ivone tercekat, menunduk menahan air mata. “Tapi, Bu. Menikah itu–“
“Jangan menunda lama-lama,” potong Kusnul lembut. “Kamu sama dia juga sudah terlalu lama dekat. Kadang kesempatan juga nggak datang dua kali. Ibu ingin sempat lihat kamu pakai gaun pengantin. Itu saja.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Ivone akhirnya mengangguk kecil, walau hatinya terasa sesak. “Baik, Bu. Aku akan bicarakan masalah ini sama Mas Yama.”
Senyum Kusnul merekah, lega seakan beban hatinya terangkat. “Terima kasih, Nduk. Ibu pengen pernikahan mewah karena kamu satu-satunya anak Ibu.”
Ivone tersenyum. Senyum hambar. Takut jika ini permintaan terakhir sang ibu.
*_*
Setelah habis masa izin, Ivone kembali bekerja. Selagi dirinya bekerja, ada seorang tetangga yang dibayar untuk menjaga Kusnul di rumah sakit. Kesehatan Kusnul juga sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Jadi, Ivone tega meninggalkannya.
Ivone sekalian mengajak Yama bertemu di sebuah kafe dekat rumah sakit. Ia duduk berhadapan dengan Yama. Pria itu tampak rapi dengan kemeja putih, senyumnya hangat seperti biasa.
Ivone gelisah. Tangannya meremas cangkir berisi matcha hangat di depannya sebelum akhirnya memberanikan diri bicara.
“Mas, ada yang ingin aku omongin.”
Yama menatapnya lembut. “Apa? Bicara saja.”
Ivone menarik napas dalam dan mengeluarkannya pelan. “Ibu. Beliau minta aku segera menikah. Katanya beliau ingin lihat aku bahagia sebelum … sebelum kondisi beliau makin parah. Dan, beliau percaya kamu orangnya. Menurutmu gimana?”
Ada jeda. Yama terdiam, wajahnya berubah serius. Senyumnya memudar perlahan.
“Iv.” Yama akhirnya bicara, suaranya hati-hati. “Aku sayang sama kamu. Tapi untuk menikah sekarang, aku belum siap. Aku masih ada tanggung jawab di kantor, tabungan juga belum cukup, aku juga masih bantu keluarga. Aku nggak mau asal nikah cuma buat memenuhi keinginan. Aku ingin pas waktunya, semuanya matang.”
Hati Ivone seperti diremas. Ia tersenyum getir, berusaha menyembunyikan kecewa. “Jadi, kamu menolak?”
“Bukan menolak.” Yama cepat menjawab. “Aku hanya minta waktu. Aku janji, aku nggak akan pergi. Tapi jangan minta aku menikahimu sekarang. Mengenai Ibu, aku yakin beliau kembali sehat. Kondisi seperti ini sudah sering terjadi, kan? Buktinya Ibu tetap baik-baik lagi.”
“Padahal justru terlalu sering itu, aku takut itu sebuah pertanda.”
Ivone menunduk, menahan rasa perih di d**a. Kata-kata itu halus, tapi jelas menunjukkan jarak.
Di kepalanya, wajah Kusnul kembali terbayang. Senyum ibunya, harapan terakhir yang sederhana yang kini, seolah-olah terancam kandas.
“Iv, kamu marah? Kecewa sama jawabanku?”
“Enggak. Aku ngerti kok. Hubungan ini bukan untuk dipaksa, tetapi memang harus sesuai keinginan. Nggak apa-apa, nanti aku coba bicara sama Ibu.”
Meskipun sakit dan malu, Ivone berusaha tetap tegar dan menunjukkan ia baik-baik saja. Bayangkan, ia seperti sedang melamar dan lamarannya ditolak. Sakit, tetapi tidak terlihat lukanya.
*–*
Ruang kerja Sam di rumahnya ada di lantai tiga. Dinding kaca yang tinggi menampilkan pemandangan pinggiran kota. Rumahnya memang tidak di tengah kota, tetapi ia lebih suka hidup di pedesaan. Sementara di dalam, interiornya bergaya modern namun dingin. Meja kerjanya penuh dokumen medis bercampur berkas-berkas rahasia yang tidak seharusnya berada di meja seorang dokter.
Sam duduk bersandar di kursinya. Satu tangannya menggenggam rok0k yang baru separuh terbakar, sedangkan ponselnya menempel di telinga.
“Bagaimana Hanif?” suara Sam berat, datar, tapi jelas ada tekanan dingin di baliknya.
Di seberang sana, suara salah satu anak buahnya terdengar hati-hati. “Bos, kami sudah telusuri jejaknya sampai Bekasi. Tapi dia selalu selangkah lebih cepat. Untuk itulah, dia sering lolos. Ada yang melindunginya.”
Sam mendengus pelan. “Siapa?”
“Sepertinya kelompok kecil dari jaringan lama kita, Bos. Mereka yang dulu sering berhubungan sama Hanif.”
Sam mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Sia_lan. Jadi pengkhianat itu berani bawa kabur barang dagangan kita, sekaligus coba habisi saya? Dia pikir bisa sembunyi selamanya?”
“Kami sedang kerahkan orang buat pasang mata di semua pelabuhan. Hanif nggak mungkin bisa keluar negeri dengan aman.”
Sam terdiam sejenak. Pandangannya jatuh pada sehelai pasmina warna krem yang terlipat rapi di sudut meja. Itu milik Ivone, kain sederhana yang malam itu ia gunakan untuk menekan luka tembak di tubuhnya. Entah kenapa, Sam tidak pernah bisa membuangnya.
Ia meraih pasmina itu, meremasnya sebentar, lalu mendekatkan ke wajahnya.
Sam adalah ketua mafia Black Shadow. Ia dan kelompoknya menjual organ manusia secara ilegal. Organ-organ itu didapat dari ODGJ atau orang telantar yang menjadi sampah masyarakat. Atau ada orang butuh uang, lalu menukarkan organ seperti ginjal pada kelompok Sam dengan segepok uang. Jaringannya sibuk bekerja di bawah tangan dan tidak pernah terendus di permukaan oleh pihak berwenang. Sebab mereka terlalu licin dan anggotanya melibatkan orang-orang penting juga.
Ada beberapa dokter selain Sam yang terlibat.
Suara anak buahnya kembali memecah lamunan. “Bos, kita juga dengar kabar Hanif mencoba menawarkan ginjal hitam ke sindikat Rusia. Dia jual murah biar bisa dapat proteksi.”
Sam terkekeh pelan, nada sinis. “Ginjal? Dasar pengecut. Dulu dia cuma pion di meja operasi, sekarang berani main jualan organ sendiri.”
Hening sesaat. Anak buahnya tidak berani bicara.
Sam menghela napas panjang, kemudian suaranya turun lebih dingin. “Saya sudah bertahun-tahun bangun jaringan ini. Dari transplantasi ilegal sampai cuci darah para pasien bodoh kaya raya yang tidak tahu apa-apa. Dan sekarang satu pengkhianat mau hancurkan semuanya? Tidak akan saya biarkan.”
“Perintah, Bos?” Suara anak buah itu nyaris berbisik.
Sam berdiri, melangkah ke jendela besar, menatap lampu kota yang berkelip. Pasmina Ivone masih ada di genggamannya.
“Temukan Hanif. Hidup atau mati, seret dia ke hadapan saya. Saya sendiri yang akan pastikan jantungnya jadi stok baru di meja operasi.”
Di ujung sana, anak buahnya menjawab cepat, “Siap, Bos!”
Sambungan telepon terputus. Ruangan kembali hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Sam menaruh kembali pasmina itu ke atas meja, mengusapnya sebentar seolah benda itu memberi ketenangan di tengah semua kegelapan hidupnya.
“Lucu,” gumamnya lirih. “Di tengah dunia penuh darah ini, saya masih simpan sesuatu dari perempuan biasa yang bahkan tidak saya kenal secara baik. Ah, dia bukan perempuan biasa. Dia tikus kecil penyelamat.”
Sekilas senyum samar muncul di wajahnya. Senyum yang tidak bisa ditebak. Antara dingin dan rapuh.
“Dan sekali lagi saya harus mengingatkan diri sendiri. Saya tidak boleh jatuh cinta atau menikah. Memiliki betina bisa menjadi ancaman untuk keberlangsungan bisnis.”