3. Perempuan Yang Tak Lagi Dijual

1653 Kata
Pagi menjelang siang itu, Sharon mengekor Marvel keluar dari ruang kerja menuju lobi perusahaan, diiringi desas desus para karyawan, selain karena Sharon terlihat terlalu muda, pakaiannya pun tidak mencerminkan bahwa dia adalah seorang karyawan, atau seorang dari kelas atas. Tak ada orang yang ke perusahaan besar memakai celana pendek dan jaket denim, kan? Di depan lobi, sopir pribadi Marvel sudah membukakan pintu belakang mobil. Sharon diminta naik lebih awal, sementara Marvel menoleh ke arah Alfi. “Tunda semua pertemuan hari ini, katakan saya ada keperluan urgent,” ucap Marvel. “Baik, Pak,” ucap Alfi sambil sedikit menghela napas, dia tahu sesuatu yang buruk pasti akan terjadi, selama dia bekerja tak pernah dia melihat Marvel menemui wanita lain selain istrinya atau rekan bisnis yang memang memiliki keperluan penting. Namun saat ini? Seorang wanita yang hanya diketahui bernama Sharon, usia yang mungkin setengah dari usia orang nomor satu di perusahaan ini, berlenggak lenggok sambil memakan permen karet yang membuatnya terlihat tidak memiliki etika. Bagaimana cara dia menghadapi pertanyaan para dewan direksi nantinya? Mobil yang membawa Marvel juga Sharon sudah meninggalkan gedung bertingkat itu. Alfi kini berjalan cepat menuju ruang kerjanya, sebelum dia mendapat pertanyaan yang dia pun belum yakin dengan jawabannya. *** Terletak di kawasan elit, Jakarta, penthouse Marvel menempati lantai tertinggi dari The V Residence, sebuah kompleks hunian mewah yang dikenal dengan arsitektur kontemporer dan sistem keamanan berlapis. Unit ini seluas 280 meter persegi, dengan pemandangan kota Jakarta 180 derajat dari dinding kaca setinggi langit-langit. Saat malam tiba, lampu-lampu kota terlihat seperti permata, gemerlap dan tak pernah tidur. Pemandangan ini adalah salah satu alasan Marvel memilih unit tersebut untuk ditempati dirinya dengan Sharon agar dia tahu, sejak malam pertama, bahwa dirinya tak lagi hidup dalam kegelapan. Begitu pintu terbuka, Sharon akan langsung disambut lobi privat dengan marmer hitam mengilap dan pencahayaan hangat berteknologi pintar. Ruangan utama mengusung konsep open space, ruang tamu, ruang makan, dan dapur bergaya island menyatu tanpa sekat, menciptakan kesan luas dan lega. Pintu lift terbuka langsung ke ruang tamu. Tak ada koridor, tak ada tetangga di kiri-kanan—hanya sebuah ruang lapang dengan langit-langit tinggi dan cahaya matahari senja yang menyelinap masuk lewat kaca setinggi dinding. Sharon berdiri mematung di ambang pintu. “Kamu bisa masuk,” tutur suara Marvel lembut dari belakangnya. Dia mengenakan kemeja abu muda dan jam tangan kulit coklat. Tampak santai, namun ada ketegasan dalam cara dia menatapnya. Dia telah menanggalkan jasnya tadi sehingga hanya memakai pakaian kerja yang menurutnya biasa, meski bagi Sharon tetap saja tidak biasa. Sharon melangkah pelan, seolah takut tapaknya akan mengotori lantai marmer putih yang berkilau. Langkah pertamanya terasa asing. Langkah keduanya terasa seperti mimpi. “Tempat ini ... terlalu mewah,” gumam Sharon, menatap sofa beludru, vas bunga mawar putih di atas meja, dan bayangan dirinya sendiri di dinding kaca. Ruang tamu dilengkapi sofa beludru abu tua berbentuk L, karpet Turki warna beige, dan rak dinding minimalis dengan beberapa lukisan seni kontemporer koleksi pribadi Marvel. Di sudut, ada grand piano hitam, meski tak pernah dimainkan—Marvel membelinya karena ibunya dulu suka musik. Dapur didominasi warna putih gading, dengan peralatan lengkap dari Gaggenau. Marvel tak tahu apakah Sharon pandai memasak? Namun, dia ingin menyediakan ruang di mana Sharon bisa belajar jika dia mau. Di atas meja marmer, selalu ada vas bunga segar yang akan diganti setiap dua hari oleh staf housekeeping gedung. Kamar utama memiliki jendela kaca mengarah ke timur, agar cahaya matahari pagi masuk lembut. Tempat tidurnya king size, dengan headboard kulit asli dan sprei linen mewah dari Prancis. Dinding kamar didominasi tone hangat champagne gold dan kayu walnut. Di sisi kiri ranjang, terdapat walk-in closet yang hanya terdapat sedikit produk perawatan tubuhnya. Nanti Sharon bisa mengisinya dengan miliknya sendiri. Kamar mandi utama adalah seperti spa pribadi, bathtub besar menghadap jendela, dua wastafel marmer putih, dan shower berteknologi uap aromaterapi. Semuanya dibuat bukan untuk pamer, Namun untuk memberi kenyamanan yang belum pernah Sharon rasakan seumur hidupnya. Di ruang kerja yang tertutup kaca buram, terdapat rak buku besar berisi literatur bisnis dan fiksi favorit Marvel. Dia sengaja menambahkan satu rak kecil kosong di sisi kanan mungkin dibisa dipakai untuk Sharon, jika dia ingin mulai membaca atau menulis sesuatu miliknya sendiri. Balkon pribadi dengan kursi rotan santai menjadi tempat favorit untuk menikmati malam, dengan satu pot pohon zaitun sebagai penanda harapan, hidup baru, cinta baru, dan mungkin luka yang mulai sembuh. “Bapak sudah lama tinggal di sini?” tanya Sharon, matanya masih terus menatap ke sekeliling, di mobil tadi Marvel hanya berkata akan membawanya ke tempat tinggal Sharon yang baru. Tentu saja setelah mereka menikah, maka Sharon akan menempatinya. Marvel tidak langsung menjawab. Dia berjalan ke arah balkon dan membuka pintu geser, membiarkan angin senja masuk. “Terkadang saya menginap di sini, jika keadaan rumah terlalu penat. Karena saya tahu rasanya tinggal di tempat indah tapi merasa tak diinginkan,” ujarnya pelan. Sharon mengikutinya ke balkon. Dari sana, dia bisa melihat seluruh kota lalu lintas padat yang tak pernah tidur, gedung-gedung menjulang seperti raksasa diam. Tangannya refleks menyentuh pagar kaca bening, memastikan ini nyata. “Aku tidak tahu caranya hidup seperti ini,” bisiknya nyaris tak terdengar. Marvel menoleh, menatap wajahnya yang terkena cahaya matahari. “Kamu tidak harus tahu semuanya sekarang. Cukup percaya pada saya. Tempat ini ... rumah kita. Mulai hari ini, kamu adalah milik saya. Selama kamu menurut, kamu akan bahagia dan mendapat semua yang kamu inginkan. Saya bisa menguliahkan kamu, membangunkan bisnis untuk kamu, sampai kamu bisa mandiri secara finansial nantinya.” Sharon menunduk. Matanya panas. Bukan karena rasa bahagia sepenuhnya, namun karena tubuhnya masih menyimpan jejak tempat lama, rasa takut ditolak, rasa tidak pantas, rasa berdosa hanya karena berharap. Lalu, perlahan, dia mengangguk. “Aku akan coba belajar,” katanya lirih. “Harus,” jawab Marvel, lalu dia menuju sofa, “istri saya adalah seorang pebisnis sukses, dia sangat pintar dan juga cekatan ... hanya saja dia terlalu angkuh.” Sharon ikut duduk di sampingnya, cukup dekat hingga dia bisa menghirup aroma parfum mahal yang dipakai Marvel, “apa dia tahu bapak mau menikah lagi? Atau aku akan menjadi simpanan yang disembunyikan?” “Dia yang menyuruh saya mencari kebahagiaan di luar, sama sepertinya.” Sharon melihat luka di mata Marvel, sama seperti luka yang dilihat ketika mata mereka bersirobok untuk pertama kali malam tadi, yang membuat Sharon mengajaknya untuk berhubungan. Dia tahu pria yang memiliki masalah, biasanya dapat melepaskan masalahnya seiring dengan pelepasan molekul kehangatan yang keluar dari dalam tubuhnya. “Pasti bapak sangat mencintainya,” tebak Sharon. “Anak kecil tahu apa tentang cinta?” tanya Marvel sambil sedikit terkekeh. “Anak kecil ini juga bisa bikin anak kecil, Pak. Mau coba lagi sekarang?” tanya Sharon membuat Marvel tertawa, hal yang paling jarang dia lakukan. “Nanti setelah kita menikah.” “Bapak alim banget ya?” “Entah,” jawab Marvel sambil berdiri, “saya hanya tidak suka mengotori tubuh seorang wanita tanpa ada komitmen, jadi ... saya harus bertemu siapa untuk melamar kamu?” tanya Marvel. Sharon menceritakan sedikit tentang kisahnya yang akan dijodohkan dengan lelaki tua yang tidak dikenalnya. Yang sore ini akan ke rumahnya. Dia tak membutuhkan wali karena dia yang memang tak tahu orang tuanya, tak tahu apakah dia anak yang lahir karena hubungan gelap seperti dugaan ibu angkatnya selama ini? Tak lama Marvel mendapat panggilan telepon penting dari Alfi asistennya, sehingga dia harus pamit pada Sharon, tak lupa menyuruh wanita itu membersihkan tubuh dan makan siang di foodcourt lantai satu. *** Lorong itu kembali lengang. Langkah sepatu Marvel terdengar mantap di atas lantai semen yang berpadu dengan tanah, begitu kontras dengan sepatu mahalnya yang mengkilap. Tak hanya datang membawa map atau uang. Dia juga datang membawa keputusan. Pintu rumah Bu Candrawati terbuka sebelum dia mengetuk. Seolah tuan rumah sudah tahu siapa yang akan datang. “Kamu pria yang semalam kan? Silakan masuk,” ucap Candrawati sinis, mengenakan gaun tidur merah darah dan bibir yang dilabur lebih tebal dari biasa. Di ruang tamu, duduk seorang pria tambun berkulit pucat, bermata sipit tajam dan cincin emas menyala di jari-jarinya. Dia mengenakan batik sutra dan mengisap cerutu dengan gaya sok bangsawan. “Ini Yongki,” ucap Candrawati memperkenalkan. “Orang baik yang sudah siap mengangkat Sharon jadi istri. Bukan hanya istri, tetapi ratu rumahnya. Rumah besar. Mobil. Gaji bulanan. Semua lengkap.” Marvel hanya memandang sejenak, lalu duduk perlahan di sofa kulit yang mulai mengelupas. “Sayangnya, ratu tidak seharusnya tinggal di kandang ayam. Dan Sharon bukan barang lelang,” ucap Marvel tenang. Yongki tertawa keras. “Eh, lo pikir lo siapa bisa dateng-dateng sok pahlawan? Gue udah keluar uang banyak buat ‘lamaran’. Itu cewek, tinggal bilang ya aja. Gampang.” Marvel menoleh ke arah Candrawati. “Berapa pun yang dia bayar, saya bayar dua kali lipat. Tapi bukan untuk membeli Sharon. Saya bayar untuk menghentikan lelucon kotor ini.” Candrawati menatap Marvel dengan mata menyipit. “Jadi. .. maksudmu, kamu mau menikahi anak itu?” Marvel mengangguk tanpa ragu. “Saya akan menikahinya. Hari Sabtu ini. Semua berkas telah disiapkan. Dan dia tidak akan pernah kembali ke tempat ini lagi.” Yongki membanting cerutunya ke asbak. “Lu kira nikah sama cewek kayak dia bisa bikin lu jadi suci, ha? Dia tuh—” Marvel berdiri. Tegap. Tegas. “Satu kata buruk lagi tentang dia, dan saya pastikan nama Yongki hilang dari daftar semua bank, koperasi, dan pemilik lahan di Jakarta. Jangan tantang saya.” Hening. Bahkan Candrawati kali ini tak berkata apa-apa. Yongki mendengus, berdiri dengan tatapan benci, lalu meninggalkan rumah itu tanpa sepatah kata lagi. Marvel menatap Candrawati. “Sharon tidak akan jadi tumbal kebusukan masa lalu. Hari itu sudah selesai.” Candrawati hanya mendesah, berdiri lemas dan berjalan ke arah dapur tanpa bicara. Marvel berbalik dan melangkah keluar. Hujan mulai turun rintik. Tapi langkahnya mantap, dan untuk pertama kalinya lorong gelap itu terasa seperti jalur kemenangan. Mungkin mereka tak tahu, bu Candrawati untuk kali pertama dalam hidupnya, bersyukur akan hal yang terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN