Merlin memutar tubuhnya dengan malas ke arah sumber suara. Tepat beberapa meter dari tempat Merlin berdiri sekarang, ayahnya berjalan dengan sempoyongan untuk menghampiri dirinya. Pria tua itu hampir tak sadarkan diri. Di tangan kanannya terdapat satu buah botol berisi minuman keras yang ia dapatkan entah dari mana. Padahal hari tergolong masih pagi tetapi pria tua itu sudah di bawah pengaruh alkohol saja.
Merlin memundurkan langkah tepat di saat ayahnya telah berdiri di hadapannya. Dari posisi ini, Merlin dapat mencium aroma alkohol yang begitu kuat berasal dari tubuh sang ayah. Dalam hatinya, Merlin mendesah pasrah. Entah sampai kapan ayahnya akan menjadi pemabuk seperti ini. Sedari Merlin kecil hingga dewasa seperti sekarang, tidak sedikit pun ayahnya berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
“Merlin, putriku satu-satunya ...,” seru Pak Setyo dengan nada khas orang teler.
Mata pria tua itu nampak sayu. Sebentar tertutup sebentar terbuka. Tubuhnya pun tidak berdiri dengan tegap, beberapa kali ia hampir jatuh terlentang ke atas jalanan.
“Ayah, Merlin hanya mampir sebentar. Merlin hanya ingin mengambil foto mendiang Ibu,” sahut Merlin kemudian berniat untuk beranjak masuk ke dalam rumah.
Pak Setyo menggaruk-garuk tengkuknya yang terasa gatal. “Oh ya? Silakan masuk kalau begitu,” ucapnya lagi. Masih dengan nada yang sama seperti tadi.
Merlin hanya geleng kepala. Jika mabuk seperti ini, tingkah ayahnya sangat bermacam-macam. Dan hari ini tingkahnya sedikit jinak sebab tidak marah-marah kepada Merlin. Merlin merasa beruntung jika sikap ayahnya seperti saat ini. Setidaknya pria tua itu tidak akan menambah beban pikirannya.
Merlin membuka langkah masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Pak Setyo juga ikut berjalan masuk mengiringi putrinya itu. Pak Setyo berjalan layaknya sebuah bayangan, ke mana pun Merlin melangkah maka ia akan mengikutinya di belakang.
“Ayah, di mana foto Ibu?” tanya Merlin sembari membalik posisi tubuhnya agar berhadapan dengan ayahnya.
“Sudah Ayah buang!” Pak Setyo terkikik kemudian menenggak minuman beralkohol miliknya.
“Ayah, jangan bohong,” ucap Merlin dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
“Aku tidak berbohong. Foto wanita sialaan itu memang sudah ku buang!”
Sekarang, air mata yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mata Merlin benar-benar terjatuh ke bawah. Ingin sekali dirinya mencaci maki pria tua di hadapannya itu. Jika saja bukan ayahnya, mungkin saja Merlin akan melakukan hal tersebut.
“Sebenarnya, bukan mendiang Ibu yang sialan. Tapi Ayah ....” meski sedikit bergetar, suara Merlin saat mengatakan kalimat tersebut terdengar sangat bersungguh-sungguh.
Sebuah seringai tipis terbit di bibir Pak Setyo. “Apa? Kau bilang aku apa? Sialan?” pria tua itu nampak tidak senang sebab Merlin mengatakan hal seperti itu kepadanya.
Seperti biasanya, Pak Setyo berniat untuk melayangkan sebuah tamparan tepat di pipi putrinya jika ia merasa tidak puas akan sesuatu. Namun dengan cepat Merlin menangkis sebuah tangan yang terlihat kurus kering dan berkeriput itu. Merlin tidak akan pernah membiarkan siapa pun menampar dirinya lagi. Sekali pun orang itu adalah ayahnya sendiri.
Merlin menatap tajam ke arah ayahnya. Sorot matanya sangat tajam bak burung elang yang tengah mengincar mangsanya. Sungguh Merlin merasa sangat muak.
Pak Setyo tertawa miring. “Wah ... sekarang putriku sudah banyak berubah. Semenjak menjadi bagian dari keluarga kaya raya, kau menjadi sangat berani.” Pria tua itu pun menurunkan tangannya normal seperti biasa. Begitu pun dengan Merlin yang sekarang berusaha untuk bersikap sedikit lebih tenang.
Karena ayahnya sudah mengatakan bahwa foto mendiang ibunya sudah tidak ada lagi, maka tidak ada alasan lagi bagi Merlin untuk berlama-lama di sini. Wanita berambut kecokelatan itu pun berniat untuk pulang ke kediaman sang suami. Merlin membuka langkah mendatangi pangkalan ojek yang berada tidak jauh dari kediaman ayahnya. Meski kakinya terasa sakit dan kepalanya terasa sangat pusing saat ia berjalan. Namun Merlin tetap melangkahkan kedua kakinya.
Baru beberapa meter Merlin berjalan, ia merasa sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan langkah kakinya. Merlin memilih untuk beristirahat di depan sebuah rumah kosong yang lama tak ditinggali oleh penghuninya. Sepertinya Merlin harus mengurungkan niatnya untuk memakai jasa ojek di pangkalan untuk kembali ke kediaman suaminya. Merlin mengeluarkan handphone miliknya kemudian membuka sebuah aplikasi ojek daring lalu memesannya.
Tidak lama berselang, abang driver pun datang menghampiri. Segera Merlin beranjak kemudian naik ke atas kendaraan roda dua tersebut.
“Kita berangkat sekarang ya, Neng,” kata abang driver yang kemudian memacu kendaraan roda dua miliknya ke tempat tujuan.
****
Merlin berjalan dengan sedikit pincang. Entah kenapa semakin ke sini kakinya terasa sangat sakit padahal tadi biasa-biasa saja. Tidak sesakit seperti sekarang ini.
“Merlin, dari mana saja kamu?” Suara itu adalah milik Imelda. Sedari tadi wanita paruh baya itu menunggu-nunggu kedatangan Merlin.
“Sudah jam berapa ini? seharusnya kamu pulang belanja sejak dua jam yang lalu.”
Imelda berujar dengan kedua lengan yang melipat di daada. Matanya menelisik, mencari-cari belanjaan stok mingguan. Namun satu pun tidak ia temukan bahan belanjaan tersebut, ia hanya mendapati beberapa titik tubuh Merlin yang dibalut oleh perban.
“Apa yang terjadi dengan kamu?” tanya Imelda untuk yang ketiga kalinya.
Merlin berdeham pelan. “Maaf, Nyonya. Tadi saya mengalami kecelakaan saat diperjalanan pulang. Untuk belanjaan stok mingguan, semuanya habis tercecer di jalanan. Dan saya terlambat datang karena mampir ke rumah sakit terlebih dahulu,” sahut Merlin menjelaskan.
Imelda berusaha untuk mengerti situasi yang terjadi kepada Merlin. Dilihat dari beberapa titik tubuhnya yang terluka, Imelda sangat yakin jika Merlin mengatakan yang sebenarnya. Lantas, wanita paruh baya itu pun berkata, “Terus, gimana? Apa kata Dokter?” tanyanya.
Merlin sedikit terperanjat saat kalimat tersebut masuk dengan begitu halus di indra pendengarannya. Berkali-kali Merlin meyakinkan diri jika ia tidak salah mendengar. Mulanya Merlin sangat yakin jika Imelda akan marah-marah kepadanya. Sedikit pun Merlin tidak pernah berpikir jika reaksi Imelda akan seperti demikian.
Melihat wajah Merlin yang nampak bengong, Imelda pun mengulangi kalimat pertanyaannya. “Hei, Merlin. Jadi, gimana kata Dokter?” ujarnya.
“Dokter bilang, janin nya baik-baik saja. Tapi, Dokter menyarankan saya untuk beristirahat lebih banyak sementara waktu ini.”
“Oh ya?”
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Imelda sebagai jawaban atas kalimat dari Merlin. Puas dengan jawaban Merlin, Imelda pun segera membuka langkah untuk masuk ke dalam rumah. Begitu pun dengan Merlin yang ikut berjalan dengan kakinya yang sedikit pincang.
“Non Merlin, ada apa ini? Apa yang terjadi sama Non?”
Suara panik Mbok Darmi menyambut kedatangan Merlin di kediaman ini. Jelas sekali wanita tua itu merasa panik saat mendapati beberapa titik tubuh Merlin terbalut oleh perban dan kakinya yang sedikit pincang saat berjalan.
Merlin sedikit menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Wanita itu menjelaskan kepada Mbok Darmi jika ia dan Pak Sapto mengalami sedikit kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari pasar.
“Ya ampun, jadi bagaimana? Apa Non dan calon bayi baik-baik saja?” tanya Mbok Darmi lagi.
Merlin mengangguk dengan senyuman yang tidak luntur sama sekali dari bibirnya. “Kami baik-baik saja, Mbok,” sahutnya.
Mbok Darmi menghela napas lega. “Syukurlah kalau kalian baik-baik saja,” balasnya.
Dari kejauhan, Imelda yang sedari tadi menyaksikan kedua orang itu lantas mencibir. “Astaga, mereka berdua lagi syuting drama atau apa?” gumamnya kemudian bergegas pergi. Ia tidak tahan melihatnya dan berniat pergi ke ruang baca.
Sepanjang langkahnya menuju ruang baca, Imelda terus saja menggerutu. Ingin dia marah tetapi tidak mungkin. Merlin mengalami kecelakaan dan hal itu pasti akan membuat suaminya panik saat mengetahuinya nanti. Membayangkannya saja Imelda sudah tidak suka. Tapi, mau bagaimana lagi? Memang suaminya begitu menantikan sang jabang bayi yang bersemayam di dalam rahim wanita yang sama sekali tidak ia sukai itu.
Sesampainya di ruang baca, Imelda langsung mengunci pintu ruangan tersebut agar tidak ada satu orang pun yang dapat mengganggu dirinya. Ditemani satu buah novel kesukaannya, Imelda memposisikan dirinya di atas sofa dengan nyaman. Sebuah novel yang menceritakan tentang perselingkuhan dalam sebuah keluarga konglomerat. Saking ia menyukai novel tersebut, Imelda sudah membaca ulang sebanyak sepuluh kali sejak novel tersebut ia beli di Gramedia.
“Hhh ... novel ini seperti nyata. Aku selalu ketagihan untuk membacanya,” gumam Imelda kemudian memulai membaca novel kesukaannya itu.
Untaian demi untaian kalimat yang tertuang di atas kertas tersebut, begitu menghanyutkan dan mampu membuat wanita paruh baya itu seolah menjadi pemeran utamanya. Kedua mata Imelda berbinar terang, degup jantungnya semakin berpacu dengan cepat, semangatnya tiba-tiba terbakar dan membuatnya begitu membara. Ah ... Imelda sangat menyukai alur cerita ini.
Di setiap waktu luangnya, Imelda akan selalu mengisinya dengan membaca novel tersebut. Jika ia sudah berada di dalam ruangan ini dan memegang buku novel kesukaannya itu. Maka jangan harap ia dapat diganggu meski hanya beberapa detik saja. Jika memiliki suatu urusan atau hal mendesak sekali pun, jika wanita paruh baya itu sedang berada di dalam ruang baca, maka jangan harap ia akan memberikan waktunya yang berharga itu.
Imelda mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan menyilangkan nya di sana. Punggungnya bersandar pada sebuah bantal yang begitu empuk. Dan kedua matanya terus menyorot setiap untaian kalimat yang ada di atas lembaran novel itu. Hingga pada akhirnya netra miliknya menangkap sebuah kalimat yang selalu sukses membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Imelda membaca kalimat tersebut dengan cukup nyaring.
“Apa? Kau pikir aku akan menjadi wanita lemah yang menangis dan memohon cinta kasihmu? Kemudian meminta kamu untuk meninggalkan simpanan mu yang jalang itu? hah, yang benar saja!” seru Imelda saat membacakan baris dialog kesukaannya.
“Tidak ada cinta yang abadi. Entah kau akan berpisah karena tidak lagi saling cinta atau berpisah karena salah satunya tak lagi bernyawa.”
Imelda merasakan semangatnya semakin menggebu-gebu sekarang. Tidak ada yang tahu tentang hobi yang sedikit unik dari wanita paruh baya ini. Siapa pun tidak akan pernah mengira jika seorang wanita yang elegan seperti Imelda begitu tergila-gila pada sebuah novel bertema cinta segitiga. Bahkan suaminya sendiri tidak pernah tahu tentang hal ini.
Imelda selalu lupa waktu jika sedang membaca novel kesukaannya itu. Sebenarnya, Imelda tak hanya sekedar membaca saja. Tetapi ia juga membayangkan setiap adegan yang tertuang di sana, dan membayangkan jika dirinya adalah Ella sang tokoh utama di dalam novel favoritnya.
Sedangkan di dalam kamarnya, Merlin merasa gelisah dan tidak nyaman dalam posisi apa pun. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Terlebih pada bagian yang mengalami luka, semua terasa nyeri dan sakit. Merlin beranjak bangun dari posisi tidurnya dan duduk di atas sofa bed tempat ia berbaring sebelumnya. Dipandanginya kakinya yang ternyata mulai sedikit bengkak dan biru keunguan. Merlin sedikit meringis.
“Ya ampun, kenapa jadi bengkak gini? Rasanya sakit banget,” gumam Merlin dengan wajah yang cukup masam sebab meringis menahan sakit.
***
Malam menjelang, perut Merlin rasanya lapar sekali. Wanita itu merasa gelisah. Ingin rasanya ia tidur tetapi tak bisa. Semakin Merlin merasakan semakin ia menggigil kelaparan. Tetapi, ingin pergi ke dapur pun ia tak bisa. Kakinya sudah bengkak saja dan jangan tanyakan bagaimana rasanya, sudah pasti sakit sekali.
Dalam posisi terlentang di atas sofa bed, Merlin menatap langit-langit kamar dengan nanar. Dalam hatinya terus berdoa semoga seseorang datang membawakan makan malam untuknya. Meski kemungkinan hal tersebut akan terjadi sangat kecil, tetapi Merlin tak putus asa. Ia terus berdoa.
Hingga kemudian ...,
Pintu kamar terbuka dengan cukup pelan dan berdiri seorang Raka di baliknya. Pria itu datang dengan membawa sebuah nampan berisi makanan dan segelas air putih di atasnya. Melihat pemandangan itu, rasanya Merlin ingin sekali menangis.
“Nih, makan malam kamu. Papa minta aku bawakan untuk kamu,” ucap Raka sembari meletakkan nampan tersebut ke atas nakas.
Merlin segera beranjak duduk. Diraihnya piring berisi makanan tersebut lalu menyantapnya. “Terimakasih ....” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Merlin.
Raka mengerjapkan kedua matanya beberapa kali saat menyaksikan cara makan Merlin yang terkesan seperti orang yang tidak makan selama satu minggu. Pria itu sedikit terperanjat. Ia sama sekali tidak mengira jika Merlin selapar itu. Hhh, dia tidak tahu saja jika seorang Ibu hamil perlu asupan makanan yang jauh lebih banyak daripada orang yang tidak hamil. Hal itu terjadi karena di dalam rahimnya bersemayam satu makhluk bernyawa lainnya yang memerlukan asupan makanan juga.
Raka masih berdiri pada tempatnya. Kedua netra miliknya menangkap beberapa luka yang terbalut oleh perban di beberapa titik tubuh Merlin. Saat ia masih berada di ruang makan tadi, Raka menerima informasi dari Imelda jika Melin mengalami kecelakaan kecil tadi pagi.
Raka memposisikan diri di atas kasur. Posisinya saat ini tepat sekali berhadapan dengan Merlin yang tengah menyantap makanannya. Pria itu masih setia menatap istrinya itu. Membuat Merlin merasa risih sebab Raka terus menatap dirinya.
“Ada apa, Mas?” tanya Merlin dengan kepala yang sedikit menunduk.
“Bagaimana keadaan kamu?” Raka balik bertanya.
Merlin menahan suapan ke mulutnya. “Semuanya baik-baik saja, Mas. Hanya luka lecet dan kaki yang bengkak,” sahut Merlin.
Raka tidak lagi menjawab. Pria itu hanya mengangguk dengan pelan kemudian beranjak dari posisinya sekarang. Kedua kakinya terbuka dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan Merlin yang saat ini mengerjapkan matanya hingga beberapa kali.
“Ada apa dengan dia? Aneh sekali ...,” gumam Merlin kemudian kembali menyantap makanannya.