Rasanya akhir-akhir ini Kinanti tidak bermimpi yang aneh dalam tidurnya. Berharap pun tidak, karena Kinanti sadar takdirnya tidak seindah mimpinya. Sejak ia menentukan langkah hidupnya, ia tidak lagi memiliki mimpi karena ia tahu seperti apa rasanya sakit jika kenyataan yang terpampang didepan mata tidaklah seindah angannya.
Jadi wajar jika Kinanti cukup tersentak, jika di sore yang hampir tenggelam dalam malam, ia mendapati kunjungan dari orang yang sempat setahun ini ia pikir tak akan lagi ia jumpai, apalagi sampai mau meluangkan waktu sekedar menemuinya. Karena Kinanti sadar, ia tidak seberharga itu.
Kinanti melangkah perlahan ke teras rumahnya.
Beruntung tadi ia pulang tidak berbarengan bersama temannya, Tika. Jika mereka bersama memasuki rumah ini, bisa dipastikan Tika akan bertemu sosok ini.
Berulang kali Kinanti memastikan tak salahkan pernglihatannya ? Yang sedang menantinya itu? Setelah setahun lebih, baru kini ia melihat sosoknya.
Kinanti yakin keberadaannya kost di tempat ini sudah diketahui sebelumnya, namun mengapa baru sekarang ia didatangi?
Dalam penelitiannya sekilas, semua nyaris tak berubah, kecuali raut wajahnya yang semakin menua.
Bahagiakah ia dengan keluarga barunya?
“Anti.” Suara halus menyapanya.
Seorang lelaki setengah tua yang semula menantinya duduk di kursi teras, tampak berdiri karena melihat kedatangannya. Ayahnya.
Kinanti mencium telapak tangan lelaki itu. Terasa dingin dan terlihat kerutan dikulit yang ia cium itu.
“Ayah mau masuk, atau ….”
Kinanti harus tetap hormat bukan? Karena itu yang ia yakini dalam ajaran agama yang ia anut. Sekalipun surga ada ditelapak kaki sang Bunda, namun posisi seorang Ayah juga harus ia hormati, sekalipun terjadi masalah pelik diantara mereka.
“Tidak usah, disini saja.”
Kinanti duduk dikursi teras.
“Ayah apa khabar?” tanyanya menatap raut wajah yang mulai tampak keriput.
“Baik, kamu sendiri bagaimana?” senyum terlihat di sudut bibir Pak Heryawan, ayah Kinanti.
Kinanti tersenyum.
“Seperti yang Ayah lihat.”
Aku baik-baik saja, aku berusaha walau harus berjuang untuk meyakinkan hati aku, bahwa semua akan berakhir baik untuk hidupku ke depannya.
Lalu jeda sejenak. Terdengar helaan napas dari samping Kinanti.
“Apa yang membawa Ayah datang kemari?”
Karena tidak mungkin jika hanya rindu. Kinanti sudah menyiapkan hal terburuk apapun yang akan ia dengar.
“Minggu besok, kamu bisa datang ke rumah?”
Kinanti yang semula tertunduk, mengangkat wajahnya, menatap Ayahnya. Akhirnya.
“Apakah harus?”
Yang Kinanti ingin, ia sudah tidak mau tahu lagi apapun perihal hidup mereka, terkecuali kesehatan Ayahnya.
“Ayah mohon Anti.”
Tatapan mata mereka bertemu. Kinanti bisa melihat itu. Sekali lagi permohonan dari seorang lelaki yang puluhan tahun menemani hidupnya bersama sang Bunda, dulu.
Permohonan yang pastinya akan kembali membuat hatinya hancur berkeping-keping.
“Anti usahakan Ayah.”
Sebuah janji yang ia sendiri tak yakin akan bisa menunaikannya, namun harus tetap ia tepati bukan? Sekalipun harus bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.
Kemudian sosok itu bangkit.
“Ayah mohon kamu bisa datang sebagai satu-satunya putri Ayah, dan tolong jangan membuat keributan saat acara berlangsung nanti, kamu maukan membantu Ayah?”
Kinanti mengangguk pelan.
Memang kapan aku pernah membuat keributan ayah? Bukankah ayah sudah mengenalku sejak kecil? Aku putrimu bukan? Seharusnya ayah tahu seperti apa aku. Batin Kinanti
“Terima kasih, kalau begitu Ayah pulang sekarang.”
Dan Kinanti hanya bisa memandang kepergian Ayahnya.
Bunda, aku baru saja bertemu dengan CINTA SEJATI Bunda.
Lamunan Kinanti membawanya ke masa satu tahun yang silam.
*****
Kinanti menabur bunga ke sebuah makam bertuliskan nama FITRIA. Ibunya
Bunda, hari ini CINTA SEJATI Bunda akan menikah lagi. Maaf jika Anti tidak bisa ikut menghadiri, bahkan walau hanya mengucapkan kata selamat, maaf Bunda, Anti tidak bisa.
Setelah berdoa cukup lama Kinanti melangkah keluar makam. Sebesar apapun keinginannya menolak kembali ke rumah itu, ia tetap harus kembali bukan.
Harusnya hari ini tunangannya menemani, namun dari semalam Kinanti memberitahu masih belum ada jawaban. Mungkin ia sedang sibuk di sana.
Paling tidak, ia tak akan lama tinggal di rumah itu, karena sebentar lagi ia juga akan segera menikah. Mudah-mudahan Kinanti sanggup bersabar, hingga ia menikah dan dibawa keluar dari rumah kenangan itu oleh calon suaminya.
Benar dugaan Kinanti, saat ia kembali dari makam Bunda, rumahnya sudah ramai oleh tamu. Padahal Ayahnya melangsungkan ijab Kabul di kediaman istrinya, namun mengapa rumahnya ikutan juga ramai? Tak cukupkah acara yang diselenggarakan disana saja?
Kinanti memasuki ruangan itu. Ruangan yang kini dipenuhi keluarga dari pihak Ayahnya, dan juga keluarga dari pihak istri baru Ayahnya. Heryawan memutuskan menikah kembali setelah sang istri tercinta Fitria meninggal setahun yang lalu.
Jangan tanyakan dimana pihak keluarga Bunda, karena Bunda tidak memiliki satupun saudara kandung, bahkan sepupunya pun tinggal jauh diluar kota. Dan Kinanti sudah tidak lagi menjalin komunikasi dengan mereka, karena factor kesibukan masing-masing.
Apa yang bisa Kinanti lakukan selain mengikuti keinginan Ayahnya, karena jujur dari lubuk hatinya, ia tidak ingin sosok Bunda di rumah ini digantikan oleh siapapun.
Ia sendiri bingung harus bersikap bagaimana, karena nyatanya matanya justru menatap nyalang memindai segala penjuru, yang seakan terasa sunyi senyap. Ruangan yang semula tampak ramai, mendadak sepi karena kehadirannya.
Semua yang hadir seolah menahan napas, seakan ingin melihat apa yang akan diperbuat gadis ini.
“Anti, kamu kemana saja?” Tante Irma, adik Ayahnya menghampiri. Sementara ia melihat Ayahnya hanya terdiam duduk berdampingan dengan istri barunya, dan entah siapa lagi yang hadir disini saat ini, ia juga tidak begitu perduli. Kinanti memang tidak memberikan jawaban apapun saat Ayahnya mengatakan akan menikah lagi.
Memangnya ia siapa, ia hanya seorang gadis yang tidak memiliki kuasa apapun terhadap hidup ayahnya, apalagi peran sang Tante lebih dominan dimata ayahnya. Jadi Kinanti hanya memutuskan tidak akan menghadiri ijab Kabul Ayahnya, ia justru lebih memilih berziarah ke makam Bunda, tepat dihari Ayahnya mengucap ijab Kabul ke dua.
“Mari Tante kenalkan pada ….”
“Tidak perlu!” tegas Kinanti menatap pada wajah Tantenya beberapa detik.
Bahkan ia tak membiarkan sang tante menyelesaikan kalimatnya.
Lalu setelah sekali lagi ia melempar tatapan pada semua yang hadir, tak lupa pada Ayah dan istri barunya, Kinanti melangkah ke kamarnya, kearah atas.
Baru saja Kinanti melangkah ke tangga pertama, tatapannya mengarah pada cermin besar, yang berhadapan dengan pandangannya. Kinanti tetap melanjutkan langkahnya perlahan. Namun pandangannya tetap menatap ke arah cermin. Hingga ia menghentikan langkahnya tepat saat di cermin ia melihat Ayahnya sedang menurunkan pigura sang Bunda.