Mengingat kenangan kebahagiaan yang pernah ada membuat air mata Kinanati luruh sudah. Dipeluknya pigura sang Bunda yang sedang menampilkan senyum terindahnya yang pernah ia lihat.
Bahunya bahkan bergetar hebat. Tangisnya pecah sudah, isaknya menyedihkan, melebihi isaknya saat melihat jenazah Bunda terbujur kaku dihadapannya.
Yang Ayahnya lakukan tidak bisa ia terima. Bunda sudah menemani Ayahnya puluhan tahun. Tak layak rasanya jika Bunda mendapat perlakuan penghinaan seperti itu. Sekalipun Bunda sudah bergelar Almarhumah dan sosok nya tidak lagi ada disini, namun tetap harus kita hormati.
Mengapa harus menurunkan foto Bunda tepat saat tamu Ayah dan istri barunya masih ada?
Mengapa tidak biarkan Foto Bunda tetap ditempatnya semula? Lagipula hanya sekedar sebuah pigura! Apa yang membuat pigura itu serasa mengganggu? Ini rumah Bunda sejak puluhan tahun yang lalu. Bunda yang menemani bagaimana dulu Ayahnya memulai usaha. Mereka merangkak dari bawah berdua, hingga sekarang usaha Ayahnya sukses. Lantas sekarang begitu mudahnya Ayah melupakan jasa Bunda, hanya karena keluarga barunya?
Mengapa juga tidak menunggu biar Kinanti yang pindahkan. Tak perlu memperlakukan penghinaan seperti tadi. Kinanti jelas tidak terima. Bunda bukan caleg dalam pemilihan kepala daerah yang harus dicopot fotonya saat selesai bertugas. Tak adakah sedikit saja penghormatan untuk seorang wanita yang sudah berjasa puluhan tahun dan sudah menunjukkan baktinya selama ini.
Lama Kinanti menumpahkan kesedihannya, hingga ia mendengar suara dari telephone selularnya. Ia berharap tunangannya yang menghubungi, ternyata bukan, yang ada malah chatt dari Linda, adik dari tunangannya.
Kinanti memang sudah akrab dengan keluarga dari Haidar, tunangannya. Bahkan ia sering bepergian bersama Linda, adik satu-satunya Haidar. Kedua orang tua Haidar pun sudah menerima kehadirannya. Bahkan Bunda dan Ibu Haidar sudah seperti saudara.
Dari pada Kinanti terus bersedih di kamar, akan lebih baik ia pergi ke rumah kekasihnya. Mudah-mudahan Haidar mampu memberinya wejangan yang bisa mengurangi rasa sedihnya malam ini. Atau kalau bisa ia meminta supaya pernikahan mereka di percepat. Ia tak ingin lebih lama tinggal di rumah ini, apalagi bertemu dengan orang yang sudah menghina Bundanya.
Kinanti jadi merindukan Haidar kekasihnya. Mungkin malam ini ia akan meminta merebahkan kepalanya di d**a Haidar, dan kekasihnya biasa suka sekali mengusap kepalanya. Dengan begitu Kinanti mampu melupakan tangisnya. Seperti dulu saat Bunda pergi, cukup tenggelam dalam rengkuhan Haidar, menumpahkan tangisnya sudah cukup membuat sedihnya hilang.
Biasanya Haidar akan diam hingga Kinanti selesai menangis, baru setelahnya ia mengajak Kinanti keluar sekedar makan. Karena setelah menangis pasti lelah kan? Laper kan? Mengingat itu Kinanti tersenyum sendiri.
Kinanti segera beranjak keluar mengenakan sweaternya. Ia kembali melihat telephone selularnya, memastikan chatt yang masuk ke hpnya.
Linda : Kak … Abang sudah pulang ya, barangkali kak Anti kangen.
Kinanti tersenyum, paling tidak masih ada hal yang membuat hatinya menghangat.
Ia harus bertemu tunangannya Haidar, mungkin bisa melepaskan penat dalam dadanya.
Haidar sudah kembali dari tugas luar kotanya. Andai Haidar segera melamarnya, ingin rasanya Kinanti keluar dari rumah ini.
Kinanti memeriksa ke cermin, matanya terlihat sembab. Ia melirik jam di ruang kamarnya. Sudah menjelang malam.
Saat ia melangkah turun dari tangga, ia disapa pembantu rumah tangganya.
“Non Anti mau makan?”
Kinanti menoleh, saat itulah ia melihat raut wajah sendu milik pembantu rumah tangganya, Bik Nah.
“Yang sabar ya non,” ucap Bik Nah. Pembantu rumah tangganya yang sudah lama ikut keluarganya sejak ia masih sekolah dasar.
Bik Nah mengetahui kejadian tadi, namun ia tak sanggup berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengelus d**a, mengingat bagaimana perjuangan Bunda Kinanti menemani suaminya hingga menjadi seperti sekarang. Setia dalam suka maupun duka. Jika tidak melihat secara langsung, ia tidak akan percaya majikannya sanggup berbuat begitu. Bukankah selama mereka berumah tangga, ia sering melihat cinta yang besar di mata Ayah Kinanti untuk istrinya? Lalu mengapa semua berubah begitu cepat?
Apakah memang cinta itu hanya milik mereka yang bernyawa?
“Mereka pada kemana Bik, kok sepi.”
“Bapak dan ….”
“Gak perlu sebutin mereka satu-persatu, saya gak perduli, saya cuma mau tau mereka kemana? Kenapa rumah sepi?”
Bagus jika mereka semua pergi dari sini, tapi rasanya tidak mungkin kan? Bukankah Ayahnya berkata ini rumah Ayahnya? Itu berarti ia harus siap bertemu dengan siapapun keluarga baru Ayahnya. Suka ataupun tidak.
“Mereka keluar Non, kalau yang bibi dengar merayakan pernikahan Bapa, makan-makan direstoran mana gitu,” ucap Bik Nah walau sebenarnya ia juga tidak enak hati menyampaikan. Karena akan semakin menambah kesedihan putri dari majikannya.
Kinanti mengangguk. Matanya masih terlihat sembab di mata Bik Nah. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru rumah. Rumah besar ini terlihat lengang. Sementara Bik Nah masih berdiri disampingnya.
“Kalau non mau makan, bisa saya siapkan sekarang.”
“Gak perlu bi, saya mau keluar saja,” ucap Kinanti. Rasa laparnya menguar begitu saja.
Saat ia melihat ke arah meja makan, disana tersedia aneka makanan yang lumayan banyak. Kinanti meringis.
“Disini masih banyak makanan, mereka masih makan diluar juga?” tanya Kinanti tak percaya.
Pemborosan! Mungkin Ayah lupa jika Bunda selalu mengajarkan tentang penghematan.
Lalu siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak itu, yang kini menumpuk di atas meja. Tampaknya mulai hari ini akan banyak perubahan yang terjadi di rumah ini.
*****
Kinanti sering mengunjungi rumah tunangannya, jika Haidar pergi keluar kota, bahkan ia sering menginap jika Linda adik Haidar datang berkunjung. Rumah yang sudah ia pilihkan aneka perabotan sesuai keinginannya, karena tak lama lagi mereka menikah. Sayang harus di dahului oleh pernikahan Ayahnya. Andai ayahnya mengalah, menunggu ia menikah dahulu, ikut suaminya., baru Ayah menikah kemudian. Mungkin kejadian tadi tak akan ia lihat.
Kinanti akhirnya tiba di rumah kekasihnya. Ia menatap rumah mungil milik Haidar. Mungkin jika sudah menikah nanti, ia akan tinggal disini bersama Haidar. Itu lebih baik daripada serumah dengan keluarga baru Ayahnya.
Kinanti perlahan memasuki rumah itu. Ia sengaja tidak memberi khabar pada kekasihnya. Sekali-kali ia ingin memberi kejutan pada kekasihnya.
Saat memasuki teras, kening Kinanti berkerut. Ia mendapati sepatu wanita didepan pintu. Apakah Linda ikut kemari bersama Kakaknya? Kok dia gak bilang ya?
Dengan tersenyum membayangkan wajah mungil Linda, Kinanti meraih gagang pintu.
Ternyata terkunci. Kinanti merogoh tasnya, ia mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu itu perlahan. Ia tidak sabar ingin menumpahkan kesedihannya pada kekasihnya malam ini. Atau sekalian ia menginap saja beberapa hari disini jika Linda memang ada di sini.
Kinanti memasuki ruang tamu mungil dihadapannya. Kok sepi.
Baru ia hendak membuka mulutnya memanggil Linda atau Haidar, terdengar suara dari dalam kamar depan. Suara orang yang sedang bersenda gurau.
“Bagus banget hadiahnya, aku suka. Makasih sayang.”
Kok dari suaranya seperti bukan suara Linda ya? Jika bukan Linda, lalu siapa yang didalam kamar yang bersama Haidar?
Dengan d**a berdebar, Kinanti melangkah menuju kamar yang terbuka sedikit.
Kinanti mematung, saat melihat ke celah kamar yang terbuka itu.