BAB 15

2450 Kata
Raka terbangun sebab mendengar suara rintihan yang samar-samar masuk ke dalam indra pendengarannya. Suara rintihan itu berasal dari arah kanannya di mana Merlin berada di sana. Meski terasa sangat berat, Raka tetap memaksa kedua matanya untuk terbuka. Sembari mengucek kedua matanya itu, Raka mengedarkan pandangan ke arah Merlin. “Hei ... apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” tanya Raka dengan suara serak. Pria itu merasa sangat mengantuk. Akibatnya, ia tidak dapat melihat dengan jelas Merlin yang merintih sembari memegangi perutnya. “Mas, perutku rasanya sakit sekali,” keluh Merlin sembari terus mengerang. Air mata terus mengalir dari kedua ekor matanya. Mendengar Merlin mengeluhkan perutnya terasa sangat sakit, seketika rasa kantuk Raka pun menghilang. Pria itu benar-benar terjaga dengan kedua mata yang terbuka dengan sempurna. Raka menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang. Kemudian menghampiri Merlin yang mengerang kesakitan di atas sofa bed. Raka tidak banyak bertanya ataupun banyak berbicara. Segera direngkuhnya tubuh wanita yang merupakan istrinya itu kemudian membawanya keluar dari kamar menuju garasi. Raka akan membawa Merlin ke rumah sakit sekarang juga. Saat keduanya berada di ruang utama, terdengar suara Imelda mamanggil nama putranya. Raka menahan langkah, membalik tubuhnya menghadap ke arah sumber suara. “Ada apa, Ma?” tanya Raka. Imelda membuka langkah untuk menghampiri putranya yang saat ini tengah menggendong Merlin. Lantas, ia pun bertanya, “Apa yang terjadi? Kenapa kamu menggendongnya?” tanya wanita paruh baya itu. Padahal jelas sekali Imelda melihat Merlin yang saat ini tengah mengerang dengan air mata yang terus merembes dari kedua pelupuk matanya. Tetapi, rasanya tidak sah jika ia tidak bertanya langsung kepada Raka mengenai apa yang terjadi. Maka dari itu ia bertanya meski dalam benaknya sudah mengetahui jawabannya. “Dia kesakitan. Mungkin ada sesuatu yang salah dengan kandungannya,” sahut Raka menjelaskan. Begitu singkat, padat, dan jelas. Imelda mengangguk dengan pelan. “Ya sudah, kalau begitu segera bawa dia ke rumah sakit untuk mendapat tindakan. Jangan sampai bayi itu kenapa-kenapa. Ayah kamu tidak akan senang nanti,” balas Imelda. “Raka pamit dulu ya.” Imelda mengangguk dan Raka pun berlalu meninggalkan ibunya di ruang utama. ---- Mobil Raka melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang paling terdekat dari kawasan rumahnya. Jalanan yang sepi dan lengang, seolah memprovokasi Raka untuk memacu kendaraan roda empat miliknya melaju lebih cepat lagi. Mobil sport berwarna hitam itu melesat, meninggalkan suara knalpot yang cukup nyaring. Di samping Raka, Merlin yang terus mengerang kesakitan membuat Raka menjadi semakin panik. “Tenanglah sedikit. Kau membuatku panik! Sebentar lagi kita akan sampai.” Tanpa sadar, kalimat tersebut keluar begitu saja dari Mulut Raka. Salah satu tangan Merlin memegang kuat handle grip dan tangannya yang lain mencengkeram kuat perutnya sendiri. Peluh sebesar biji jagung terus menetes melalui dahi Merlin. Dan keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhnya sekarang. Merlin benar-benar merasakan sakit yang luar biasa. Bahkan perutnya terasa seperti kejang terus menerus. Tidak lama berselang, mobil yang dikendarai oleh Raka tiba di rumah sakit dan berhenti tepat di depan pintu masuk UGD. Segera ia melepaskan seat belt yang terpasang pada tubuhnya kemudian turun dari kendaraan roda empat tersebut. Raka berjalan memutar, menghampiri Merlin yang duduk di sisi sebelah kiri. Sama seperti saat di rumah tadi, Raka tidak membuka suara dan langsung merengkuh tubuh Merlin. Kakinya yang panjang terbuka dengan lebar untuk masuk ke dalam ruang UGD. Kedatangan mereka langsung disambut oleh beberapa perawat dan disusul oleh Dokter yang sedang berjaga malam ini. Sesuai instruksi dari salah satu perawat, Raka pun merebahkan Merlin di atas bed yang terletak di ujung ruangan. Pria itu menjelaskan kepada Dokter jika istrinya tiba-tiba merasakan sakit dan kejang pada perutnya. Raka juga mengatakan jika sebelumnya Merlin sempat mengalami kecelakaan kecil dan terjatuh dari becak yang ia tumpangi. Usai mendengar penjelasan singkat dari Raka. Dokter yang mengenakan kerudung berwarna cokelat nude itu pun segera memeriksa Merlin yang masih mengerang. “Kondisi ini tidak terlalu bagus. Anda sedang mengalami kontraksi dini. Pada usia kehamilan anda sekarang, seharusnya belum waktunya untuk kontraksi.” Dokter itu menjelaskan. Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, Merlin menatap Dokter tersebut dengan nanar. “Tolong selamatkan anak ini, Dok,” ucapnya memohon. “Ibu tenang saja, ya. Meski kondisinya tidak terlalu bagus, tapi hal ini akan baik-baik saja selama mendapat tindakan yang tepat. Untuk sementara, Ibu saya sarankan untuk dirawat di sini agar mendapat pengawasan dan benar-benar beristirahat dengan baik.” Dokter itu menambahkan. Tidak jauh dari mereka, Raka dapat mendengar dengan jelas kalimat yang keluar dari mulut Sang Dokter tersebut. Di mana ia mengatakan jika Merlin harus tinggal di rumah sakit untuk rawat inap. Sebenarnya, mau bagaimanapun, Raka tidak akan mempermasalahkan. Ah, ralat, yang benar adalah Raka tidak akan peduli. Merlin diharuskan dirawat atau boleh pulang. Keduanya sama saja bagi pria itu. “Kalau begitu, Bapak silakan urus prosedur rawat inap di ruang administrasi,” kata Sang Dokter kepada Raka. Raka hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Kemudian pamit undur diri dari ruangan tersebut. Sesaat ia telah berada di luar ruang UGD, Raka meraih handphone yang ia simpan di dalam saku celana. Tangannya bergerak lincah di atas layar benda pipih itu, mencari nama Imelda untuk dihubungi. Raka harus memberi tahu tentang hal ini. Panggilan berhasil tersambung setelah nada beep berbunyi sebanyak tiga kali. Rupa-rupanya Imelda memang menantikan telepon dari putranya sejak tadi. Maka saat Raka menghubungi, tidak perlu waktu lama untuk Imelda menjawabnya. “Halo, Sayang?” sapa Imelda di seberang telepon. Raka tersenyum. “Loh ... cepet juga Mama jawab telepon Raka,” ucapnya, “Mama nggak tidur?” tanyanya lagi. Imelda menghela napas pelan. “Sayang, kamu telepon Mama cuman mau bilang hal ini? Atau ada hal yang lebih penting?” Raka terkekeh sebentar, kemudian menjawab, “Gini, Ma. Raka cuman mau kasih tahu, kalau Merlin disarankan rawat inap oleh Dokter. Katanya dia mengalami kontraksi dini. Raka juga nggak ngerti maksudnya apaan,” jawab pria itu menjelaskan kepada ibunya. Imelda mengangguk paham. Matanya mengedar ke arah samping, menatap suaminya yang tertidur dengan sangat pulas. “Ya sudah, kamu urus saja semuanya.” Kening Raka mengernyit. Ia tidak setuju dengan perkataan Imelda barusan. “Loh, kok Raka sih yang urus?” sahutnya protes. “Lalu, siapa yang kamu harapkan untuk mengurusnya? Papa kamu? Bima? Atau Julian?” balas Imelda di seberang telepon. Raka memutar bola matanya ke atas. Pria itu bergumam dengan pelan. Sudah tentu tidak ada diantara mereka bertiga yang bisa diharapkan. Terlebih pada jam seperti sekarang ini. Sudah lewat tengah malam. Memangnya siapa yang sudi bangun dari tidur hanya untuk mengurus istri orang lain? Tidak akan ada yang mau. “Ya udah. Kalau gitu akan Raka urus. Tapi hanya administrasinya saja. Besok-besok jangan suruh Raka untuk mengurusnya di rumah sakit.” Pria itu menekankan. “Iya! Kamu tidak usah memikirkan besok, urus saja administrasinya sekarang. Sisanya, Mama yang akan urus.” Panggilan singkat itu pun berakhir. Setelah mengobrol singkat dengan ibunya, Raka bergegas menuju ke ruang administrasi. Berjalan saat larut malam di lorong rumah sakit seperti ini, nyatanya cukup menyeramkan juga. Sekujur tubuh Raka merinding tak karuan. Tak dapat dipungkiri, jika saat ini Raka merasa ketakutan. Raka memilih untuk berlari hingga ke ruang administrasi. Lebih baik seperti itu daripada ia bertemu dengan makhluk astral yang akan membuatnya merinding disko. Hahaha. **** Merlin telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Wanita itu akan tinggal di kamar VVIP ini selama beberapa hari ke depan hingga semuanya kembali normal dan sehat seperti sedia kala. Matanya mengerjap beberapa kali, rasa kantuk tiba-tiba hinggap di kedua pelupuk matanya. Kedua mata itu sebentar terbuka, sebentar tertutup. Hingga pada akhirnya Merlin benar-benar terlelap dengan nyaman. Sedangkan Raka, pria itu memilih untuk memposisikan diri di atas sofa bed. Sejenak ia berpikir, biasanya Merlin yang berada di tempat seperti ini. Meski nyaman, namun tidak senyaman tidur di atas kasur langsung. “Ah sudahlah. Ngapain gue mikirin hal itu segala.” Raka memilih untuk memejamkan kedua matanya. Ikut beristirahat seperti Merlin, sebab besok ia harus pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Tak terasa pagi mulai menyingsing. Suara alarm yang sudah Raka set sebelum ia tertidur tadi malam kini berbunyi dengan sangat nyaring. Pria itu terkesiap. Kedua matanya langsung membulat dan tubuhnya otomatis beranjak bangun untuk duduk. Raka mengedarkan pandangan ke arah hospital bed, dan mendapati Merlin sudah terjaga dari tidurnya. Wanita itu duduk bersandar sembari memegang ujung selimut yang membalut bagian bawah tubuhnya. Raka menyambar ponsel yang sempat ia letakkan di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam saku celana. “Aku akan pulang. Nanti Mbok Darmi akan ke sini menjaga kamu,” ucapnya kemudian berlalu tanpa mendengar sahutan dari Merlin. Raka sudah tersapu bersih dari pandangan Merlin. Pria itu sudah jauh dari ruang rawat inapnya. Karena masih sangat pagi, area sekitar ruangan tersebut sangat sunyi. Hanya ada suara langkah kaki yang samar-samar terdengar. Itu pun hanya terdengar sebentar saja. Selebihnya, hening seperti sedia kala. Merlin beringsut masuk ke dalam selimut. Namun selimut tersebut tidak cukup lebar sehingga hanya bisa menutup hingga bagian bahunya. Tanpa alasan yang jelas, Merlin tiba-tiba merasa takut ditinggal sendirian seperti ini. Berbagai macam bayangan terus menghantui pikirannya. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Ketukan yang begitu lemah sebab suaranya yang tidak nyaring terdengar. Perlahan, daun pintu tersebut terbuka. “Nyonya ....” Imelda melangkah masuk ke dalam ruangan. Meletakkan tas yang tersampir di bahunya ke atas meja kemudian memposisikan dirinya di atas sofa. Wanita paruh baya itu datang bersama dengan seorang wanita yang pernah bekerja untuk keluarganya. Wanita itu adalah Mbak Wina. Alasan Imelda mempekerjakan wanita itu untuk sementara waktu adalah karena tidak ingin masalah tentang Merlin diketahui oleh lebih banyak orang lagi. Mbak Wina sendiri sudah tahu tentang Merlin, maka dari itu Imelda meminta dirinya menjaga Merlin sementara ia dirawat di rumah sakit. “Wina, kenalkan diri kamu,” titah Imelda pada wanita yang masih berdiri di sampingnya itu. Mbak Wina mengangguk kemudian mulai memperkenalkan dirinya kepada Merlin. Suaranya halus dan sopan. Lengkungan senyum di bibirnya juga terbit bersamaan dirinya memperkenalkan diri. “Selamat pagi, Non Merlin. Saya adalah Wina, mulai hari ini saya akan bekerja untuk menjaga dan menemani Non Merlin di rumah sakit ini.” Mbak Wina menundukkan sedikit kepalanya. Merlin pun melakukan hal yang sama, wanita itu juga menundukkan sedikit kepalanya kemudian menjawab kalimat dari Mbak Wina. “Pagi, Mbak Wina ...,” sahutnya dengan nada yang cukup rendah. Perkenalan singkat itu terasa sangat canggung bagi keduanya. Tentu saja hal itu didasari oleh keberadaan Imelda yang berada di ruangan sama dengan mereka. Jika saat ini mereka tengah berada di ruang ujian, maka Imelda adalah pengawas killer yang sedang mengawasi peserta ujian. Masih dalam posisinya, wanita paruh baya itu berkata, “Istirahat yang benar. Selalu ingat, di dalam rahim kamu ada bagian dari kami bersemayam di sana. Jika sampai terjadi sesuatu kepadanya, kau tanggung sendiri akibatnya.” Kalimat yang begitu pedas dan tajam itu selalu dengan mudahnya keluar dari mulut Imelda. Seharusnya Imelda tahu, jika ia begitu mempedulikan sang jabang bayi itu, tidak sepatutnya ia berkata kasar dan menyakiti hati Merlin seperti yang biasa ia lakukan. Karena, jika Merlin terluka dan stres karena hal tersebut, maka akan berdampak pada janin itu juga, bukan? Imelda meraih tas miliknya kemudian menyampirkan nya ke bahu. Tanpa pamit ataupun permisi, wanita paruh baya itu melengos keluar dari ruangan tersebut. Sedari awal memang ia berniat tidak ingin berlama-lama di sini. Sepeninggal Imelda, Mbak Wina berjalan menghampiri Merlin. “Uhm ... apa mungkin Non Merlin menginginkan sesuatu? Seperti cuci muka atau gosok gigi, misalnya.” Mbak Wina berinisiatif untuk memecah kecanggungan yang disebabkan oleh Imelda. Sebenarnya, Mbak Wina sangat bersyukur saat diberhentikan bekerja untuk keluarga Farhan Abimanyu. Bagi Mbak Wina, seorang majikan yang begitu arogan seperti Imelda sungguh tidak membuatnya merasa betah. Belum lagi jika ia melakukan kesalahan, Imelda tidak akan ragu-ragu mengomel sepanjang hari. Membuat gendang telinganya seolah hendak meledak. “Boleh, Mbak.” Merlin menerima tawaran Mbak Wina. Ia menunggu dengan sabar Mbak Wina yang bergegas ke dalam kamar mandi untuk menyiapkan peralatan menggosok gigi dan mencuci muka untuknya. **** Raka mendesah kasar saat ia baru saja tiba di kantor. Pria itu memposisikan diri di balik meja kerjanya. Duduk bersandar dengan kedua mata yang tertutup dengan rapat. ‘Tok! Tok! Tok!’ Suara ketukan pada daun pintu menginterupsi Raka. Membuat pria itu semakin mendesah berat. Kedua matanya sedikit terbuka, mengintip siapa yang sudah mengetuk pintu ruangannya. Ternyata Bima—sekretaris ayahnya. “Selamat pagi, Pak Raka,” sapa Bima sembari berjalan masuk ke dalam ruangan. ‘Ada apa pria ini datang kemari pagi-pagi begini?’ pikir Raka dalam hatinya. Raka membetulkan posisi duduknya. “Ada apa?” tembaknya langsung. Bima berdeham dengan pelan. Sebenarnya ia tidak ingin datang ke ruangan ini saat pagi begini, jika saja bukan karena Gavin memintanya sambil merengek, Bima tidak akan pernah mau. “Begini, Pak. Saya datang kemari karena ....” Raka mengangkat salah satu tangannya, meminta Bima untuk menahan kalimatnya sebab sekarang terdapat satu buah panggilan masuk dari Julian. Raka beranjak, sedikit menjauh dari Bima yang saat ini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Halo, ada apa?” Raka berdiri menghadap jendela, menatap jalanan di bawah sana. Di seberang telepon, Julian yang saat ini tengah duduk di atas sofa menjawab, “Ka, lo harus hati-hati sama Dira sekarang. Dia hubungi gue terus, nyari tahu siapa wanita yang lo suka!” Pria bernama Julian itu merasa jengkel, sepanjang malam tadi ia terus diteror oleh Dira yang ingin mengetahui tentang Raka. Meski ia sudah berdalih, mengatakan tidak tahu menahu tentang wanita yang disukai oleh Raka. Namun Dira sama sekali tidak percaya. Wanita itu bahkan mendatangi apartemennya, pagi tadi, pagi-pagi sekali. Membuat Julian merasa jengkel saja. “Terus, lo bilang apa?” tanya Raka. “Ya gue bilang aja nggak tahu. Jangan sampai dia main ke rumah lo, kasihan bini lo entar,” balas Julian lagi. Kedua matanya berkantung sebab tak tidur nyenyak tadi malam. “Nice! Jangan sampai lo keceplosan sama dia.” Di posisinya, Bima berusaha menguping pembicaraan Raka yang entah bersama siapa, Bima tidak tahu. Ia tidak bisa mendengar apa pun kalimat yang diucapkan oleh orang di seberang telepon. Bima hanya menerka dari kalimat yang diucapkan oleh Raka. ‘Jangan sampai keceplosan. Apa maksudnya?’ batin Bima bertanya-tanya. Cukup lama Bima menunggu Raka yang melakukan panggilan telepon. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada daun pintu. Dapat dengan jelas Bima melihat keberadaan Lani di sana sebab sedari tadi pintu tersebut memang dibiarkan terbuka oleh Bima sendiri. Lani membuka mulutnya dengan suara yang sangat pelan. “Pak Bima, anda dicari Pak Farhan,” ucapnya. Bima pun mengangguk. Kebetulan sekali Raka tengah menatap ke arahnya. Lantas, Bima pun pamit undur diri sebab ia dipanggil oleh sang atasan. Sepanjang langkahnya, Bima menggerutu kesal. Merutuki Gavin yang meminta dirinya melakukan suatu hal tidak bermanfaat pagi-pagi sekali. “Dan sekarang apa yang gue dapatkan? Cuman kaki pegal!” umpatnya. Membayangkan jika saat ini Gavin berdiri di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN