Sejak hari ini, Merlin resmi resign dari pekerjaan sebelumnya dan hanya akan mengabdikan diri kepada keluarga Farhan Abimanyu sesuai dengan perkataan Imelda. Tidak mengapa, Merlin berusaha mengambil hikmah di balik kejadian ini. Meski ia tidak tahu apa hikmah dari semua itu, yang jelas Merlin yakin sesuatu yang indah akan menghampiri dirinya jika ia sedikit lebih bersabar.
Bangun pagi-pagi buta untuk membereskan rumah dan memasak sarapan pagi. Begitulah yang seharusnya Merlin lakukan. Tapi entah kenapa hari ini ada sesuatu yang salah terjadi dalam tubuhnya. Merlin mendadak merasa pusing, lemas dan seakan sekujur tubuhnya sedang berontak sekarang.
Merlin mendesah pasrah. Ia jelas tahu tidak boleh bermalas-malasan. Imelda pasti akan memarahi dirinya nanti. Namun, memaksakan diri pun percuma. Tubuh Merlin sama sekali tidak bisa diajak berkompromi.
"Aku akan tidur sedikit lebih lama lagi kalau begitu," ucap Merlin kemudian memejamkan kembali kedua bola matanya.
Meski Merlin telah berniat untuk tidur sebentar lagi saja, namun tanpa sadar dan tanpa sengaja ia malah tertidur lebih lama daripada waktu yang ia perkirakan. Sehingga ketika waktu seharusnya ia bangun dan membersihkan seluruh rumah serta membuat sarapan, Merlin masih berada di dalam dunia mimpinya. Dan kedua hal tersebut malah dikerjakan oleh Mbok Darmi seperti biasanya.
Hal tersebut tidak akan menjadi masalah selama Imelda tidak mengetahuinya. Mbok Darmi sendiri sangat paham jika Merlin tidak menampakkan batang hidungnya pada jam segini adalah mungkin karena ia sedang terlelap dengan nyaman. Memang sudah seharusnya seperti itu. Seorang ibu yang sedang hamil harus beristirahat dengan nyaman, bukan?
Namun sial bagi Merlin. Imelda yang biasanya tidak akan bangun pada saat pagi-pagi buta seperti ini, entah kenapa wanita paruh baya itu malah terjaga dan keluar dari kamarnya. Saat kedua netra miliknya menangkap sosok Mbok Darmi sedang membersihkan rumah dan bukannya Merlin, wanita paruh baya itu pun merasa sangat geram.
"Loh, Mbok ... kenapa Mbok yang membersihkan rumah ini? Mana Merlin?" tanya Imelda menghampiri Mbok Darmi yang saat ini sedang menyapu.
"Uhm ... anu, Nyonya. Non Merlin masih—”
"Masih tidur?" tembak Imelda, Mbok Darmi mengangguk sedikit ragu.
Tidak ada ekspresi apa pun yang terbit pada wajah Imelda. Wanita paruh baya itu hanya menatap ke arah jam kemudian kembali ke dalam kamarnya. Andai saja Merlin tidak berada di dalam kamar yang sama dengan putranya, Imelda bisa saja langsung menghampiri wanita itu kemudian membangunkannya. Hanya saja, Merlin berada di dalam kamar yang sama dengan Raka. Maka dari itu Imelda berusaha menahan diri sebab ia tidak ingin Raka ikut terganggu karena wanita itu. Lantas, Imelda pun segera memutar balik tubuhnya dan berjalan kembali ke kamar tidurnya untuk melanjutkan tidur.
Sepeninggal Imelda, Mbok Darmi mendadak cemas kepada Merlin. Memikirkan apakah wanita yang tengah berbadan dua itu akan diomeli saat ia telah terbangun dari tidurnya nanti? Jika dilihat bagaimana reaksi Imelda beberapa saat yang lalu, Mbok Darmi sangat yakin jika wanita paruh baya itu sedang marah sekarang.
"Semoga itu hanya sekedar pikiranku saja dan Non Merlin tidak akan benar-benar dimarahi nanti. Semoga Nyonya Imelda paham dengan situasi yang sedang dialami Non Merlin sekarang," ucap Mbok Darmi memanjatkan doa dengan penuh harap.
Nyatanya, wanita tua itu sangat prihatin dengan Merlin sebab di rumah ini ia jelas sekali tidak diterima. Terlebih Imelda yang memperlakukan menantunya itu seperti bukan bagian dari mereka. Mbok Darmi tahu, jika Merlin adalah wanita baik-baik. Meskipun pernikahan mereka terjadi karena sebuah kecelakaan, Mbok Darmi yakin jika kesalahan itu diawali oleh putra dari sang majikan.
Selama bertahun-tahun mengabdi kepada keluarga ini, Mbok Darmi sangat hafal dengan karakter Raka yang selalu suka berfoya-foya dan mempermainkan banyak wanita. Pria itu sering datang ke rumah ini dalam kondisi kesadaran yang hampir menghilang akibat pengaruh alkohol. Hanya saja, dalam beberapa bulan ini Mbok Darmi mendapati Raka mulai berubah. Ia sudah tidak lagi suka berfoya-foya dan sekarang ikut bergabung di perusahaan ayahnya.
Seperti informasi yang diketahui oleh Mbok Darmi dari Mbak Wina yang sebelumnya juga bekerja untuk keluarga ini hingga akhirnya dipecat. Mbak Wina sempat memberi tahu Mbok Darmi tentang Raka yang menjalani hukuman dari ayahnya bekerja sebagai sopir karena telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tujuan Farhan Abimanyu menghukum putranya seperti itu, tidak lain adalah agar Raka bisa lebih bertanggung jawab dan belajar merasakan bagaimana lelahnya bekerja untuk orang lain sehingga ia tidak semena-mena lagi dan tidak menghabiskan waktu hanya untuk berfoya-foya. Karena mengetahui hal yang seharusnya tidak diketahui itulah, pada akhirnya Mbak Wina harus dipecat dari pekerjaannya dan diberikan sejumlah uang untuk menutup mulutnya.
Selama ini Raka memang selalu menghabiskan waktu hanya untuk berfoya-foya. Pria itu bahkan tidak mau bergabung dengan ayahnya untuk menjalankan perusahaan. Hingga pada akhirnya, Raka sendiri kena batunya dengan terlibat one night stand dengan seorang wanita hingga hamil. Dan wanita itu adalah Merlin.
Sebenarnya, alasan keluarga Farhan Abimanyu bersedia menikahkan Raka dengan Merlin karena mereka sedang terdesak keadaan untuk mencari seorang penerus dengan segera. Usia Raka sebentar lagi akan menginjak angka 27 tahun namun yang ia lakukan hanya bermain saja. Maka, menikahkan Raka dengan Merlin yang mengaku sedang mengandung benih keturunan mereka juga tidak merugikan mereka sepenuhnya. Tentu saja, pernikahan tersebut terikat dalam sebuah kontrak yang menyatakan bahwa hubungan pernikahan hanya akan berlangsung hingga anak yang dikandung Merlin menginjak usia lima tahun. Setelahnya, Merlin harus angkat kaki dengan suka rela dan menghilang dari kehidupan mereka.
***
Merlin terkesiap saat jam weker Raka berbunyi dengan sangat nyaring. Hal pertama yang dilakukan oleh wanita itu adalah bergegas bangun sembari mengucek kedua matanya. Dalam hatinya bersarang ketakutan yang sangat besar kala netra miliknya menangkap angka pada jam weker sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rasanya, Merlin hendak sekali menangis. Tapi sama seperti sebelumnya, ia sama sekali tidak bisa. Entah kenapa rasa takut itu kini telah bersarang di dalam dirinya. Merlin sangat takut dimarahi oleh Imelda. Sedangkan Raka, pria itu sudah tidak ada lagi di atas tempat tidurnya. Yang artinya ia sudah pergi untuk berangkat bekerja.
Merlin menurunkan kedua kakinya dari atas sofa bed. Kemudian bergegas melangkah dengan cepat menuju dapur. Didapatinya lantai sudah terlihat mengkilap yang artinya semua pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh Mbok Darmi. Rasa takut Merlin semakin membesar saat suara Imelda yang menyerukan namanya terdengar sangat berat dan juga dingin. Lantas, langkahnya pun tertahan.
"Merlin, kemari!" seru Imelda yang saat ini duduk di atas sofa yang terletak di ruang tengah.
Merlin meneguk saliva dengan berat. Kedua tangannya menggenggam dengan kuat. Dengan berat hati, Merlin melangkahkan kakinya untuk menghampiri Imelda.
"A..ada apa, Nyonya?" tanya Merlin dengan kepala yang tertunduk ke bawah.
Imelda melipat kedua tangannya di daada. Sebuah garis senyum miring terbit di bibirnya. "Kamu masih berani bertanya ada apa?" sahut Imelda sedikit tidak percaya. "Bukankah seharusnya kamu tahu, kenapa aku sampai memanggil kamu kemari, huh?" lanjutnya.
Tentu saja Merlin tahu. Ah tidak. Merlin bahkan sangat tahu. Hanya saja ia tidak tahu harus mengatakan apa. Maka dari itu ia melemparkan sebuah pertanyaan kepada ibu mertuanya itu, yang mana sebenarnya hanya akan memperburuk keadaan.
Baru saja Imelda ingin kembali membuka suara, kedatangan sang suami membuatnya harus membungkam mulut dan menahan diri untuk tidak memarahi Merlin di depan suaminya itu. Sebelumnya, Farhan beberapa kali mengatakan kepada istrinya untuk tidak membuat Merlin merasa tertekan. Bahkan Farhan juga meminta Imelda untuk memperlakukan Merlin dengan sedikit lebih baik. Semua itu ia lakukan hanya karena Merlin sedang mengandung benih keturunan dari mereka yang begitu dinantikan oleh Farhan sendiri.
Dua kepala yang berbeda tentu saja memiliki pemikiran yang berbeda, bukan? Jika Farhan memiliki pemikiran yang sedikit lebih toleran, berbeda dengan Imelda yang sama sekali tidak ingin seperti itu. Entah kenapa, ia sama sekali tidak bisa menganggap janin yang saat ini bersemayam di dalam rahim Merlin sebagai bagian dari mereka. Meski suaminya sendiri sangat yakin dan menantikan kelahiran sang jabang bayi tersebut.
“Papa ...,” sapa Imelda sembari beranjak dari posisi duduknya. Kemudian berjalan menghampiri sang suami yang saat ini berdiri tepat di samping Merlin.
Farhan mengangguk sekilas dan memberikan senyuman tipis untuk istrinya. Detik kemudian pandangan pria tua itu beralih menatap Merlin yang saat ini sedang menunduk. Hingga seperkian detik setelahnya ia pun membuka suara.
“Merlin, pastikan untuk memeriksakan kandungan kamu ke dokter kandungan hari ini,” ucapnya.
Meski sikap Farhan nampak baik terhadap Merlin, namun percayalah hal itu Farhan lakukan bukan karena ia tulus menerima kehadiran Merlin di keluarga besarnya. Semua ia lakukan hanya karena sang jabang bayi yang bersemayam di dalam rahim Merlin. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Merlin sendiri pun tahu akan hal tersebut, maka dari itu Merlin menganggap Farhan sama saja dengan istri dan juga putranya. Karena jika tidak ada hal yang berkaitan dengan kandungan Merlin, Farhan bahkan sama sekali tidak pernah berbicara kepadanya.
Merlin mengangguk sedikit lemah, kemudian menjawab, “Baik, saya akan memeriksakan kandungan hari ini,” sahutnya dengan nada suara rendah.
“Kamu akan pergi diantar oleh Pak Taufik, sore ini pukul lima,” lanjut Farhan memberi tahu.
Tadi malam tepatnya, Farhan meminta Raka untuk memberi tahu Merlin jika ia sudah mendaftarkan wanita itu untuk menjalani pemeriksaan di dokter kandungan. Seperti yang sudah disebutkan di atas, jika Farhan melakukan semua hal itu karena sang jabang bayi. Kenapa ia sampai melakukan sendiri? Tidak, Farhan tidak melakukan sendiri saat mendaftarkan Merlin. Akan tetapi hal tersebut dilakukan oleh sekretarisnya. Lalu kenapa tidak Imelda saja yang mengurus hal seperti itu? Yah, memang apa yang bisa Farhan harapkan dari istrinya itu? Wanita paruh baya itu sama sekali tidak peduli dan tegas mengatakan jika ia tidak menganggap sang jabang bayi yang dikandung oleh Merlin adalah bagian dari mereka. Lalu, bagaimana dengan Raka? Pria itu hanya sibuk memikirkan Alea dalam kepalanya.
Imelda sedikit mencibir dengan mengerucutkan bibirnya ke depan. Ia bahkan memutar dengan malas kedua bola matanya. Sungguh Imelda sangat jengkel mendapati suaminya perhatian seperti ini kepada Merlin.
Usai mengatakan hal tersebut kepada Merlin, Farhan lantas bergegas untuk pergi ke kantor. Pria tua itu sudah sedikit terlambat dari jam yang seharusnya. Sedangkan Imelda, wanita paruh baya itu sempat menipiskan jaraknya kepada Merlin dan berbisik sesuatu. Kemudian ikut membuka langkah mengiringi sang suami yang berjalan ke depan.
Merlin menghela napas dengan sedikit berat. “Hhh ... setidaknya aku bisa lepas dari amarahnya meski hanya sebentar,” cicit Merlin sembari membuka langkah menuju dapur.
Sesampainya di dapur, Merlin disambut oleh Mbok Darmi yang sedari tadi menunggu kedatangan wanita itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Mbok Darmi langsung beranjak dari posisi duduknya kemudian menghampiri Merlin yang terlihat gontai. Kedua tangannya terulur untuk memegang kedua bahu Merlin.
“Non, ada apa?” tanyanya.
Merlin menggeleng sedikit lemah. “Nggak ada apa-apa, Mbok,” sahutnya, kedua matanya berkeliling memperhatikan seisi dapur. Sudah sangat bersih dan rapi.
“Mbok, maafin Merlin ya. Hari ini Merlin bangunnya kesiangan, soalnya tadi Merlin ngerasa nggak enak badan,” cicitnya dengan tulus sembari menatap Mbok Darmi dengan nanar.
Mbok Darmi tersenyum lebar, kedua matanya bahkan sampai berbinar dengan terang, “Tidak perlu meminta maaf pada Mbok. Memang tugas Mbok melakukan semua ini. Lagi pula, Non Merlin kan sedang hamil,” sahut wanita tua itu.
Merlin sangat bersyukur, setidaknya di rumah ini masih ada orang yang memperlakukannya dengan sangat baik seperti yang Mbok Darmi lakukan. Bahkan wanita tua itu memperlakukannya dengan tulus dan menyayanginya sepenuh hati. Hanya Mbok Darmi satu-satunya yang mengerti Merlin.
“Terima kasih, Mbok.” Merlin segera menghambur ke dalam dekapan wanita tua di hadapannya itu, “Terima kasih karena memperlakukan Merlin dengan baik,” sambungnya sedikit terisak.
Tentu saja Merlin merasa terharu dengan sikap Mbok Darmi. Selama ibunya meninggal dunia, tidak ada satu orang pun yang memperlakukan Merlin dengan baik seperti yang dilakukan oleh Mbok Darmi. Maka tidak heran Merlin sampai menangis terharu saat seseorang memperlakukan dirinya dengan tulus seperti ini.
“Loh, Non Merlin kenapa menangis? Apa Mbok berbuat salah?” Mbok Darmi nampak sedikit panik karena Merlin tiba-tiba terisak.
Merlin menggelengkan kepalanya ke kiri lalu ke kanan. Kemudian mengeratkan pelukannya pada tubuh Mbok Darmi. “Mbok sama sekali nggak berbuat salah. Merlin hanya merasa terharu atas perhatian dan sikap tulus Mbok kepada Merlin,” sahut wanita itu masih sambil terisak.
Mbok Darmi mengembangkan senyumnya kemudian mengusap dengan lembut punggung Merlin. “Sudah, Non. Jangan menangis lagi. Di sini, Mbok akan selalu ada untuk Non Merlin. Jangan ragu dan jangan sungkan kepada Mbok ya,” ucap wanita tua itu dengan begitu lembut. “Sekarang, ayo Non Merlin sarapan dulu,” lanjutnya sembari mengurai pelukan mereka.
Merlin mengangguk dengan mantap sembari menyeka kedua sudut matanya yang basah. “Baik, Mbok. Kebetulan Merlin juga kelaparan banget,” sahutnya kemudian terkekeh dengan pelan.
Merlin memposisikan diri di atas kursi makan sedangkan Mbok Darmi sibuk menyajikan makanan di atas piring kemudian memberikannya kepada Merlin. “Selamat makan, Non Merlin,” ucapnya sembari tersenyum dengan ramah.