Merlin terkesiap saat mendengar suara Raka yang meracau tak jelas ketika masuk ke dalam ruangan kamarnya. Dan wanita itu semakin terkesiap saat mendapati sang suami yang tengah kehilangan setengah kesadarannya. Merlin meneguk saliva dengan berat. Entah kenapa, mendapati Raka dalam keadaan seperti ini membuat Merlin merasa sedikit takut. Jujur, Merlin takut kejadian beberapa bulan lalu terulang kembali.
Kedua tangan Merlin mendadak basah seketika. Tubuhnya bahkan bergetar dan entah kenapa ia jadi membeku tak bisa bergerak sedikit pun dari tempatnya. Sedangkan Raka, pria itu kini sudah berada di hadapan dirinya. Raka menatap Merlin dengan cukup intens, membuat Merlin semakin bergetar ketakutan.
‘Kenapa sih dia berdiri di sini? Ya Tuhan, tolong aku ...,” batin Merlin meronta. Berharap Raka segera pergi dari hadapannya.
Bulu kuduk di sekujur tubuh Merlin semakin meremang. Kedua tangannya menggenggam dengan erat. Dan semakin erat lagi saat Raka mendadak duduk berjongkok di hadapannya.
“Ka..kamu kenapa, Mas?” ucap Merlin memberanikan diri untuk bertanya.
Raka masih menatapnya dengan intens. Pria itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Merlin kepadanya. Sebenarnya, Raka menatap Merlin seperti ini adalah karena ia merasakan sedikit keheranan. Jika sebelumnya ia melihat wanita lain sebagai Alea, tetapi berbeda saat ia menatap Merlin karena ia tidak membayangkan Alea sedikit pun.
Semakin lama Raka menatap Merlin, semakin ia menyadari jika wanita di hadapannya itu benar-benar sangat cantik. Meski Merlin memiliki rupa yang cantik, tetapi tetap saja hanya Alea yang ia sukai. Raka pun menjauhkan tubuhnya dari Merlin. Lalu berjalan dengan sempoyongan menuju kasur kemudian menghempaskan tubuhnya di atas benda empuk dan sangat nyaman itu. Tak perlu waktu lama untuk Raka berlayar dalam mimpinya. Pria itu langsung tertidur dengan nyenyak hanya dalam hitungan detik.
Melihat Raka langsung tertidur saat wajahnya menyentuh bantal. Merlin pun dapat bernapas dengan sangat lega. Setidaknya, tidak akan ada hal apa pun yang terjadi jika Raka tertidur dengan nyenyak seperti ini. Meski Merlin berpikiran seperti itu, tidak membuat wanita itu merasa aman sepenuhnya. Tetap saja, rasa takut itu melekat dengan erat dalam dadanya. Berkali-kali Merlin beranjak bangun hanya untuk memastikan jika saat ini Raka benar-benar tertidur dengan sangat nyenyak.
“Dia beneran tidur kan sekarang?” monolog Merlin sembari menatap wajah Raka yang tertidur pulas.
Merlin melambaikan tangannya tepat di depan wajah Raka. Ia lakukan hal tersebut berulang kali dan Raka sama sekali tidak terjaga. Tak berhenti sampai di situ, Merlin bahkan memberanikan diri untuk mencubit pipi Raka hanya untuk memastikan pria itu tertidur dengan sangat nyenyak.
“Hhh ... syukurlah dia benar-benar tertidur.” Merlin menghela napas lega. Ia kembali duduk di atas sofa bed sembari mengusap dadanya dengan pelan.
“Kalau dia tidur nyenyak begini, aku bisa tidur dengan tenang,” gumam Merlin sembari bersiap untuk merebahkan tubuhnya. Namun aksi Merlin harus tertahan sebab Raka kembali meracau dalam tidurnya.
Merlin memasang indra pendengarannya dengan tajam. Mencoba untuk mendengarkan dengan seksama gurauan Raka yang benar-benar tidak jelas terdengar. Raka semakin meracau namun tidak sedikit pun Merlin mengerti dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu.
“Dia ngomong apaan sih?” Merlin mengerutkan keningnya heran. Tangan kanannya menggaruk salah satu pelipisnya dengan pelan.
Di saat Raka tengah meracau dan Merlin berusaha untuk menangkap kalimat suaminya itu. Raka tiba-tiba beranjak bangun dari posisi tidurnya dan duduk di atas kasurnya. Kedua mata Merlin sontak membulat kala menyaksikan Raka yang mulai melucuti satu per satu pakaian yang membalut tubuh kekarnya.
Merlin pun beranjak dari sofa bed kemudian berlari keluar dari kamar itu segera. Kedua langkahnya terus terbuka dengan lebar. Merlin berlari ketakutan sebab ia mengira Raka akan melakukan suatu hal yang tak senonoh kepadanya. Padahal, usai melucuti semua pakaiannya, Raka kembali merebahkan tubuhnya untuk melanjutkan tidurnya dengan nyaman.
Karena terlanjur keluar dari kamar padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Mau tak mau Merlin pun duduk di atas sofa yang terletak di ruang tengah. Keadaan di ruangan itu begitu gelap gulita. Tidak ada cahaya penerangan sedikit pun di sana. Dalam kegelapan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang memekik begitu nyaring.
“Hantuuuu!” seru suara itu.
Merlin kembali beranjak dan ikut panik bersamaan dengan sang pemilik suara. Keduanya sama-sama berjalan menuju ruang utama yang begitu terang benderang. Saat mereka sudah berada di ruang utama, masing-masing dari mereka terkejut saat saling berhadapan.
“Merlin! Ternyata kamu!” seru Imelda sembari berkacak pinggang. Matanya melotot, hampir keluar dari tempatnya.
“Nyonya ...,” lirih Merlin kemudian menundukkan kepalanya ke bawah.
“Ngapain kamu duduk di ruang tengah gelap-gelapan kayak tadi, huh? Kamu hampir bikin aku jantungan tahu nggak!” pekik Imelda mulai merasa kesal.
“Ma..af Nyonya, saya tidak bermaksud menakut-nakuti. Saya sendiri juga terkejut saat Nyonya bilang hantu,” jawab Merlin sedikit menundukkan kepalanya.
Imelda menghela napas kasar. Wajahnya masam bak mangga muda yang baru saja dipetik. “Jadi, kenapa tadi kamu duduk di tengah gelap seperti tadi?” tanya Imelda lagi.
Merlin pun menjelaskan kepada Imelda situasi kenapa dirinya sampai duduk di ruang tengah pada waktu dini hari seperti ini. Itu karena Merlin merasa takut sebab Raka baru saja datang dalam keadaan mabuk dan Merlin takut Raka akan melakukan hal tak senonoh kepadanya. Akibat kejadian one night stand dirinya dengan Raka beberapa bulan lalu, membuat Merlin sangat ketakutan seperti pikirannya sekarang.
Imelda tertawa miring saat mendengar penjelasan dari Merlin. “Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu, huh? Bagaimanapun, Raka tidak akan mau menyentuh kamu!” tukasnya. Ada nada tak senang terselip dalam kalimat Imelda barusan. Ia merasa tidak senang Merlin berpikiran seperti itu kepada Raka—putra semata wayangnya.
Kedua tangan Merlin menggenggam dengan kuat. Kedua matanya terasa panas dan detak jantungnya berdegup sangat kencang sekarang. “Bagaimanapun, kejadian yang pernah terjadi dulu adalah karena Mas Raka. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin ....”
‘Plak!’
Kalimat Merlin tertahan sebab sebuah tamparan mendarat dengan sangat keras di pipi kanannya. Di hadapannya, Imelda memasang wajah marah sebab kalimat Merlin barusan. Napasnya berat dan memburu. Imelda benar-benar berada dalam rasa marahnya sekarang.
“Berani kamu mengatakan hal seperti tadi di hadapanku? Dan berani kamu menuduh putraku seperti tadi di hadapanku! Jika saja kamu tidak menjadi w************n dan jika saja kamu tidak memasuki lift yang sama dengannya, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi!” pekik Imelda sekeras yang ia bisa.
Merlin memegangi pipinya yang terasa sakit karena tamparan dari Imelda. Wanita itu tidak lagi menundukkan kepalanya. Dengan berderai air mata, Merlin mengangkat kepalanya untuk menatap Imelda. Bibirnya bergetar sebab menahan tangis. Merlin benar-benar merasa sangat muak sekarang.
“APA? BERANI KAMU MENATAPKU SEPERTI ITU, HUH?”
Imelda kembali melayangkan tangannya dan mendaratkan sebuah tamparan di pipi kiri Merlin. Merlin masih diam, tak membalas perbuatan Imelda ataupun menjawab kalimat dari Ibu mertuanya itu. Merlin hanya terus menatap ke arah Imelda yang malah semakin marah karena tatapannya itu.
Di saat Imelda ingin melayangkan kembali tangannya untuk menampar Merlin. Suara Pak Farhan—suaminya—menahan aksinya itu. Farhan yang mendengar adanya keributan di ruang utama lantas terbangun dan bergegas menghampiri untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.
“Apa yang kalian lakukan pada jam segini!” tegur Pak Farhan kepada istri dan juga menantunya.
Pria tua itu menatap Merlin dan Imelda secara bergantian. “Ma, ada apa ini? Kenapa Papa dengar ada suara ribut di ruangan ini!” tanyanya lagi.
Imelda membuang muka sembari tangannya bersedekap di daada. Sedangkan Merlin, tangan kanannya sudah tidak lagi menutupi pipinya. Namun Pak Farhan dapat melihat dengan jelas jika kedua pipi menantunya itu berwarna kemerahan dan ia berasumsi jika Imelda menamparnya.
“Merlin, coba jelaskan. Apa yang kalian lakukan di sini pada dini hari seperti ini?” ulang Pak Farhan dengan pertanyaan yang sama.
Merlin mengunci rapat mulutnya, tidak berani untuk menjawab pertanyaan Pak Farhan yang telah dilontarkan untuknya. Sedangkan Imelda, wanita paruh baya itu juga ikut mengunci rapat mulutnya seperti Merlin. Hingga Pak Farhan kembali membuka suara, meminta kedua wanita itu untuk menjelaskan apa yang terjadi.
“Jadi, tidak ada diantara kalian yang akan menjelaskan? Huh?” suara Pak Farhan sedikit meninggi. Ia mulai kehabisan kesabaran sebab tidak ada yang mau memberikan penjelasan kepadanya.
Beberapa saat yang lalu, Pak Farhan yang tengah tertidur dengan nyaman di atas kasurnya yang empuk harus terbangun sebab suara gaduh dan pekikan yang berasal dari ruang utama. Pria tua itu terperanjat dan bergegas datang kemari untuk memeriksa. Ternyata ia malah mendapati Imelda yang tengah berseteru dengan menantunya sendiri. Meski sekarang keadaan sudah mereda namun pria tua itu sudah terlanjur terjaga. Matanya tidak lagi mengantuk.
“Merlin, kembali ke kamar kamu sekarang!” titah Pak Farhan pada menantunya.
Dengan bibir yang masih bergetar, Merlin menganggukkan kepalanya kemudian pamit untuk menuju kamar. Kedua kakinya melangkah sedikit gontai. Dan kedua tangannya kembali memegangi kedua pipinya yang masih terasa sakit akibat tamparan dari Imelda.
----
Merlin memposisikan dirinya di atas sofa yang terletak di dalam ruangan kamar Raka. Wanita itu memilih untuk duduk di sana alih-alih di atas sofa bed tempat ia tidur biasanya. Perlahan, rasa sakit di kedua pipinya mulai pudar. Segera Merlin menyingkirkan kedua tangannya dari pipi kiri dan kanannya.
Merlin tersenyum hambar. Ia terus memikirkan kenapa dirinya selalu ditampar? Padahal jika dilihat kembali, ia sama sekali tidak melakukan sebuah kesalahan yang fatal hingga harus menerima perlakuan seperti itu. Air mata kembali memancar di kedua pelupuk mata Merlin. Dan perlahan, bulir bening kesedihan itu mengalir dari kedua ekor matanya. Merlin menangis tanpa bersuara sedikit pun, wanita itu menangis dalam kebisuan sembari memegangi dadanya yang terasa sangat nyeri.
“Kenapa?”
Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Merlin untuk mempertanyakan nasibnya yang sungguh malang. Sebenarnya, keinginan Merlin sangat sederhana sekali. Tak seperti kebanyakan wanita lain yang ingin terlahir dari keluarga kaya atau bermimpi menjadi putri raja. Merlin hanya ingin hidup bahagia dalam sebuah keluarga yang penuh kasih sayang. Itu saja.
Merlin mendongakkan kepalanya ke atas untuk menatap langit-langit kamar yang berwarna broken white. Kedua tangannya terulur untuk mengusap kedua ekor matanya yang terus basah akan air mata. Ia juga memaksa kedua sudut bibirnya untuk tersungging ke atas.
“Ibu ...,” Merlin menarik napasnya dengan dalam, kemudian meneguk saliva dengan sedikit berat, “Merlin akan kuat demi anak ini,” lanjutnya sembari mengusap perutnya yang mulai membuncit itu dengan sedikit lembut.
Semenjak ia mendapati dirinya tengah berbadan dua dan memutuskan untuk terlibat dengan keluarga Farhan Abimanyu. Merlin telah bertekad akan menjadi kuat bagaimanapun keadaan mencoba untuk menekan dirinya. Merlin bertekad bahwa ia tidak akan tumbang dan kalah oleh kerasnya kehidupan. Demi sang jabang bayi yang bersemayam di dalam rahimnya, Merlin akan berusaha untuk menjadi wanita yang tegar.
Kian hari, janin di dalam rahimnya terus bertumbuh. Merlin sangat yakin jika sang janin tersebut dapat merasakan apa yang ia rasakan. Jika ia bahagia sang janin juga akan merasa bahagia. Jika ia bersedih ataupun patah semangat, sang janin juga akan merasakan demikian. Untuk itu, Merlin tidak ingin anaknya merasakan sedih, terluka, ataupun patah semangat.