Sosok seorang bunda dimata gadis bernama Kinanti tentu diibaratkan bidadari tanpa sayap. Karena posisi bunda yang selalu menemani dalam keseharian Kinanti, sejak ia kecil hingga maut memisahkan mereka. Ia mengerti kenapa surga ada ditelapak kaki ibu, karena kasih ibu tulus tiada duanya. Bahkan ia sangat kehilangan ketika bunda pergi, disaat ia sama sekali belum bisa membalas semua kebaikan bunda selama ini.
Jadi tidak salah jka apa yang Kinanti saksikan saat ini, teramat menyakitkan.
Tangannya mengepal, emosi mulai merayap ke dalam dadanya. Hal yang paling tidak ia inginkan di dunia ini. Penghinaan terhadap wanita berhati mulia didalam hidupnya!
Segera ia mengurungkan niatnya yang hendak menaiki tangga, dan memilih membalikkan badannya, guna memberikan peringatan untuk ayahnya.
“Apa yang Ayah lakukan terhadap foto Bunda?”
Bahkan napasnya sudah menderu.
Heryawan yang mendengar peringatan putrinya menghentikan gerakannya. Ia memang baru saja melepaskan pigura Almarhumah istrinya yang semula terpajang di dinding.
Dinding ruang tamu yang semula terlihat indah dengan berbagai macam pigura, kini tampak menyisakan ruang untuk satu pigura. Pigura Fitria! Mendiang istrinya, yang sudah puluhan tahun menemani dalam suka dan duka. Setia mengikuti kemana langkahnya pergi, dan telah menunjukkan baktinya sebagai seorang istri. Hingga penyakit mematikan merenggut nyawanya setahun yang lalu.
Heryawan berbalik menatap wajah Kinanti.
“Foto ini sudah habis masanya. Ia tidak bisa lagi ditaruh disini,” ucap Heryawan pelan, namun berhasil membuat aura kemarahan Kinanti timbul. Dadanya bahkan sudah kembang kempis, sementara netranya sudah mulai berkaca.
“Kembalikan foto itu ke tempat semula, Ayah.” Kinanti meminta masih dengan suara yang ia perhalus. Walaupun gemuruh dalam dadanya makin meningkat.
“Ayah akan taruh di gudang.”
Apa? Foto Bunda akan ditaruh digudang? Setelah puluhan tahun Bunda mengabdi pada Ayahnya? Bahkan sekedar pigurapun sudah tidak layak lagi untuk dipasang di dinding rumah ini?
Mata Kinanti langsung menajam. Jika di ibaratkan mata itu mengeluarkan sinar laser yang mematikan, mungkin sudah Kinanti layangkan pada semua yang hadir di tempat ini, hingga mereka menjadi potongan tubuh yang tercerai berai.
“Kembalikan Ayah! Jangan pernah Ayah sentuh foto Bunda!”
Hilang sudah rasa hormat Kinanti saat itu juga pada Ayahnya. Inikah laki-laki yang sering mengagungkan cinta dihadapan sang Bunda. Hanya karena Bunda sudah tiada, tidakkah ia bisa menghormati istrinya sendiri walaupun jasadnya sudah tenggelam dalam ratanya daratan. Bahkan Kinanti yakin raga sang Bunda belum mengurai sempurna dalam pelukan Bumi. Demi Tuhan, baru setahun Bunda Fitria tiada.
Heryawan mengangkat wajahnya. Suasana disekitar perlahan makin mencekam.
Laki-laki setengah tua itu menghampiri anak gadisnya. Baru kali ini mendengar Kinanti berani bersuara setegas itu terhadapnya, bahkan dihadapan para tamu. Berani sekali mempermalukan dirinya sebagai kepala keluarga di rumah ini.
“Kembalikan foto Bunda, Ayah. Ku mohon,” pinta Kinanti, kali ini bersamaan dengan luruhnya air mata gadis itu. Tidak ada yang boleh menghina Bundanya, sekalipun itu Ayahnya sendiri.
“Ayah harus menghormati istri Ayah, Anti.” Heryawan masih berbicara pelan, mengingat masih banyak tamu yang hadir dirumahnya. Ia masih berusaha supaya anak gadisnya tidak bersikap kurang ajar.
“Tapi Ayah sudah janji bahwa tidak akan ada yang berubah dirumah ini walaupun Ayah membawa keluarga baru Ayah,” isak Kinanti sambil menyeka secara kilat air matanya.
Tatapan matanya masih menghiba pada Ayahnya.
“Bundamu sudah tidak ada Kinanti, kita harus bisa mengikhlaskannya.”
“Tapi tidak dengan menghapus semua kenangan Bunda di rumah ini Ayah. Ayah lupa bahwa ini juga rumah Bunda? Ayah lupa bagaimana bahagianya Bunda dulu saat kita memasang foto keluarga kita di dinding itu? Ayah lupa bagaimana inginnya Bunda menatap rumah ini penuh dengan kenangan kita bertiga?”
Tak salah bukan jika seorang anak mengingatkan ayahnya, karena apapun posisi manusia, bagaimanapun tingginya statusnya di muka bumi, manusia tetap tak luput dari khilaf, salah dan dosa.
Namun yang Kinanti lakukan justru memancing amarah sang Ayah.
“Jaga bicara kamu Anti. Kamu harus menghormati tamu Ayah!” Amarah Heryawan mulai naik.
“Anti tidak akan menghormati orang yang tidak menghormati Bunda!”
Kinanti tetap pada pendiriannya.
Kini tamu mulai berbisik-bisik, menyaksikan Heryawan berdiri berhadapan dengan anak gadisnya. Seorang Ayah yang berhadapan dengan satu-satunya permata hatinya, dimana yang satu lebih memilih menghormati sosok baru dalam hidupnya, sementara yang lain tetap tidak terima apapun bentuk penghormatan itu selagi harus menimbulkan penghinaan untuk sosok lain, sekalipun walau tinggal kenangan.
“Ayah pilih, mau meletakkan foto Bunda ditempat semula, atau Anti terpaksa membubarkan tamu ayah hari ini,” tantang Kinanti. Padahal apa yang ia ucapkan hanya gertak semata. Mana berani ia berlaku sekurang ajar itu.
Heryawan tak menyangka akan keberanian anak gadisnya. Daripada ia malu pada tamu yang hadir. Maka ia memilih mengambil lengan Kinanti dan membawanya naik kedalam kamar gadis itu.
Heryawan membawa anak gadisnya masuk ke dalam kamar, walau lebih tepat hampir menyeretnya. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.
Ketika sampai kedalam kamar, Kinanti melepas paksa cengkeraman tangan Ayahnya. Sakit, cengkaraman Ayahnya sungguh sakit di lengannya, namun lebih sakit lagi hati dalam dadanya. Lalu menatap nanar mata Ayahnya.
Heryawan meletakkan pigura Alm istrinya diranjang putrinya.
“Kamu pasang saja foto Bunda dikamarmu, jika kamu keberatan Ayah menaruhnya digudang.”
Lalu Heryawan berbalik hendak keluar.
“Ayah kejam!” isak Kinanti.
“Mana cinta yang dulu Ayah agungkan dihadapan Bunda?”
Heryawan menarik napasnya dengan berat. Tuhan tahu bagaimana cintanya ia pada mendiang Fitria.
“Bunda sudah tenang disana Anti. Kamu butuh figure seorang Ibu, Anti.”
Kinanti membuang mukanya, hari ini ia membenci sosok laki-laki yang selama ini ia jadikan suri tauladan dalam hidupnya. Laki-laki pertama yang ia kenal dalam hidupnya, cinta pertamanya. Bukankah seorang Ayah itu cinta pertama untuk anak gadisnya? Namun tampaknya hati Kinanti sudah ternodai akan sikap sang Ayah.
“Anti gak perlu ibu baru. Ayah saja sudah cukup buat Anti,” isak Kinanti.
“Tapi Ayah butuh pendamping Kinanti,” ujar Heryawan.
Kinanti kembali memberikan tatapan tajam pada Ayahnya, walau dengan mata mulai beranak air mata.
“Jangan pernah nodai kenangan Bunda di rumah ini Ayah! Silahkan ayah lakukan apapun yang ayah inginkan untuk membahagiakan keluarga baru Ayah, tapi tidak dengan menghina BUNDA!!”
“Ini rumah Ayah, Anti! Dan kamu masih menumpang dirumah ini! Suka tidak suka, kamu harus menerima mereka sebagai keluarga baru Ayah! Ayah tidak ingin lagi melihat kamu berlaku kurang ajar seperti tadi.”
Lalu Heryawan melangkah keluar.
Kinanti mendengar hempasan pintu dibelakang tubuhnya.
Kinanti melangkah menuju ranjang dimana terdapat foto sang Bunda.
Diraihnya foto itu. Terbayang ucapan Bundanya beberapa tahun lalu saat pigura itu mereka pasang.
“Anti, kayanya foto Bunda kurang ke kiri dah. Coba kamu geser dikit aja.”
Lalu Kinanti menggeser perlahan, sementara Heryawan memegang kursi plastic yang di naiki putrinya supaya putrinya tidak jatuh.
“Gimana Bunda?”
“Yah benar sayang, sudah.”
Lalu Kinanti turun dari kursi plastic tersebut, berdiri diapit kedua orang tuanya.
Mereka memandang empat pigura. Pertama Foto Ayahnya lalu ada sedikit jarak dengan foto Bundanya. Dibawahnya, foto Kinanti berdiri sendiri tersenyum cantik, bersebelahan dengan foto yang menampilkan wajah mereka bertiga. Sungguh keluarga yang bahagia. Bahkan mereka bertiga tersenyum bahagia. Tanpa tahu jika takdir yang kemudian menghampiri tidaklah seindah bayangan mereka.