Malam ini Marvel masih pulang ke rumahnya, rumah resmi yang ditempati bersama Lauren selama sepuluh tahun terakhir. Rumah yang sejak awal ditempati tak ada rasa hangat. Lauren dan dirinya sama-sama terlalu sibuk dengan bisnis.
Namun, hal itu tidak membuat Marvel lantas mengabaikannya. Dia sudah jatuh cinta pada Lauren bahkan sejak saat pertama kali kedua orang tua mereka menjodohkan mereka setahun sebelum menikah.
Marvel pikir, Lauren terlalu kaku untuk menerima cintanya yang juga tidak sempurna, dia tak pernah menyangka bahwa istrinya ternyata bisa jatuh cinta juga. Namun, bukan terhadapnya. Dia sering mendengar desas desus orang-orang yang mengatakan bahwa istrinya sudah memiliki lelaki lain. Hanya saja ... dia terlalu naif untuk mempercayainya, hingga ketika Lauren membawanya ke rumah, dia merasa kehilangan akal sehat.
Ruang makan di rumah utama keluarga Sinathrya seperti ruang galeri museum dinding putih tinggi, lukisan-lukisan bergaya Renaisans, dan lampu gantung kristal yang menggantung di atas meja makan panjang berlapis marmer. Sinar lampu redup kuning menciptakan suasana mewah, hampir romantis, jika saja cinta pernah hidup di antara dua manusia yang duduk saling berhadapan malam itu.
Lauren mengenakan gaun satin hitam selutut, rambutnya disanggul rapi. Wajahnya dipoles sempurna, seperti biasa. Dingin dan cantik.
Marvel duduk di seberangnya, setelan kerjanya masih lengkap, hanya dasi yang dilonggarkan sedikit. Di hadapan mereka, makanan Prancis tersaji rapi seperti foie gras, sup krim asparagus, dan daging wagyu panggang yang terlihat nyaris tak tersentuh.
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit. Hanya suara garpu yang sesekali bergesek dengan piring. Hingga akhirnya, Marvel meletakkan alat makannya. Tangannya menyatukan jemari di atas meja, sorot matanya tegas namun tenang.
“Aku sudah menemukan seorang yang akan aku nikahi,” ucapnya.
Lauren mengangkat wajahnya, tersenyum miring seolah sudah tahu berita ini sebelum keluar dari mulut suaminya, “p*****r yang kamu temui di gang sempit?”
Marvel sedikit terkejut, namun sedetik kemudian dia tersenyum kecut lalu meneguk minumannya, tanpa bertanya pun dia pasti sudah tahu dari siapa Lauren mengetahui segalanya. Tak sulit baginya mencari tahu apa yang dihendaki. “Cantik, kan?”
“Terlihat tidak berpendidikan,” jawab Lauren, “kamu yakin untuk menikahinya? Jadikan saja simpanan seperti aku menjadikan kekasih gelapku mainan, yang suatu saat bisa kubuang.”
“Aku enggak seperti kamu, aku ingin menikahinya secara resmi, menjadikan istri keduaku dan tentu saja memiliki hak yang sama denganmu,” ucap Marvel, dingin dan tegas.
Lauren meletakkan garpu dan pisau, lalu menyeka sudut bibirnya.
“Kamu mulai berpikir untuk melakukan pemisahan harta?” tanya Lauren menyuarakan isi otaknya.
“Entah, aku hanya ingin memiliki istri yang sesungguhnya, bukan hanya istri di atas kertas yang ketika aku meminta hakku, kita harus selalu menekan kontrak,” tutur Marvel. “Sebenarnya aku enggak butuh persetujuanmu, pembicaraan ini hanya formalitas saja,” ucap Marvel sambil berdiri.
“Terserah saja, lakukan semua hal yang belum pernah kamu lakukan selama ini, selama dipenjara dalam sel kekejaman orang tua kita,” tutur Lauren, dia mengangkat tangannya, asisten pribadi mengantarkan ponselnya. Lauren tahu, suaminya masih bisa mendengar ketika dia menelepon seseorang.
“Sayang, malam ini aku free ayo kita naked party di club,” ujarnya seperti memancing amarah Marvel. Marvel mengepalkan tangannya, dia tidak melarang Lauren melakukan apa yang wanita itu inginkan bukan karena dia tunduk, bukan karena dia takut atau terlalu mencintainya.
Dia menahan diri selama ini, karena perjanjian mereka di awal pernikahan untuk tidak mencampuri urusan satu sama lain. Kini dia benar-benar dilema, dia ingin menceraikan Lauren, namun dia belum siap, dia masih ingin melihat wanita yang dicintainya itu, meskipun menorehkan luka.
***
Marvel Sinathrya, kini merasakan sakit di hatinya yang begitu kentara. Entah bagaimana cara dia menyembuhkan luka itu? Dia hanya bisa memendam semuanya dalam pekerjaan.
Menenggelamkan dirinya di tumpukan dokumen yang perlu dipelajarinya, melihat neraca keuangan dan laporan pencatatan. Hingga pagi menjelang dan dia mendapati istrinya sudah berada di ruang makan, matanya menunjukkan lingkaran hitam tanda dia tak benar-benar tidur.
Marvel pun tidak tidur sama sekali, dia meminta dibuatkan kopi hangat. Tanpa banyak bicara, tidak juga menyentuh croissant dengan aroma butter yang khas. Setelah menghabiskan kopinya, dia berjalan meninggalkan ruang makan itu dalam diam.
Lauren menoleh ke asistennya, “apa dia enggak pergi semalam?” tanya Lauren. Asisten kepercayaannya menggeleng.
“Pak Marvel semalaman di ruang kerja,” jawabnya membuat senyum Lauren tersungging, “bukankah dia masih sangat menggilaiku, sayangnya ... dia terlalu kaku dan membosankan,” ucapnya sambil mengangkat bahu acuh.
Dia harus berangkat kerja hari ini, namun dia tak merasa begitu b*******h untuk ke perusahaan, meskipun dia tahu jika dia tak bekerja, bisa saja perusahaan akan diaquisisi adiknya yang ambisius itu.
“Ambilkan obat saya, saya harus berangkat kerja,” ujar Lauren pada asistennya. Wanita itu hanya terdiam. “Cepat!!” sentak Lauren hingga wanita itu tergesa mencari obat yang biasa diminum Lauren.
***
Ruang kerja Marvel Sinathrya, lantai tertinggi gedung Sinathrya Corp. Jendela kaca besar di belakang meja panjangnya memamerkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Langit masih sangat terang, menandakan pagi telah berganti siang, namun pria itu masih sibuk dengan berkas dan telepon di tangannya.
Tok. Tok.
“Masuk,” ucap Marvel, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Pintu terbuka pelan. Alfi melangkah masuk, dengan seseorang di belakangnya. Seorang gadis muda, tinggi semampai, berambut sebahu yang disisir rapi, mengenakan blouse putih dan rok midi warna khaki. Wajahnya segar, penuh semangat namun tetap sopan.
“Maaf mengganggu, Pak,” ucap Alfi sambil tersenyum. “Saya membawa adik saya. Seperti yang Bapak minta kemarin. Cathy, baru lulus kuliah, dan siap bekerja.”
Marvel akhirnya menoleh. Tatapannya tajam seperti biasa, namun tidak mengintimidasi.
Cathy melangkah ke depan, menunduk sedikit, dengan suara sopan dan penuh percaya diri, “Selamat siang, Pak Marvel. Nama saya Cathy Amanda. Senang bisa bertemu langsung.”
Marvel berdiri perlahan, menjabat tangannya singkat.
“Kamu sudah tahu tentang posisi yang akan kamu jalani?”
Cathy mengangguk. “Asisten pribadi untuk Ibu Sharon, sekaligus mendampingi beliau dalam kegiatan sosial dan bisnis. Saya siap belajar dan menjaga profesionalisme, Pak.”
Alfi menimpali, “Cathy ini cepat belajar, Pak. IP-nya nyaris sempurna, dan dia juga sempat magang di konsultan media besar. Saya yakin dia bisa menjadi jembatan yang baik untuk Sharon.”
Marvel mengangguk pelan. “Sharon butuh seseorang yang bukan hanya pintar, tapi juga sabar … dan tahu cara membaca suasana. Ini bukan sekadar pekerjaan administrasi.”
Cathy tersenyum kecil. “Saya paham, Pak. Saya tidak datang hanya untuk jadi 'pendamping', tapi untuk membantu Ibu Sharon menyesuaikan diri dengan dunia baru beliau.”
Marvel menatap gadis muda itu lebih lama, lalu mengangguk puas.
“Mulai hari ini kamu bisa menemui Sharon, saya akan meneleponnya, kamu cukup datang ke apartmen dan beli semua keperluannya.” Marvel mengeluarkan kartu berwarna hitam dan menyodorkan pada Alfi yang langsung menyerahkannya ke Cathy.
“Sebelum itu, ada satu hal yang harus kau tahu.”
Cathy mengangguk cepat. “Silakan, Pak.”
“Sharon bukan orang biasa. Dia tidak tumbuh di dunia kita. Hormati itu. Jangan mencoba mengubahnya, cukup temani dan jaga dia.”
Cathy mengangguk mantap. “Saya mengerti.”
Marvel menyandarkan punggung ke kursinya. “Bagus. Alfi, pastikan segala keperluan Cathy diproses hari ini. ID, akses, dan laptop.”
“Siap, Pak,” jawab Alfi, lalu memberi anggukan pada adiknya agar ikut keluar bersamanya.
Saat pintu tertutup, Marvel menatap kembali ke layar laptopnya, namun pikirannya melayang.
“Semoga kamu benar-benar bisa menjadi teman untuk Sharon, bukan hanya mata tambahan,” gumamnya pelan.
Cathy berjalan ke meja kerja kakaknya, matanya menelisik ke seluruh penjuru ruangan. Alfi menatap adiknya dengan pandangan datar.
“Duduk,” ujar Alfi.
“Mas, jadi aku enggak kerja di sini?”
“Pak Marvel ingin kamu kuliah lagi, ambil jurusan managemen bareng calon istrinya,” ucap Alfi.
“Lho aku baru lulus lho Mas,” ujar wanita berusia dua puluh dua tahun itu.
Alfi hanya terkekeh, “kamu kan suka belajar, lumayan dapat dua title.”
“S2?”
“S1,” jawab Alfi sambil mengoperate laptopnya. Cathy ingin mendengus, namun Alfi dengan cepat mengusap kepalanya.
“Ingat Cath, dari jaman ayah kita, sampai kita, keluarga Sinathrya sangat berjasa pada keluarga kita. Biaya kamu kuliah, biaya ... pengobatan ayah dan ibu,” ucap Alfi, ada nada sengau di suaranya, tampak menahan sedih. Cathy menunduk lalu mengangguk mantap.
“Jadi kita harus loyal pada keluarga pak Sinathrya, termasuk istri keduanya. Kamu belikan baju-baju, alat make up, tas atau apa lah, kemungkinan besar Sharon akan bertemu dengan bu Lauren, jadi kamu persiapkan dirinya dengan baik dan nanti kamu masuk kuliah lagi menemani dia, jadi sahabatnya. Gajinya besar dan harusnya sih enggak terlalu capek, selama ini kamu selalu belajar dan belajar, mungkin ini waktunya kamu bekerja sambil bermain,” tutur Alfi.
Cathy awalnya tampak tak tertarik, namun benar ucapan kakaknya. Kedua orang tuanya sakit, bahkan ayahnya harus pensiun dini karena penyakit diabetesnya, dan Alfi menjadi asisten di perusahaan ini menggantikan sang ayah, Marvel juga yang membiayai semua keperluan keluarga mereka. Cathy tahu pekerjaannya kali ini mungkin terdengar mudah namun belum tentu semudah itu jika dijalani.
Alfi menelepon sopir pribadi Marvel dan memintanya mengantar Cathy ke apartmen juga ke mall nanti.
Dia juga menelepon Sharon dan mengatakan tentang Cathy yang akan menjadi asistennya mulai hari ini. Meski sedikit terkejut, namun Sharon mengerti dia sudah masuk gerbang dunia yang berbeda, yang membutuhkan pendampingan dan dia pasti menyukainya!
***