8. Dua Dunia Berseberangan

1275 Kata
Sam menggeleng. “Tidak. Pekerjaan saya sudah terlalu banyak. Tidak penting mengurusi tikus betina satu itu.” Ia lantas melanjutkan langkahnya dengan ekspresi tenang seolah tidak mendengar apa pun. Sementara itu, Kusnul menepuk punggung putrinya lembut. “Jangan biarkan air mata itu sia-sia. Ingat, Ibu cuma mau lihat kamu bahagia sebelum Ibu pergi. Kamu satu-satunya anak Ibu. Ibu pengen melihat kamu menikah. Hanya itu.” Ivone mengangguk pelan sambil menghapus air matanya. “Iya, Bu. Kita bicarakan masalah ini lain waktu lagi. Ayo lanjut jalan. Ntar di lorong depan balik ke kamar.” Kusnul mengangguk. “Cari suami itu yang penting satu misi, Nduk. Ibu rasa kamu sama Yama cinta sepihak. Kamunya cinta, dianya enggak. Jangan mau jadi wanita yang mengemis cinta seperti itu.” “Iya, iya. Jangan dibahas lagi ah. Ucapan Ibu bikin aku tambah mikir.” Keduanya lanjut berjalan, diselingi petuah-petuah dari Kusnul. Lebih tepatnya omelan. *_* Esok harinya hasil pemeriksaan terakhir Kusnul keluar. Dokter menyampaikan bahwa kondisinya sudah cukup stabil untuk rawat jalan. “Ibu Kusnul sudah bisa pulang hari ini. Tapi tetap jaga pola makan dan jangan terlalu capek,” titah sang dokter. Kusnul tersenyum lebar. “Alhamdulillah. Akhirnya bisa pulang ke rumah.” “Iya, Bu. Nanti aku urus semua administrasinya. Kita bisa pulang sore ini setelah aku pulang kerja.” Kusnul menggenggam tangan Ivone erat, matanya penuh sayang. “Terima kasih sudah selalu ada, Nduk. Kamu anak yang hebat.” Ivone hanya tersenyum tipis. “Sudah tugasku, Bu.” Ivone lega, sangat lega. Beberapa hari di Heal Hospital, Sam tidak pernah membuat masalah padanya. Padahal ia takut ibunya akan kenapa-kenapa. Justru kesehatan sang ibu lebih baik. *_* Ruang pemeriksaan itu beraroma wangi lavender yang menenangkan. Lampu sorot menyala terang, menyoroti meja periksa pasien. Sam duduk dengan jas dokter putih yang rapi. Tatapannya tenang, suaranya lembut, berbeda jauh dari sosok dingin yang kerap muncul di balik layar. Di hadapannya, seorang wanita muda tampak gugup duduk di kursi. “Saya sudah lihat hasil USG dan pemeriksaan laboratoriumnya. Kandungan Ibu sudah memasuki minggu ke-32. Posisi janin sudah mulai turun ke arah panggul. Ini namanya ‘lightening’. Jadi wajar kalau Ibu merasa sering kebelet buang air kecil. Hb-nya juga bagus, normal.” Pasien yang datang bersama suaminya itu mengangguk, matanya berbinar lega mendengar penjelasan Sam. “Tapi tekanan darah Ibu sedikit tinggi, 140/90. Saya lihat tekanan darahnya selalu tinggi. Kita harus hati-hati, ini bisa mengarah ke preeklampsia kalau tidak dipantau. Mulai hari ini, kurangi garam, perbanyak minum air putih, dan istirahat cukup. Saya akan resepkan obat anti hipertensi dosis rendah yang aman untuk ibu hamil.” Tangannya luwes mencatat di rekam medis digital. Sesekali ia tersenyum kecil, berusaha menenangkan pasien yang tampak cemas. Ketika tersenyum, salah satu pipinya membentuk cekungan kecil. Sebuah lesung pipi. “Oh ya, saya juga sarankan kontrol CTG minggu depan, untuk memantau detak jantung janin dan kontraksi rahim. Jangan khawatir, ini prosedur rutin menjelang persalinan.” “Siap. Terima kasih, Dok. Penjelasan dokter bikin saya tenang.” Sam mengangguk sopan. “Sudah kewajiban saya. Ingat, Ibu bukan hanya menjaga tubuh sendiri, tapi juga kehidupan kecil di dalam sana. Saya ingin kalian berdua sehat sampai hari persalinan nanti.” Selesai memberikan instruksi, ia berdiri, melepaskan sarung tangan medis sekali pakai, dan memberikan salam singkat pada pasien yang baru saja periksa di klinik pribadinya. Selain praktik tetap di Heal Hospital, Sam juga membuka praktik di rumah. Hanya saja, sehari ia membatasi hanya menerima sepuluh pasien yang periksa di klinik pribadi. Bagi dunia, Sam adalah dokter kandungan teladan sekaligus CEO Heal Hospital yang terhormat, dokter yang sabar, penuh empati, dan detail. Namun, tidak banyak yang tahu di balik pintu lain rumah pribadinya, di sebuah lahan luas beberapa meter dari rumahnya .... Ada sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi di balik panel dinding berlapis baja. Atas tempat itu adalah tanah yang ditumbuhi sayur-sayuran yang subur. Tidak ada tanda-tanda ada ruangan khusus. Hanya Sam dan beberapa orang pengelola lahan yang tahu. Di bawahnya, ada sebuah tempat medis tidak terlalu steril tetapi layak. Nuansanya dingin logam dan aroma besi bercampur darah. Inilah tempat sisi gelap Sam beroperasi. Sudah hampir sepuluh tahun Sam menggeluti dunia hitam di Indonesia bersama Rangga, rekannya yang seorang dokter bedah, dan juga beberapa petinggi kepolisian, militer, juga petugas imigrasi untuk meloloskan para kurir gelap. Dunia Sam bisa dibilang memang gelap sejak awal. Ia asli orang yang lahir dan besar di Turki. Orang tuanya dulunya juga mafia kelas kakap. Mereka semua sudah dibantai musuh. Sam disembunyikan, dibawa pergi ke Indonesia oleh perawatnya yang dulu seorang TKI. Ketika itu, Sam masih remaja. Identitas Sam juga diganti. Dulu, namanya Emir. Orang tua Sam sudah menyiapkan dana darurat khusus untuk Sam. Untuk itulah, ia tidak kekurangan dalam harta dan bisa mengambil kedokteran spesialis kandungan. Sam jelas tidak bekerja sendiri. Ia memiliki sindikat. Mulai dari beberapa aparat keamanan, petugas bandara, petugas bea cukai, dan ratusan kurir. Jika malam setelah praktik di klinik pribadinya selesai, Sam memulai operasi gelap. Ia menuju ruangan bawah tanah tersebut. Beberapa pria berseragam hitam menjaga pintu. Di meja panjang, koper berisi wadah pendingin berderet, dengan label jelas: Cornea, Kidney, Liver, Bone Marrow. Sam yang baru datang, duduk di kursi kulit, melepas jas putihnya, diganti dengan setelan hitam elegan. Sinar lampu redup menajamkan tatapannya. “Bos, organ ginjal dari pasien donor sudah aman. Siap dikirim malam ini ke Dubai. Bandara juga sudah dijaga ketat untuk pengamanan.” Sam mengangguk pelan, jemarinya mengetuk meja. “Pastikan rute aman dan orang-orang kita sudah menyebar di sana untuk siap meloloskan. Tidak boleh ada kebocoran informasi. Ingat, satu kesalahan kecil bisa menyeret nama besar Black Shadow. Saya tidak akan toleransi pengkhianatan lagi, seperti Hanif.” Para anak buahnya menunduk, takut menyebut nama itu. Sam menyalakan rokok, asap tipis mengepul, membuat ruangan makin pengap. “Transplantasi legal itu panjang prosesnya. Ada tes kecocokan, daftar tunggu bertahun-tahun. Pasien kaya tidak punya waktu sebanyak itu. Mereka bayar mahal demi hidup. Dan kita ... menyediakan jalan pintas.” Matanya berkilat dingin. “Bagi dunia, saya adalah penyelamat ibu-ibu hamil. Tapi di dunia lain, saya penyelamat para konglomerat yang sekarat. Hidup orang lain adalah komoditi. Dan saya, pedagangnya.” Di monitor besar, daftar klien internasional terpampang nama-nama dari Singapura, Dubai, hingga Eropa Timur. Setiap organ sudah diberi kode pengiriman. Sam menatap beberapa koper yang terbuka. Di dalamnya, sebuah wadah pendingin berisi ginj4l. Ada hati juga. Ia menutupnya perlahan, suaranya nyaris seperti bisikan doa. “Pemilik organ aman?” tanya Sam. “Selalu aman. Sebagian besar organ didapat dari korban kecelakaan lalu lintas yang tidak diklaim keluarganya, Bos. Ada juga dari gelandangan yang hilang tanpa ada yang mencari. Sisanya, hasil perdagangan manusia dari luar negeri.” Sam tersenyum tipis, tatapannya tajam. “Bagus. Korban tanpa identitas selalu jadi sumber terbaik. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang meributkan. Ingat, jangan pernah ambil dari orang yang bisa menimbulkan kegaduhan. Semakin sunyi asalnya, semakin tinggi nilainya.” “Siap, Bos.” “Tidak ada bedanya antara melahirkan bayi dan menyelamatkan orang kaya dari kematian. Sama-sama bisnis hidup. Bedanya, satu terang, satu gelap.” Lalu ia berdiri. “Mulailah bekerja. Ingat, hati-hati.” Pria itu lalu berderap keluar. Seolah tidak pernah ada darah dan organ di ruangan itu. Begitu pintu baja tertutup, Sam kembali menjadi sosok dokter teladan yang dipuja pasiennya. Sekaligus pemilik kebun sayuran yang hasilnya kadang dibagikan secara gratis pada orang di sekitar. Dua dunia yang berseberangan. Dua wajah dalam satu nama: Sam. Ketika berjalan menuju rumah, mendadak terlintas di pikirannya. “Apa ibu tikus betina itu sudah keluar rumah sakit?” Pria itu menggeleng. Pikiran kotor seperti itu yang perlahan-lahan bisa membunuhnya. Ia tidak mau itu terjadi. Namun tetap saja, ia seperti memiliki hutang budi pada Ivone dan tidak tahu cara membalasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN