Sharon menyusul masuk kamar, menatap suaminya yang bersandar di headboard ranjang nyaman mereka. Marvel menatap Sharon dan menepuk sisi kasur sebelahnya. Sharon tampak cemas, namun dia berusaha menutupi dengan senyum manisnya. “Kenapa?” tanya Marvel ketika istrinya itu sudah merangkak naik ke atas kasur, merebahkan kepala di daada bidang suaminya. “Aku merasa bersalah.” “Karena?” tanya Marvel cepat. Sharon menarik napas panjang, “gaya hidupku di masa lalu, mabuk, merokok, aku rasa itu yang membuatku susah memiliki keturunan,” cicitnya. “Anak itu hak prerogatif Tuhan, kita usahakan saja, sisanya pasrah,” ucap Marvel. Sharon mendongak, menatap wajah suaminya dengan pandangan kagum. Marvel menunduk untuk mengecup bibir istrinya. Sharon mengalungkan tangan di leher suaminya, membelai t