Sharon keluar dari gang kecil itu, melihat pria muda yang kemudian masuk ke dalam mobil mewah dan meninggalkan tempat itu. Dia mengedarkan pandangan, lalu melihat teman perempuannya yang baru datang sambil mengendarai sepeda motor.
“Ayo,” ajak Emily temannya. Mereka kemudian menuju rumah Runi, teman sekolah mereka yang terletak tak jauh dari gang sempit itu. Hanya Runi dan Emily yang mau berteman dengan Sharon meski tahu bahwa Sharon tinggal di rumah bordil dan merupakan anak angkat sang mucikari. Hanya mereka berdua yang tetap bertahan berteman dengannya. Mungkin karena mereka juga memiliki orang tua namun tidak dengan figurnya.
Kedua orang tua Emily merantau ke luar negeri sejak Emily kecil hingga wanita itu kini tinggal bersama neneknya yang renta. Begitu pula dengan Runi, ibunya sudah beberapa kali kawin cerai, pernikahan terakhirnya membuat Runi trauma karena ayah sambungnya hampir melecehkannya hingga ibunya yang masih mencintai suaminya itu memilih pergi meninggalkan rumah tersebut dan Runi tinggal seorang diri di rumah kecil itu.
Tidak seperti Sharon. Emily kuliah dibiayai ibunya yang bahkan tak pernah dihapal aroma tubuh dan pelukannya karena sudah lama tidak bertemu. Sementara Runi memutuskan untuk kuliah sambil kerja.
“Muka capek banget?” tanya Runi sambil meletakkan baki berisikan satu teko minuman dingin dan tiga gelas kosong.
Sharon yang berbaring di atas ranjang itu hanya terkekeh, “habis layanin om om, enak sih tapi enggak punya duit,” celetuk Sharon asal. Runi dan Emily saling tatap dan tertawa.
“Lagian masih aja sih, sudah kita suruh jadi sugar baby juga kayak aku,” kekeh Runi.
“Enggak mau terikat, malas banget kalau lagi enggak mood tetap diminta ngelayanin,” ujar Sharon.
“Ya daripada kayak ini, gonta ganti, nanti kena penyakit,” ujar Emily yang paling suci di antara mereka karena dia bahkan tak pernah berhubungan seksual dengan lelaki mana pun sampai saat ini.
“Enggak apa-apa lah, yang tadi benar-benar luar biasa,” ungkap Sharon. Emily menatap temannya itu dengan simpati.
“Pasti mau cari pelampiasan karena mau ditinggal nikah,” ujar Emily. Runi menatap temannya itu dengan pandangan sedih.
“Kayaknya sampai kapanpun aku enggak akan menikah deh, kalau mereka tahu calon besannya mucikari, punya rumah bordil,” gurau Sharon.
Emily hanya tertawa sambil meneguk minuman dinginnya, sementara Runi menelengkan kepalanya, tatapannya menunjukkan rasa simpati namun senyum lebarnya tampak sebaliknya, “lagian Ron, kamu pikir nikah itu enak? Enak itu itunya aja palingan, usia kita nih masih muda masih panjang perjalanan.”
“Keseringan baca novel romance, dia pikir happy endingnya sebuah hidup itu saat menikah, padahal pernikahan itu awal dari kehidupan yang sebenarnya, yang enggak hanya ada bahagia. Faktanya, sehari ada puluhan sampai ratusan orang yang mendaftar untuk perceraian di pengadilan,” ujar Emily.
“Hah, susah ngomong sama anak kuliahan,” gumam Sharon, kembali berbaring di ranjang nyaman milik Runi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam namun mereka masih asik berbincang, Emily dan Runi berkata bahwa mereka besok masuk siang sehingga aman jika main sampai malam.
Pukul tiga dini hari Sharon pun diantar Emily pulang, hanya sampai depan gang kecil itu saja karena Emily kesulitan memasukkan motornya di gang yang sering disebut gang senggol itu.
***
Sharon menutup gerbang besi rumahnya perlahan, memastikan tak ada yang melihatnya pulang menjelang pagi. Tumit sepatunya berdetak pelan di atas lantai semen yang dingin. Para gadis lain di rumah itu masih terlelap atau berpura-pura tertidur.
Semalam dia bahkan harus dihutang dengan pria itu, bisa saja dia mengirim nomor rekeningnya, namun Sharon tak pernah mau terikat dengan pria yang menidurinya selama ini. Orang yang memiliki uang biasanya semena-mena dan dia tak suka itu.
Sharon memijat pelipisnya. Entah kenapa dia membiarkannya begitu saja. Mungkin karena tatapan mata pria itu ... bukan lapar, tapi lelah. Dan anehnya, Sharon merasa dia paham betul rasa itu.
Ketika Sharon membuka kamar pribadinya, dia terkejut melihat Bu Candra, ibu angkatnya berbaring di ranjangnya. Sharon meletakkan jaket denim di atas mejanya yang ternyata cukup membangunkan wanita itu. Dia mengambil posisi duduk di tepi ranjang sementara Sharon duduk di kursi.
“Sharon,” ucap suara perempuan paruh baya itu langsung menyergapnya. Lembut tapi menekan. “Nanti malam kamu bersiap. Ada tamu istimewa. Rentenir besar dari Glodok. Usianya memang tua, tapi dompetnya muda.”
Sharon mengerutkan alis. “Maksud Ibu?”
“Kamu dijodohkan dengannya. Dia mau menebusmu. Mau kamu jadi miliknya. Ibu sudah bilang kamu anak angkat Ibu, bukan? Sudah waktunya kamu membalas semua pengorbanan Ibu.”
Darah Sharon mendidih. “Menjualku ke pria tua?”
“Bukan menjual, Sharon. Mengamankan masa depanmu. Kamu bukan gadis muda lagi. Dunia ini keras. Setidaknya kamu bisa hidup nyaman.”
“Aku lebih memilih tidur di got daripada dipeluk pria itu,” bisik Sharon, menggertakkan giginya.
Candra berdiri dengan acuh, lalu meninggalkan Sharon. Suara napasnya sendiri menggema di kamar sempit itu. Matanya menatap cermin, wajah cantik, kulit terawat, bibir penuh … namun tak ada kehidupan di sana. Sharon tahu, jika dia tinggal di rumah itu lebih lama, dia akan mati perlahan. Mati dalam makna yang tak terlihat.
Tanpa banyak pikir, dia mengemasi tas kecil. Dua helai pakaian, uang receh, dan ponselnya yang hampir mati. Dia keluar diam-diam, tak berpamitan pada siapa pun.
***
Keesokan harinya, Sharon berdiri kikuk di balik kaca tinggi yang menjulang seperti tembok pemisah antara dunianya dan dunia Marvel. Setelan para pegawai di lobi membuatnya tampak seperti coretan di kanvas bersih.
Beberapa orang menatapnya dengan penasaran, sebagian dengan tatapan curiga.
Bagaimana tidak? Dia hanya mengenakan celana pendek, rambut dikuncir asal, tas slempang mini dan kemeja denimnya yang menutupi dalaman crop top. Bahkan dia mengunyah permen karet untuk menghilangkan canggung.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis.
“Aku mau bertemu Tuan Marvel,” jawab Sharon.
“Nama Anda?”
“Sharon.”
Resepsionis itu mengecek komputer, lalu mengerutkan alis. “Sudah ada janji sebelumnya?”
“Belum. Tapi … bilang saja, ini urusan pribadi.”
Beberapa menit kemudian, dua petugas keamanan datang menghampirinya. Sharon siap menghadapi perlakuan kasar. Namun, sebelum mulutnya sempat bergerak, suara berat dari belakang menyela.
“Biar dia masuk,” ucap pria muda yang memakai setelan jas rapih berwarna abu-abu terang. Sharon merasa pernah melihatnya? Lalu dia teringat melihat pria itu di depan gang rumahnya semalam.
Sharon menoleh. Alfi berdiri di ambang lift, rapi seperti semalam, dia memberi isyarat halus, dan Sharon pun berjalan menghampirinya.
Mereka masuk ke dalam lift tanpa banyak bicara.
Begitu sampai di ruang kerja Marvel yang mewah dan sepi, Sharon berdiri kaku di depan meja besar itu.
Marvel mempersilakan duduk. “Saya tidak menyangka kamu akan datang ke tempat seperti ini.”
Sharon mendongak menatapnya. “Aku juga enggak menyangka pria sepertimu bisa lupa bayar.”
Marvel tersenyum kecil, matanya menyipit. “Baik kita bicarakan semua biayanya,” ucap Marvel.
“Aku menghitung waktu. Dan aku butuh uang itu sekarang.”
Marvel menarik laci meja kerjanya, mengeluarkan amplop cokelat berisi uang tunai, satu tumpuk, entah berapa totalnya? Meletakkan amplop itu di atas meja. “Anggap ini bayarannya. Ditambah bonus karena kamu tidak seperti yang lain,” ucap Marvel sambil meminta Sharon duduk di sofa yang menghadap ke meja kaca dengan teh manis hangat dan cemilan yang dibawakan Alfi, asistennya.
Sharon menatap uang itu sejenak, lalu menggenggamnya pelan. Namun sebelum memasukkannya ke dalam tas, dia berkata lirih, “Aku enggak punya tempat tinggal malam ini.”
Marvel menatapnya, lama. Seolah menimbang bukan dengan logika, namun dengan luka yang saling mengenali.
“Usia kamu berapa?” tanyanya dengan posisi duduk yang lebih santai. Sharon menunjuk teh di meja itu.
“Boleh minum?” tanyanya.
“Silakan,” jawab Marvel. Wanita muda itu mengambil cangkir yang diyakini berharga cukup mahal, dia menatap wajah Marvel, cukup tampan dan terlihat muda. Dia tak tahu usia pastinya, namun dia yakin usianya sudah menginjak kepala empat, tubuhnya masih tegap dan dadanya bidang.
Dia seperti gambaran sugar daddy yang diceritakan Runi. Tinggi, dengan aroma khas parfum mahal dan juga kaya raya. Melihat tumpukan uang di dalam amplop itu, membuat Sharon lebih berani. Apakah dia ikut arus saja? Menjadi simpanan om ini, lagi pula dia cukup tampan dan gayanya di ranjang begitu menggairahkan.
Setelah meneguk teh manis hangat itu, Sharon meletakkan kembali cangkir di atas meja, “usiaku dua puluh tahun, aku anak yang dibuang di rumah bordil itu, ibu bilang mungkin aku anak hasil perzinahan salah satu pekerja ibu yang ditinggal begitu saja setelah lahir, aku enggak memiliki apa-apa selain gelang kecil ini, yang ditinggalkan bersamaku di depan rumah itu, yang setelah kuselidiki ternyata ikatan berbentuk pita ini adalah emas,” ucap Sharon menunjukkan gelang tali berwarna merah yang baru diberikan oleh bu Candra ketika dia ulang tahun ke tujuh belas. Dia saja tak tahu tanggal lahir pastinya.
Bu Candra berkata ketika dia ditemukan mungkin dia sudah berusia tujuh hari, Bu Candra dibantu petugas kelurahan membuatkan akta lahir agar dia bisa masuk sekolah, memberinya nama Sharon Saraswati, nama Saraswati diambil dari nama Wati di belakang nama ibu angkatnya, dan Saras adalah tokoh pahlawan di televisi masa lalu.
“Lalu? Kamu mau mencari orang tua kamu?” tanya Marvel. Sharon menggeleng.
“Mereka sudah membuangku, ya aku hanya menjelaskan saja,” ucap Sharon dengan mata yang seolah takut ditatap pria yang menatapnya dengan pandangan dingin.
“Kamu mau menikah?” tanya Marvel tepat menusuk jantung Sharon. Dari mana dia tahu kalau dia akan dijodohkan?
“Lho bapak tahu aku mau dijodohkan? Tapi aku enggak mau menikah dengan laki-laki buncit itu—“
“Menikah sama saya, semalam adalah kesalahan. Saya enggak pernah melakukan itu dengan wanita yang bukan istri saya, kita menikah, kamu jadi istri kedua dan bahagiakan saya dengan caramu, kamu enggak akan pernah kekurangan apa pun di dunia ini, saya janji.”
***