7. Tinggalkan Yama

1090 Kata
Ivone kembali ke rumah sakit dengan perasaan hampa, luka, dan juga malu. Bagaimana tidak, ia terkesan meminta-minta untuk dinikahi pada pria yang mungkin sepenuh hati mencintainya. Belum siap. Alasan klise yang umum diucapkan untuk mengulur hubungan. Langkahnya diseret pelan, lalu masuk ke ruang perawatan sang ibu. Kusnul rupanya sudah tidur. Ivone meminta tetangga yang menjaga untuk pulang. “Mbak, makasih untuk hari ini. Besok kalo Ibu belum boleh pulang, tolong jagain lagi ya?” Wati, tetangganya mengangguk. “Siap, Iv.” Ivone mengambil uang dari dompet, memberikan pada Wati. Ivone memang langsung memberi upah, agar tidak lupa. Sepeninggal Wati, Ivone yang sudah salat Isya, mencoba terlelap mumpung ibunya tidur. Namun, tidur di rumah sakit jelas bukan perkara yang nyaman. Meski begitu, ia berusaha terpejam. *_* Setiap pagi, Ivone pulang untuk mandi dan berganti pakaian, lalu berangkat kerja ketika tetangga penjaga ibunya datang. Sebenarnya, tubuhnya sangat lelah dioper ke sana kemari. Namun, bagaimana lagi. Sudah risikonya. Hari ini, tidak ada tagihan keluar, pengiriman, atau pengambilan barang yang membutuhkan Ivone. Karyawan pria sudah bisa mengatasi sendiri karena pemesanan scaffolding dalam skala kecil. “Tidur sana gih. Wajahmu kelihatan lelah banget gitu. Kasihan aku lihat kamu. Nunggu orang sakit di rumah sakit pasti melelahkan. Belum lagi harus wara-wiri,” ujar Leni, rekan kerja Ivone. “Nggak ah. Ntar Pak Komar datang, dikira makan gaji buta.” “Kalo Bos datang, ntar aku bangunin.” “Tapi, Mbak–“ “Udah sana.” Leni mendorong Ivone ke ruangan khusus untuk salat. Ivone lalu tersenyum. “Mbak, makasih. Sayang Mbak Leni.” “Iya. Udah, tidur. Kalau ada apa-apa aku bangunin.” Di kantor itu, Ivone memang yang paling muda. Siti dan Leni, juga karyawan pria usianya di atasnya. Semua yang ada di sana baik, tidak ada yang berusaha saling menjatuhkan apalagi menjilat sang bos. Ini yang membuat Ivone betah bekerja di sana dan merasa sayang jika resign. Berkat kemurahan hati Leni, Ivone akhirnya bisa beristirahat sejenak setelah beberapa hari sebelumnya tenaganya diperas untuk menagih para penyewa bandel. Sore harinya setelah pulang kerja, Leni dan Siti ikut menjenguk Kusnul sebagai perwakilan kantor. “Maaf baru bisa jenguk sekarang, Bu. Komar lagi edan beberapa hari ini. Harus nyusun laporan rinci dan kebetulan barang kami laris,” ujar Siti. “Nggak apa-apa. Maaf sering merepotkan kalian. Ibu sering keluar masuk rumah sakit, kalian selalu datang menjenguk.” “Jangan bilang begitu, Bu. Kan Ivone sudah seperti saudara, bukan lagi rekan kerja,” sahut Leni. “Titip Ivone kalau Ibu kenapa-napa.” “Bu ....” Ivone menggeleng. “Aku nggak suka Ibu bilang ngawur begitu.” “Aku tadi bawa belut goreng krispi loh, Bu. Kata Ivone, Ibu nyidam.” Leni mengalihkan bahasan agar suasana tidak menyedihkan. Kusnul tertawa. Suasana menjadi lebih hidup saat kedua rekan Ivone ada di sana. Setelah Leni dan Siti pulang, Kusnul meminta diajak keluar untuk menghirup udara segar. “Nanti dimarahi dokternya loh, Bu.” “Nggak akan. Ibu suntuk di dalam terus.” “Baiklah.” Dengan hati-hati, Ivone meminjam kursi roda pada perawat. Ia dengan dibantu perawat, memindahkan Kusnul ke kursi roda. Lorong rumah sakit masih beraroma obat-obatan yang menusuk, tetapi Ivone sudah terbiasa. Dengan wajah lesu khas kelelahan, tetapi senyum terus terukir di bibir, ia mendorong kursi roda ibunya keluar dari ruang perawatan. Kusnul sudah tampak lebih segar. “Alhamdulillah, akhirnya bisa lihat luar lagi. Ibu hampir lupa bagaiimana rasanya udara luar.” Ivone tersenyum. “Iya, Bu. Senyaman-nyamannya ruang perawatan, tetap lebih enak hirup angin luar. Lebih enak lagi di rumah. Makanya Ibu cepet sembuh, biar bisa pulang.” Wajah Kusnul berselimut mendung. “Maafkan Ibu ya, Iv. Selalu merepotkan kamu. Ibu sudah berusaha menjaga kesehatan, tapi nggak tahu kenapa selalu kambuh nggak kenal waktu.” “Bu, jangan minta maaf. Ini semua udah tugasku.” “Sampai-sampai kamu mengorbankan pekerjaan yang sudah mapan di ibu kota demi pulang merawat Ibu. Maaf.” Kusnul mengelus punggung tangan Ivone yang ada di belakang mendorong kursi rodanya. “Udah kubilang aku nggak suka Ibu bilang begini. Udah ah. Aku ngambek aja.” Kusnul tertawa. “Tapi Ibu lihat, kamu kelihatan agak murung. Ada apa? Wajahmu nggak bisa bohong sama Ibu.” Ivone menunduk, berusaha tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Bu. Aku cuma capek karena si Komar sering ngasih kerjaan nggak ngotak.” Kusnul menoleh curiga. “Udah sering Ibu bilang, keluar saja dari sana. Besarkan toko kue Ibu.” “Ya, tapi nanti. Karena aku pikir, kalau masih bisa main di dua tempat, kenapa enggak?” “Baiklah, terserah kamu. Lalu Yama gimana? Mau kamu ajak segera nikah?” Ivone terdiam, lalu akhirnya menghela napas dan mengembuskan kasar. Ia duduk di sebuah kursi dengan sang ibu ada di depannya. “Aku cerita ke dia soal permintaan Ibu kemarin. Kalau Ibu ingin kami segera menikah.” Mata Kusnul berbinar, penuh harap. “Terus, apa jawaban dia? Kapan dia mau melamar?” Ivone menahan kesedihan, suaranya pelan. “Dia menolak, Bu. Katanya belum siap.” Kusnul terdiam sesaat. Angin sore berembus lembut, seolah ikut menahan keheningan. “Iv, kalau saran Ibu, kamu jangan buang-buang waktu sama lelaki yang nggak serius. Ibu nggak tahu sampai kapan umur Ibu. Kalau kamu terus menunggu, apa jadinya?” Ivone menggigit bibir, menunduk lebih dalam. “Maaf. Tapi aku nggak bisa memaksanya, Bu. Pernikahan harus kemauan kedua belah pihak. Tapi kalau Mas Yama kayak gitu, aku harus gimana? Nyeret dia ke KUA? Nggak mungkin kan?" “Bagaimana kalau nikah sama orang lain? Yang sudah siap berumah tangga. Ibu curiga sepertinya Yama nggak serius sama kamu.” “Bu, jangan gitu. Aku sayang sama Mas Yama. Nggak kebayang kalo harus nikah sama orang lain.” Kusnul menghela napas, lembut tetapi tegas. “Sayang itu bukan alasan kalau ujungnya bikin kamu sengsara. Kalau dia benar-benar cinta, dia akan berjuang. Bukan malah lari dengan alasan belum siap.” "Dia nggak lari, Bu." “Dengar Ibu, Iv. Kalau Yama nggak mau, tinggalkan. Kamu masih muda, cantik, dan baik. Masalah ekonomi, kita juga nggak susah-susah amat. Cari laki-laki lain yang berani berkomitmen. Dunia nggak sesempit itu, jangan hanya berporos pada satu lelaki. Akan Ibu carikan suami yang tepat untukmu. Tinggalkan si Yama.” Ivone hanya diam, menggenggam tangan ibunya erat. Langkah sepatu terdengar di lorong. Sam baru saja selesai visit pasien. Pria yang memakai masker tersebut memelankan langkah ketika mendengar potongan percakapan terakhir Kusnul. Melihat Ivone menunduk di samping ibunya, Sam terkekeh lirih. Senyum samar muncul di wajahnya yang tertutup. Sam membatin. “Jadi si tikus kecil ini sedang patah hati? Hm, menarik. Haruskah saya usik hatinya yang sakit itu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN