Malam Menegangkan

1101 Kata
"Kamu yakin aku jadi yang pertama, Val?" "Aku yakin, Rein." Dalam kebimbangan, Reiner telah mendapat izin menjadi yang pertama meng-unboxing Valda sang kekasih yang masih terjaga kesuciannya. Napas keduanya memburu hebat saat ini disertai jiwa dikuasai hasrat menginginkan satu sama lain. Beberapa minggu sebelumnya. "JANGAN LOMPAT! Saya mohon!" pinta seorang gadis bernama Revalda Claire kepada sosok yang kini tengah berdiri di tepi luar pagar pembatas rooftop di sebuah Rumah Sakit. Hanya kedua tangannya saja yang masih memegang pagar itu sehingga jika ia lengah sudah pasti akan terjatuh. "Jangan maju dan tetep di tempat lo!" larang sosok wanita ketika Valda perlahan maju mendekatinya. Situasi pun semakin menegang diiringi udara dingin malam yang menusuk ulu hati. "Gue benci sama hidup ini. Gue mau mati aja!" pekik frustrasi wanita cantik berambut panjang lurus sepinggang. Manik bulatnya tak henti berkaca-kaca, penuh kepedihan. Mati, hah? Kenapa si enteng banget nyebut mati? Mereka pikir mati itu jalan terbaik mengakhiri masalah hidup? Cukup! Gak akan aku biarin orang mati semudah itu apalagi di depan mata kepala aku sendiri, Valda membatin miris untuk sesaat. "Kamu gak mengerti. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya termasuk masalah kamu," sergah Valda mencoba memberi saran menenangkan hati. Sosok wanita itupun berbalik arah menghadap Valda. "Lo yang gak ngerti. Masa depan gue udah hancur. Gue gak mau dijodohin tapi gue harus nerima. Gue cintanya sama orang lain tapi mereka malah maksa jodohin," balas sang wanita memuntahkan persoalan pelik yang tengah menimpanya. "Saya ngerti perasaan kamu." "Bohong! Lo gak akan ngerti karena lo gak pernah ada di posisi gue," tuturnya lirih sembari menatap kesal ke arah Valda. "Percaya, please! Saya pernah ada di posisi kamu. Apa kamu mau saya bersumpah?" tantang Valda mencoba bernegosiasi dengan sang wanita. Sosok itu pun mengerenyitkan dahinya seolah mulai tertarik untuk mempercayai kata-kata Valda. "Kalau gitu, gue mau lo bersumpah atas nama ibu lo, bisa?" balas si wanita. "Ok. Saya bersumpah demi ibu saya kalau pernah ada di posisi kamu." Valda pun mengucap sumpah saat itu juga. Sesaat setelahnya, raut wanita asing itu mulai terlihat goyah. "Saat pertama kali dengar bakalan di jodohin ... saya juga hancur seperti kamu," lanjut Valda mulai bercerita, mencoba berempati dengan maksud meredam emosi wanita di hadapannya. "Be-neran?" "Iya." Valda mengangguk mantap. Dirinya mulai mencoba masuk untuk memahami perasaan sang wanita sembari mulai perlahan maju mendekatinya. "Yuk, sini! Kita saling cerita. Saya janji bakalan jadi pendengar yang baik," bujuk Valda sembari mengulurkan tangan kanannya ke hadapan sosok wanita yang masih bergeming di batas luar pagar. "Gue–" Belum selesai si wanita berucap, tiba-tiba saja tembok tipis penopang pijakan kaki ambruk dan spontan menyebabkan tubuhnya itu ikut ambruk jatuh ke bawah mengikuti hukum gravitasi. "AAAA ...." Beruntung, Valda bergerak cepat dan sempat menggapai tangan si wanita. Kini posisi tubuhnya bergelantung sembari mengandalkan pegangan tangan Valda. "Argh .... rahan!" pinta Valda sekuat tenaga berusaha menaikkan tubuh berukuran seperti dirinya dengan kedua tangan. "Pergi! Lepasin aku!" Bukannya bekerja sama, si wanita malah mengusir Valda dan tetap pada pendirian ingin mengakhiri hidup. "Gak mau. Saya gak akan biarin seseorang mati konyol karena perjodohan." Valda pun tak kalah bersikukuh pada pendiriannya untuk menyelamatkan sang wanita. Ia bahkan harus rela menahan kesakitan akibat tangan yang mempertahankan bobot tubuh. "SIAPAPUN, TOLONG!" teriak Valda putus asa. Sial! Kalau gak ada yang datang nolong, aku gak akan sanggup lagi nahan beban tubuh mbak ini lagi, Valda membatin sembari berusaha mati-matian mempertahankan pertautan tangan dengan sosok wanita itu. "Lepasin!" Sialnya, tangan si wanita mulai meronta meminta untuk dilepaskan. Situasi saat in benar-benar membuat Valda kewalahan sampai akhirnya ... tangan wanita itu benar-benar terlepas sempurna dari pertautan dengan Valda. "NOOO!" GREB! Namun, dalam sepersekian detik sebuah uluran kuat dari sosok pria berhasil menggapai wanita keras kepala yang hendak terjun bebas. Dengan kekuatan penuh pria itu segera menarik tubuh si wanita ke atas. Alhasil keduanya pun terkapar di lantai rooftop. "Fyuhh! Syukurlah." Dengan napas yang tersengggal, Valda berdecak lega. "Salma! Bangun, Sal!" desak si pria khawatir sembari menepuk-nepuk pipi wanita yang tengah terbaring di sebelahnya. Ya, setelah diselamatkan, wanita yang hendak mengakhiri hidupnya itu kini terbaring tak sadarkan diri. "Biar saya periksa!" Valda sigap berlari dan segera memeriksa memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan serta leher. "Syukurlah. Dia cuma pingsan lemas yang kemungkinan karena syok," jelas Valda tanpa melihat kepada sosok pria di hadapannya. Hening. Tak ada jawaban dari pria asing itu. Ia malah menatap lekat kepada sosok Valda yang mengenakan hijab berwarna senada dengan sweaternya yakni dusty pink. Entah apa yang ada dipikirannya. "Apa kamu kenal mbak ini?" tanya Valda yang kali ini menilik si pria. Pria itu tetap terdiam dengan masih menatap lekat mata Valda. Sejenak, pandangan keduanya tekunci satu sama lain. Pandangan yang seakan terselip makna lain di sana. "Halo?" "Hmm?" Sang pria terkesiap saat Valda mengejutkannya. "Saya nanya kamu. Apakah kau kenal Mbak ini?" Valda mengulang pertanyaan. "Uhm ... ya. Saya kenal dia. Dia calon tunangan saya." "Apa?" Netra Valda sontak terbelalak tak percaya. "Jadi ... kamu cowo yang dijodohin sama Mbak ini?" tanyanya sekali lagi. "Yup." Gila! Kenapa mbak ini malah nolak dijodohin sama cowo seganteng dia? Aneh banget, gak masuk di akal! Beberapa saat kemudian. Sesosok pria berkulit putih dengan tinggi semampai tengah mondar-mandir di depan sebuah ruang observasi pasien. Gusar hebat tercetak jelas di wajah tampannya, menunggu sebuah kepastian. Tak lama, pintu ruangan terdekatnya itu terbuka. Langkah dari kedua kaki jenjang miliknya pun terhenti dan segera menuju sosok si pembuka pintu. "Gimana keadaan Salma? Apa dia baik-baik aja?" tanya pria tanpa nama tersebut. "Ah ... Mbak Salma baik-baik aja, kok. Tadi saya udah laporan kronologis dan keadaannya sama Dokter Roby di dalam. Untuk lebih jelasnya, Dokter Roby sebentar lagi bakal jelasin. Kamu tunggu aja," jelas Valda dengan lugas. "Tunggu! Kamu mau pergi?" Alih-alih menanyakan lebih lanjut kondisi sang tunangan, pikiran pria itu teralih dan malah bertanya kepada gelagat Valda yang hendak pergi. "Uhm, iya. Shift saya udah selesai," jawab Valda sedikit kebingungan. "Ahh ... kalau gitu boleh gak—" DRRRT! Getar ponsel sosok pria itu mendadak menginterupsi momennya dengan Valda. Dengan segara ia melihat nama yang tertera di layar. "Papa?" "Uhm .... bisa gak kalau kamu tunggu sebentar. Saya mau angkat panggilan ini abis itu kita ngobrol sebentar," pinta sang pria. What? Ngobrol? "Uhm ... yaudah saya tunggu kamu sebentar." Pria yang belum diketahui namanya itu pun mengulas senyum manis ke arah Valda sebelum berlalu pergi. Astaga! Serius cowo itu senyum ke aku? Manis banget lagi senyumnya sampe ngalahin pabrik gula. Untuk sesaat, Valda terpesona sembari terkagum-kagum dalam hati. Namun, tak sampai beberapa detik ia menggelengkan kepala cepat-cepat karena sadar bahwa si pria adalah tunangan wanita bernama Salma yang sedang dirawat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN