Tin tin tin!
Raka terus membunyikan klakson mobilnya. Hampir satu jam lamanya, ia terjebak dalam kemacetan ini hingga membuatnya mulai merasa sangat bosan. Entah apa yang membuat kemacetan ini terjadi, yang jelas semua orang merasa sangat gelisah seperti Raka. Di balik kemudi mobilnya, Raka terus menggerutu sembari mengerang. Padahal malam ini ia memiliki janji dengan Imelda untuk makan malam bersama di sebuah restoran.
Sedari tadi, benda pipih milik Raka terus saja berbunyi. Panggilan telepon dari Imelda terus menerus masuk dan membuat Raka semakin mengerang karena nya. Berkali-kali Raka mengatakan kepada ibunya, jika saat ini ia sedang terjebak dalam kemacetan. Namun entah kenapa Imelda terus menelepon seakan ia tidak memahami kalimat yang Raka katakan kepadanya.
“Ma, harus berapa kali Raka bilang? Raka terjebak macet,” ucapnya sembari menghela napas. Salah satu tangannya memijat pelipisnya dengan pelan.
Di seberang telepon, Imelda yang sedari tadi berjalan mondar mandir sebab merasa gelisah itu menjawab, “Dari tadi kamu bilang macet terus. Udah hampir satu jam ini, Raka. Jangan-jangan kamu bohongin Mama?” tuding Imelda kepada putranya.
Raka semakin menghela napasnya dengan berat. Dituding berbohong seperti ini oleh Imelda nyatanya hanya menambah kekesalan Raka saja. Jika saja Raka bisa, ia juga tidak ingin terjebak dalam kemacetan ini. Memangnya siapa yang bersedia membuang waktunya selama hampir satu jam berada di sini?
“Ma ...! Raka serius sedang terjebak macet. Mama kenapa nggak percayaan banget sih?” wajah pria itu berubah jadi masam seketika. Mood nya sudah terlanjur terjun dengan bebas ke dasar lautan.
Masih berjalan mondar mandir seperti tadi, Imelda kembali menjawab, “Kali aja kan kamu bohongin Mama karena nggak mau makan malam sama Mama,” ucapnya.
“Kalau Mama nggak percaya, ayo kita video call sekarang. Biar Mama percaya karena melihat sendiri,” sahut Raka.
Tidak lama berselang setelah Raka mengusulkan untuk melakukan panggilan video, sebuah notif request dari Imelda untuk mengubah panggilan biasa menjadi panggilan video tertampil di layar Raka. Melihat sang Ibunda benar-benar melakukan hal tersebut. Raka hanya bisa pasrah sembari menghela napas pelan. Jemari telunjuknya pun bergerak untuk menerima request panggilan video tersebut.
“Sekarang Mama percaya, ‘kan?”
Begitu panggilan video berhasil tersambung, Raka langsung membuka suara dengan posisi kamera belakang yang sudah menyorot kemacetan di depan sana. Setelah menyaksikan kemacetan tersebut dengan kedua matanya sendiri, Imelda baru bisa percaya dengan kalimat putranya tadi. Wanita itu pun sedikit mengulum senyumnya dan segera meminta maaf kepada Raka karena sudah tidak mempercayai perkataannya.
“Maafkan Mama ya, Sayang. Mama hanya takut kamu berbohong karena Mama sangat ingin kita makan malam bersama di luar,” sahut Imelda.
Raka menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Ma, setelah kemacetan ini reda. Raka akan langsung tancap gas. Oke? Jadi Mama nggak perlu khawatir makan malam kita akan batal.”
Di seberang panggilan video, Imelda mengangguk dengan sedikit lemas. “Ya sudah, Mama tunggu kamu di rumah,” ujarnya.
Setelah panggilan video dengan ibunya terputus, Raka pun meletakkan kembali handphone miliknya di atas dashboard. Sedangkan kedua matanya langsung mengedar ke arah depan. Menatap antrean mobil yang juga terjebak dalam kemacetan.
“Hhh ... kapan sih kota ini akan berhenti macet? Capek gue kejebak macet mulu,” keluh Raka lagi, “Lama-lama gue pindah aja kalau begini terus. Kesal gue!” sambungnya sembari berdecak cukup nyaring.
Raka menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Pria itu sudah berniat untuk pasrah, entah sampai kapan ia akan terjebak dalam kemacetan ini. Perutnya sudah sangat kelaparan. Namun, tidak lama berselang, Raka bagaikan mendapat durian runtuh. Raka merasa sangat beruntung sebab ia tidak perlu terjebak di sini lebih lama lagi. Sebab perlahan tapi pasti, mobil yang ia kendarai mulai bergerak maju ke depan yang itu artinya kemacetan sudah mulai mereda.
Setelah berhasil melewati kemacetan, Raka segera memacu mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi menuju kediaman orangtuanya. Selain kelaparan dan merasakan gerah yang begitu luar biasa, Raka juga sangat yakin jika Imelda begitu menantikan kepulangan dirinya. Untuk itu, ia terus menambah laju kecepatan mobilnya agar cepat sampai.
****
Meski Raka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tiba di rumah secepat yang ia bisa lakukan. Nyatanya Imelda telah berangkat ke restoran terlebih dahulu sebab Raka telah melewati jam makan malam yang telah mereka janjikan. Imelda yang sudah melakukan reservasi, mau tidak mau harus datang tepat waktu ke restoran dan meninggalkan putranya itu.
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi sesuai tema, Raka pun berniat untuk menuju ke restoran di mana Imelda telah menunggunya sejak tadi. Meski Raka terbilang anak yang senang berfoya-foya dan bermain dengan banyak wanita. Tetapi ia adalah anak yang sangat menyayangi dan patuh kepada ibunya. Meski sekujur tubuhnya terasa sangat lelah sekali, Raka tetap menepati janjinya datang ke restoran untuk makan malam bersama dengan sang ibunda.
Merlin yang sedari tadi duduk di atas sofa sembari menyaksikan Raka yang nampak tergesa-gesa. Hanya diam dan membungkam rapat mulutnya tanpa memiliki niat untuk bertanya. Ke mana dan bersama siapa pria itu akan pergi. Merlin sama sekali tidak ingin mengetahui hal tersebut. Seperti yang telah tertulis dalam surat perjanjian dan juga diucapkan langsung oleh Raka. Jika dalam pernikahan mereka tidak akan ada hal-hal yang menyangkut perasaan dan tidak dibenarkan untuk mencampuri kehidupan masing-masing.
Raka pun membuka langkahnya untuk keluar dari kamar. Bersamaan dengan itu, kedua netra miliknya menangkap sosok Merlin yang tengah duduk di atas sofa. Namun Raka tidak berbicara, pria itu hanya melihat sekilas kemudian berjalan melalui istrinya itu. Kedua mata Merlin terus mengikuti punggung Raka yang perlahan menjauh. Hingga tersapu dari pandangannya dan meninggalkan aroma yang begitu semerbak memenuhi ruangan kamar ini.
“Hhh ... aroma ini.” Merlin meneguk saliva dengan berat. Ia kembali teringat di mana aroma tersebut pernah menempel di sekujur tubuhnya beberapa bulan yang lalu. Dan aroma ini yang pertama kali ia hirup saat terbangun dari tidurnya di Hotel Marina.
Seketika, bulu di sekujur tubuh Merlin pun berdiri. Hal-hal yang bersangkutan dengan kejadian saat di Hotel Marina selalu sukses membuat dirinya dalam situasi seperti sekarang. Merlin begitu merinding seakan ia tengah berhadapan dengan makhluk astral sekarang.
***
Raka baru saja tiba di restoran dan ia sama sekali tidak mengira jika mantan kekasihnya yang bernama Dira itu akan ikut makan malam bersama dirinya dan juga Imelda. Pria itu mengira jika hanya ada dirinya dan sang ibunda. Jika boleh jujur, Raka sama sekali tidak mengharapkan kehadiran Dira di sini.
Imelda dan Dira menyambut kedatangan Raka dengan riang gembira. Terlebih Dira, wanita itu sampai berdiri dan meminta Raka untuk duduk di sebelahnya. Namun Raka tidak ingin duduk di sana, pria itu lantas memposisikan diri di atas kursi makan tepat bersebelahan dengan ibunya.
Melihat Raka memposisikan diri di samping Imelda, membuat Dira merasa sedikit kecewa. Sedari tadi wanita itu terus berangan jika ia dan Raka akan duduk bersisian. Bahkan ia sudah merendahkan harga dirinya dengan menarik kan kursi untuk Raka namun ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Dalam hatinya, Dira sedikit mengerang. Namun ia tak patah semangat, pikirnya masih ada beribu kesempatan untuknya lebih dekat dengan Raka.
Berbeda dengan Dira yang merasakan kecewa, Imelda merasakan sedikit perasaan bangga menghampiri dirinya sebab Raka memilih untuk duduk di sampingnya. Meski ia sangat mendukung hubungan Raka dengan Dira, namun dalam lubuk hatinya, Imelda tidak ingin posisinya tergeser oleh siapa pun.
Raka yang merasa sangat kelaparan, ketika melihat begitu banyak hidangan lezat di atas meja lantas langsung menyambarnya. Raka menyantap makanannya dengan begitu lahap. Ia sudah tidak memperdulikan Imelda dan Dira yang melongo tak percaya menyaksikan dirinya makan dengan sangat cepat layaknya orang kelaparan. Ya ... walaupun sebenarnya dia memang sangat kelaparan.
“Kalian tidak makan?” Raka bertanya dengan posisi mulut yang penuh dengan makanan. Karena berbicara padahal di dalam mulutnya ada begitu banyak makanan, tak ayal membuat Raka menjadi tersedak.
“Uhuk ..., uhuk!” Raka memukul dadanya dengan pelan.
“Astaga, Raka! Jangan dipukul seperti itu daada kamu,” ucap Imelda sembari menyodorkan segelas air putih untuk putranya, “Ayo minum, pelan-pelan aja,” titahnya.
Raka meneguk dengan pelan air putih tersebut hingga rasa tersedaknya hilang seketika. “Makasih, Ma,” ucapnya sembari tersenyum ke arah Imelda.
Tangan kanan Imelda terus mengusap punggung putranya dengan lembut. “Makanya, kalau makan itu pelan-pelan. Jadi nggak akan tersedak kayak tadi,” ucap Imelda kepada putranya.
“Ka, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Dira. Dijawab dengan sebuah anggukan kepala oleh Pria yang dilontarkan pertanyaan itu. Tidak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut Raka. Ia merasa enggan berbicara dengan Dira.
Dira menghela napasnya dengan lega. “Syukurlah ...,” ucapnya dengan pelan. Kembali ia menyambar garpu dan sendok yang sempat ia letakkan di samping piring berisi makanan miliknya. Dan mulai menikmati hidangan.
Di seberang meja, Raka dan Imelda juga tengah menikmati hidangan mereka. Suasana makan malam berjalan dengan sangat lancar. Hingga tidak ada satu pun makanan yang tersisa di atas piring ketiga orang itu.
---
“Kita berpisah di sini ya, Sayang. Maaf, Tante mendadak ada urusan,” ucap Imelda sembari memberikan eye wink kepada Dira. Wanita paruh baya itu lantas menghamburkan diri memeluk wanita bergaun maroon di hadapannya itu untuk berpamitan.
“Nggak apa-apa, Tante. Dira paham kok,” sahut wanita itu. Menyambut pelukan Imelda kepadanya.
Imelda mengurai pelukan kemudian berjalan ke arah putra semata wayangnya dan berhenti tepat di depan pria itu. “Raka, kamu antarkan Dira pulang ya,” ujarnya sembari tersenyum.
Raka memasang wajah malas, kemudian menjawab, “Kalau cuman nganterin pulang, naik taksi online kan juga bisa,” jawabnya begitu menohok.
Imelda mencubit dengan pelan lengan Raka. “Ck, apaan sih kamu ini. Jangan jadi pria yang gak gentle gitu dong!” decaknya.
Raka meringis. Mengusap dengan lembut lengannya yang habis dicubit oleh Imelda. “Iya..iya! Akan Raka antar. Tapi, jangan kira Raka nggak tahu ya kalau semua ini sudah direncanakan oleh kalian,” tukasnya.
Memang benar yang dikatakan oleh Raka. Semua yang terjadi malam ini memang sudah direncanakan oleh Imelda. Wanita paruh baya itu sengaja mengatur makan malam untuk melancarkan niatnya menyatukan kembali Raka dengan Dira. Ia bahkan berpura-pura memiliki sesuatu yang mendesak agar Raka dan Dira memiliki waktu untuk berduaan. Imelda tidak tahu saja, jika sekarang Raka sudah tidak memiliki perasaan semacam itu lagi terhadap Dira. Ia sudah menjatuhkan hatinya kepada perempuan milik pria lain.
Sepeninggal Imelda, Raka sibuk memainkan handphone miliknya dan mengabaikan Dira yang masih berusaha menghabiskan hidangan penutup. Dira yang melihat Raka mengabaikan dirinya hanya bisa pasrah. Suapan demi suapan hidangan penutup masuk ke dalam mulut Dira. Wanita itu terus menunggu Raka berhenti menatap benda pipih miliknya itu. Tidak lama berselang, hal yang begitu dinantikan oleh Dira pun datang. Raka merasa puas memainkan benda pipih itu, lantas ia pun memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana kemudian mengedarkan pandangan ke arah Dira.
“Buruan habisin makanan lo. Gue mau pulang,” ucap Raka. Tidak ada intro nada apa pun di sana, tatapannya pun begitu dingin saat menatap Dira.
Dira menghela napas berat. Kedua bola matanya berputar dengan malas. Mendadak, suasana hatinya berubah menjadi sangat buruk. Ia pun meletakkan Dessert Spoon di atas meja. Detik kemudian, Dira segera berdiri dari posisi duduknya kemudian berjalan meninggalkan Raka yang masih duduk.
Raka memasang wajah bengong saat mendapati sikap Dira yang berubah 360 derajat dari sebelumnya. “Dasar cewek moody! Makanya gue nggak betah pacaran sama lo!” cibirnya kemudian ikut beranjak.
****
Raka memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kendaraan roda empat tersebut menuju ke arah kediaman Dira yang cukup jauh dari area restoran. Tidak ada yang berbicara. Keheningan membungkam keduanya. Terlebih Raka yang memang tidak memiliki niatan untuk berbicara dengan mantan pacarnya itu.
“Ka ... kamu kenapa sih?” ujar Dira pada akhirnya. Ia tidak tahan untuk terus membungkam mulutnya yang malah membuat Raka semakin mendiamkan dirinya.
“Kenapa?” tanya Raka heran sebab kalimat Dira yang terkesan tidak jelas juga ambigu.
“Ya kamu kenapa ... akhir-akhir ini kamu aneh banget. Nggak kayak biasanya. Kamu abaikan aku, nggak kayak biasanya,” sahut Dira menjelaskan.
Kedua kening Raka saling bertaut. Matanya menyorot dengan tajam jalanan di depan. “Memang kayak gini ‘kan sikap gue selama ini? Jadi, enggak ada yang aneh sama sekali,” balasnya.
Dira menggeleng kuat. “Enggak, aku yakin ada sesuatu yang terjadi. Kamu lagi suka sama seseorang ‘kan?” tembaknya.
Raka memilih diam. Pikirnya, percuma saja jika ia menjawab. Yang ada hanya akan memprovokasi Dira untuk mencari tahu tentang wanita yang disukainya. Tentu saja hal tersebut sangat tidak bagus. Raka tahu persis bagaimana sifat Dira. Alea hanya akan celaka jika berakhir di tangan wanita itu. Maka dari itu, diam dan menyembunyikan—Alea—wanita yang ia sukai adalah hal paling benar untuk Raka lakukan.
“Ka, kamu nggak akan jawab?” tanya Dira lagi.
“Nggak ada ...,” sahut Raka bohong.
“Kalau nggak ada, kenapa sikap kamu—”
Helaan napas berat keluar dari mulut Raka. Dengan cepat pria itu memotong kalimat Dira yang bersikukuh mengatakan sikapnya berubah. “Harus berapa kali gue bilang sih? Lo yang kayak nggak tahu aja sama gue. Harusnya lo yang paling tahu sifat gue gimana, ‘kan?” ucap Raka.
Tentu saja Dira sangat tahu bagaimana sifat Raka. Selama ini hanya Dira satu-satunya wanita yang masuk begitu jauh ke dalam kehidupannya dan memiliki waktu hubungan yang lama dengannya. Hanya saja, Dira merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi terhadap pria idamannya itu. Meskipun Raka sering bersikap dingin kepadanya, tetapi pria itu tidak pernah mengabaikan dirinya. Namun sekarang, pria itu melakukannya dan membuat Dira merasa yakin jika Raka tengah jatuh cinta kepada wanita lain.
“Meskipun kamu berbohong sekarang. Secepatnya juga aku akan tahu. Dan kamu tahu gimana sifat ku, bukan?” balas Dira menirukan kalimat Raka sebelumnya.