BAB 9

1999 Kata
Merlin duduk di atas sofa bed sembari memegang pipinya yang masih terasa sakit. Kepalanya menunduk, menatap dengan nanar lantai keramik berwarna putih di bawah sana. Hatinya terasa sangat sakit sebab perlakuan ayahnya tadi. Kenapa pria tua itu tidak pernah berpikir untuk berhenti melayangkan sebuah tamparan di wajah ataupun kepalanya. Sedari dulu, jika ia merasa tidak puas dengan sikap Merlin, maka sebuah tamparan dari tangannya langsung mendarat di pipi putrinya itu. Dalam diamnya, samar-samar Merlin mendengar suara langkah kaki dari arah luar kamar. Hingga tuas pintu kamar ditarik ke bawah oleh seseorang, Merlin sangat yakin jika orang itu adalah Raka. Daun pintu kamar itu pun perlahan terbuka dan berdiri Raka di baliknya. Hal pertama yang Raka lihat adalah Merlin yang duduk sembari memegang pipinya dengan kepala yang menunduk ke bawah. Langkah kakinya terbuka dengan pelan, entah kenapa Raka mendadak canggung dengan situasi ini. ‘Hhh ... sial! Kenapa rasanya canggung banget,’ erang Raka dalam hati sembari menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar terasa gatal. Merlin yang menyadari jika Raka sudah berada di dalam kamar, lantas segera mengangkat kepala dan menjauhkan tangannya dari pipinya. Merlin mengedarkan pandangan ke sisi kanannya di mana Raka tertahan di sana. Tatapan matanya masih nanar saat menatap suaminya itu. “Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas,” ucap Merlin kepada Raka. Jika saja Raka tidak datang tepat waktu seperti tadi, mungkin pipi Merlin sudah menjadi adonan kue sebab ditampar berkali-kali oleh ayahnya. Raka membungkam rapat mulutnya, kedua netra miliknya tertuju pada pipi Merlin yang nampak kemerahan. Sekali lagi pria itu menghela napasnya dengan berat. Raka memilih untuk membuka langkah setelah cukup lama ia berdiri pada tempatnya. Pria itu berjalan menuju kamar mandi tepat setelah meletakkan handphone, jam tangan dan barang miliknya yang lain di atas nakas. Raka ingin menghujani tubuhnya dengan air dingin sekarang. Di dalam ruangan yang berukuran cukup luas itu, Raka melucuti pakaiannya hingga tidak ada satu helai benang pun menutupi kulit tubuhnya. Meletakkan pakaian tersebut ke dalam keranjang cucian kemudian berjalan menuju shower. Raka memutar tuas keran shower dan menantang dirinya untuk berdiri di bawah benda tersebut. Dan, tetesan air yang keluar bagai hujan itu pun mulai membasahi setiap jengkal kulit tubuh Raka. Sensasi dingin dan menyegarkan dari air tersebut membuat Raka merasa seperti tanaman yang hidup kembali. Seharian ini Raka begitu sibuk dengan semua urusan di kantor. Membuatnya kewalahan dan merasa seperti tanaman yang hampir layu. Sejenak Raka dibuat berpikir, sekelebat bayangan tentang Merlin yang ditampar oleh ayahnya terus berputar dengan bebas di dalam kepalanya. Raka merasa kesal, ia bahkan tidak percaya dengan dirinya sendiri karena terus memikirkan kejadian tersebut. Raka berdecak. Tangan kanannya terulur menyentuh dinding kamar mandi. “Sialan! Ada apa sih dengan gue? Kenapa gue terus memikirkan hal itu coba?” umpat Raka pada dirinya sendiri. Sedangkan di luar sana, Merlin masih berada dalam posisinya. Wanita itu terus menatap lantai sembari mengusap perutnya dengan lembut. Berulang kali Merlin lakukan hal tersebut hingga ia merasa sudah tidak tahan lagi. Merlin beranjak dan membuka langkah keluar dari kamar. Merlin ingin menemui Mbok Darmi di kamarnya. Langkah kaki Merlin terus terbuka hingga ia berada tepat di depan pintu kamar wanita tua itu. Salah satu tangan Merlin melayang untuk mengetuk daun pintu tersebut hingga beberapa kali. Kedua pelupuk mata Merlin kini sudah dipenuhi oleh genangan air mata. Pintu kamar Mbok Darmi perlahan terbuka. Betapa terkejut wanita tua itu saat ia mendapati keberadaan Merlin dengan kedua mata yang berkaca-kaca berdiri di balik pintu kamarnya. Tanpa banyak bertanya, segera Mbok Darmi mengiring Merlin untuk masuk ke dalam kamarnya. “Non Merlin, ada apa?” tanya Mbok Darmi, meminta Merlin untuk memposisikan diri dengan nyaman di atas kasur miliknya. Merlin setuju untuk memposisikan diri di atas kasur seperti permintaan Mbok Darmi. Wanita itu tidak bisa menjawab kalimat pertanyaan yang dilontarkan oleh Mbok Darmi. Merlin hanya menangis sesegukan sebab hatinya terasa sangat sakit sekali. Mbok Darmi menunggu dengan sabar sembari tangannya terus mengusap dengan lembut punggung tangan Merlin yang tengah bersedih itu. Jika dilihat dari bagaimana Merlin menangis, Mbok Darmi sangat yakin jika wanita itu benar-benar dalam suasana hati yang sama sekali tidak bagus. Cukup lama Mbok Darmi menunggu, hingga akhirnya Merlin mulai membuka suara meski masih sesegukan. “Mbok, maaf jika Merlin mengganggu malam-malam. Mbok pasti kebingungan karena Merlin tiba-tiba datang dan menangis seperti ini,” ucapnya sembari menyeka kedua sudut matanya yang basah. Mbok Darmi tersenyum tulus. “Tidak apa-apa, Non. Mbok sama sekali tidak merasa terganggu. Non Merlin boleh berkeluh kesah dan menangis di hadapan Mbok. Jika ada sesuatu yang membuat Non Merlin merasa sedih dan begitu menyesakkan di daada. Jangan dipendam sendirian, Non. Mbok siap mendengarkan semua cerita Non Merlin,” tutur Mbok Darmi panjang lebar. Merlin menarik napasnya cukup dalam kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Wanita itu pun mulai menceritakan kegelisahan dan kesedihan yang bersarang di dalam dadanya itu. Sebenarnya, suasana hati Merlin sudah tidak bagus saat ia meminta Pak Taufik untuk mengantarnya mampir sebentar ke rumah lamanya untuk mengambil foto mendiang ibunya, namun pria tua itu menolak dengan alasan Imelda meminta mereka langsung pulang usai pemeriksaan. Merlin hanya merasa tak habis pikir dengan sikap Imelda yang terkesan membatasi gerak gerik dirinya. Tidak sampai di situ, Merlin juga menceritakan kedatangan ayahnya di kediaman ini namun tidak diterima oleh sang tuan rumah. Dan hal tersebut membuat ayahnya merasa geram hingga melayangkan sebuah tamparan tepat di pipinya. Mbok Darmi mendelik tak percaya usai mendengar cerita Merlin yang baru saja ditampar oleh ayahnya sendiri. Wanita tua itu merasa geram kepada ayah Merlin yang ia nilai sangat kurang ajar terhadap darah dagingnya sendiri. Terlebih Merlin sedang mengandung sekarang. Sungguh Mbok Darmi merasa sangat prihatin kepada Merlin. Kenapa wanita ini terlalu banyak menerima hal-hal yang begitu menyakiti hati dan perasaannya? Sekarang, Mbok Darmi malah ikut menangis bersama Merlin. Meski mereka berdua tidak terlalu lama saling mengenal. Hanya saja karena keduanya sama-sama memiliki hati yang tulus, membuat mereka menjadi terasa sangat dekat dan nyaman satu sama lain. Terlebih Mbok Darmi yang sedari awal memang merasa kasihan kepada wanita yang merupakan menantu di keluarga besar majikannya. **** Keesokan harinya, seseorang datang berkunjung di kediaman Farhan Abimanyu. Dan kebetulan orang yang membukakan pintu adalah Merlin. Ketika daun pintu telah terbuka hingga setengahnya, baik Merlin ataupun orang itu sama-sama memasang wajah terkejut. Ialah Dira--mantan kekasih Raka--yang datang berkunjung hari ini. Dira memasang wajah sedikit datar, kemudian bertanya kepada Merlin. "Maaf, kamu ini siapa?" tanya Dira sembari menatap Merlin yang nampak sedikit tegang. Belum sempat Merlin menjawab, suara Imelda yang tiba-tiba datang menghampiri keduanya membungkam Merlin. Wanita paruh baya itu menyambut kedatangan Dira dengan penuh suka cita. Ditepisnya Merlin yang saat ini berdiri diantara mereka, seolah-olah wanita bernama Merlin itu tidak ada di sini. Dira menghamburkan diri memeluk Imelda, begitu pun dengan Imelda yang saat ini membalas pelukan wanita berparas cantik itu. Sedari dulu, Imelda sangat menyukai Dira. Maka tidak heran, meski hubungan Dira dan putranya telah berakhir, Imelda masih antusias menyambut wanita itu. Setelah cukup puas berpelukan dan mendaratkan kecupan hangat di kedua pipi Imelda, Dira pun mengurai pelukan mereka. "Ayo, Sayang. Kita duduk ke ruang tengah!" seru Imelda sembari mengiring wanita itu. Merlin hanya terdiam membeku saat menyaksikan Ibu mertuanya sendiri memperlakukan wanita lain dengan sangat baik seperti tadi. Sejenak Merlin berasumsi, Imelda mengajak wanita itu ke ruang tengah alih-alih ke ruang tamu. Merlin sangat yakin jika wanita itu sangat dekat dengan Ibu mertuanya itu. Dira dan Imelda berjalan bersisian menuju ruang tengah. Gelak tawa mengiringi setiap langkah mereka. Benar-benar sikap yang sangat berbeda saat memperlakukan Dira dan Merlin. "Tante, wanita yang membukakan pintu untuk Dira tadi siapa?" tanya Dira merasa penasaran. Imelda tertawa kikuk saat Dira memberikannya pertanyaan seperti itu. Wanita paruh baya itu kebingungan ingin menjawab apa. Tidak mungkin dia mengatakan jika Merlin adalah istri Raka, bukan? Lantas, Imelda pun memutar keras kepalanya untuk mencari jawaban. Hingga seperkian detik kemudian, Imelda pun memberikan jawaban. "Ah ... dia itu Asisten Rumah Tangga baru di rumah ini. Menggantikan Mbak Wina," jawab Imelda berbohong. Mendengar Imelda mengatakan dirinya adalah seorang Asisten Rumah Tangga baru di kediamannya, membuat Merlin seketika menghentikan langkahnya. Kedua matanya terasa sangat panas, wanita itu bahkan meyakinkan diri jika ia tidak salah mendengar. Merlin memang tidak pernah berharap akan dianggap menjadi bagian dari keluarganya, tapi apakah dengan mengatakan dirinya seorang Asisten Rumah Tangga juga dibenarkan? Bukankah hal tersebut terkesan sangat kelewatan? Merlin meremas blouse yang saat ini ia kenakan. Kakinya tiba-tiba bergetar dan ia merasa sedikit aneh karena ulah Imelda barusan. Di tempatnya duduk, Imelda menatap Merlin yang nampak berdiri dengan tegang. Kemudian dipanggilnya menantunya itu untuk menghampiri mereka yang saat ini tengah duduk. Merlin pun setuju, kakinya melangkah untuk menghampiri Imelda dan juga Dira. "Merlin, tolong bikinkan kita berdua minum," ucap Imelda pada Merlin, detik kemudian tatapan matanya beralih menatap Dira, "Kamu ingin minum apa, Sayang?" lanjut wanita paruh baya itu dengan suara lembut saat menanyai Dira. "Mmm, Dira ingin minum air putih hangat saja, Tante. Soalnya tenggorokan Dira sedikit nggak nyaman," sahut wanita itu sembari tersenyum. Imelda kembali mengedarkan tatapan ke arah Merlin. "Kau dengan 'kan? Tolong bawakan teh hangat untukku dan air putih hangat untuk Dira kesayanganku." Dira kesayanganku? Baru saja Imelda mengatakan Dira kesayanganku? Hah, benar-benar sangat lucu. Jelas Imelda sengaja mengatakan hal tersebut di depan Merlin untuk menunjukkan betapa jauh perbandingan wanita itu dibandingkan Dira bagi seorang Imelda. Jelas perbandingan mereka sangat jauh. Dari segi apa pun kecuali wajah. Merlin memiliki wajah yang jauh lebih cantik dibandingkan Dira. Hanya itu saja. Selebihnya Dira lebih unggul dalam hal apa pun. Merlin mengangguk sedikit kikuk. "Baik, akan saya ambilkan," sahutnya kemudian berjalan menuju dapur. Sepeninggal Merlin ke dapur. Dira berniat untuk kembali membuka suaranya. Entah kenapa, ia merasa jika ada yang sedikit aneh dari penampilan Merlin. Bagaimana wanita itu mengenakan pakaian yang cukup modis untuk seukuran seorang Asisten Rumah Tangga. Dira bergumam pelan. Menipiskan jaraknya dengan Imelda kemudian berkata, "Tante, aku rasa Asisten Rumah Tangga baru itu penampilannya agak lain dari Asisten Rumah Tangga kebanyakan. Kulit dan bahkan rambutnya nampak seperti terawat. Pakaiannya juga tidak seperti seorang pembantu." Imelda terkekeh pelan. "Ah, itu hanya perasaan kamu saja, Sayang. Menurut Tante, penampilan wanita itu biasa saja. Bahkan tidak ada bagus nya sama sekali," sahut wanita paruh baya itu. Dira hanya mengangguk dengan pelan. Wanita itu pun segera menepis pemikirannya tentang penampilan Merlin. Kembali ia membuka suara namun bukan untuk membahas Merlin, melainkan membahas tentang Raka. Selama ini Dira masih berusaha untuk membuat Raka kembali ke dalam pelukannya. Meski ia sudah dibantu oleh Imelda, namun sampai sekarang Raka masih bersikukuh untuk menolak memulai kembali hubungan mereka. "Bagaimana kabar Raka, Tante? Akhir-akhir dia nggak pernah balas pesan atau angkat panggilan telepon dari Dira." Wanita itu berujar sembari memasang wajah masam. Imelda menghela napas pelan. Kemudian tersenyum cukup lebar. "Akhir-akhir ini Raka sangat sibuk, Sayang. Dia mulai aktif bergabung dengan Om di perusahaan," sahutnya memberitahu. Mendengar Raka sudah ikut bergabung dengan perusahaan ayahnya. Seketika raut wajah Dira menjadi berubah. Kedua matanya berbinar dengan terang sebab hatinya semakin menggebu untuk mendapatkan Raka kembali ke sisinya. "Uhm ... Tante masih mau bantu Dira untuk kembali dengan Raka, bukan?" tanya wanita itu penuh harap. Tentu saja Imelda menginginkan hal itu terjadi. Ia ingin sekali Raka kembali memiliki hubungan spesial dengan Dira yang merupakan anak dari teman sosialita nya itu. Tapi, jika Imelda melakukan hal itu dan menyatukan kembali Raka dengan Dira. Ia pasti akan mendapat masalah yang sangat besar. Bukannya Imelda sama sekali tidak tahu menahu tentang hukum agama, jelas ia tahu akibatnya jika ia bersikap lancang seperti itu. Terlebih suaminya pasti akan marah besar kepadanya karena hal tersebut. Ah, Imelda tidak ingin mendapatkan masalah. "Tentu saja Tante akan membantu kamu. Tapi, untuk sementara biarkan Raka fokus di perusahaan dulu sekarang. Oke, Sayang?" kilah Imelda. "Baiklah kalau seperti itu. Dira akan menunggu untuk sementara waktu." Dira mengembangkan senyumnya. Imelda menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dalam hatinya mengucapkan syukur tak berkesudahan sebab Dira percaya saja dengan dalih yang ia berikan. Imelda tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadikan Dira sebagai menantu wanitanya. Ia ingin sekali menyatukan Raka dengan wanita itu. Karena menurutnya, Raka akan sangat cocok ketika bersanding dengan wanita pilihannya. Yaitu Dira Anindita Lestari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN