5. Dua Dunia

1856 Kata
Sebelum jam makan siang, Cathy menemui Sharon di mansion milik Marvel, dia berdiri di depan pintu besar itu. Setelah menekan bel, dia menunggu seorang membuka pintu. Wajah wanita cantik yang dilihatnya membuatnya yakin bahwa dialah calon istri kedua dari Marvel. Namun ... apakah tidak terlalu muda? “Selamat siang, Ibu Sharon. Saya Cathy, adik Pak Alfi. Mulai hari ini saya akan mendampingi dan membantu Ibu.” Sharon menaikkan satu alis. “Kau manggil aku 'Ibu'? Rasanya aneh sekali,” gumamnya sambil menahan senyum kecil. “Masuklah.” Cathy melangkah masuk, mencatat sekilas desain interior apartemen yang modern dan elegan. Matanya melihat rak buku yang sebagian masih kosong, tak terlalu banyak barang di sini seolah unit ini memang sangat jarang ditempati. Sharon memutar badan, bersandar di meja dapur, menatap Cathy dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu anak kuliahan? Terlihat seperti orang yang pintar.” “Saya baru lulus,” jawab Cathy jujur. “Tapi saya janji enggak akan banyak mengatur atau sok tahu. Saya cuma ingin membantu, apa pun yang Ibu butuhkan.” Sharon tersenyum samar. “Kalau begitu, pertama-tama jangan panggil ibu, panggil Sharon saja, kita sebaya, justru aku lebih muda dari kamu. Enggak ada kata saya-anda, karena aku akan canggung,” tutur Sharon sambil mencebikkan bibirnya. Cathy melihat lanyard tergantung di leher Sharon, namun bukan berisi id pengenal, melainkan sebuah alat seperti tabung kecil. Sharon tak memperhatikan Cathy yang terus melihat ke arahnya, dia mengangkat benda itu dan menghisapnya lalu mengembuskan asap ke udara. Cathy kemudian tersadar bahwa itu adalah rokok elektrik. Cathy tertawa pelan. “Baik, saya akan coba, ehmmm maksudnya aku, jadi pertama-tama aku diminta pak Marvel mengajak ib- ehm kamu ke mall untuk makan siang, lalu kita shopping,” ujar Cathy yang masih terdengar kaku. Sharon menoleh cepat. “Shopping? Ahhh senangnya, aku enggak bawa baju ganti sama sekali tahu?? Dari kemarin aku pakai baju pak Marvel yang kebesaran dan tadi karena aku dapat info kamu mau datang, jadi aku pakai lagi baju ini, untung sudah kering dari jemuran.” Cathy tersenyum tak enak hati, wanita ini sepertinya cukup polos dan ... ramah. “Kamu bisa belanja apa pun yang kamu mau, dan juga kita akan menemui MUA yang merias kamu untuk pernikahan lusa,” ucap Cathy. “Oke. Jadi aku bisa ketemu pak Marvel lagi dong? Kalau begitu, Cathy ... selamat datang di hidupku yang berantakan. Siap untuk membereskannya?” Cathy mengangguk. “Siap, Shar. Tapi aku yakin ... hidup kamu enggak seberantakan terdengarnya,” ucap Cathy pelan. Mata Sharon menatap Cathy dengan dalam. Sepertinya Cathy tidak terlalu tahu tentangnya. Sopir pribadi Marvel masih menunggu dan langsung mengantar mereka menuju mall yang Cathy sebutkan. Di sana semua barang yang mereka butuhkan tersedia. Mengisi waktu, Cathy pun bertanya beberapa hal pada Sharon. “Kamu sebelumnya mengisi waktu luang dengan ngapain? Kerja di mana?” tanya Cathy. Sharon menggantikan menghisap vape elektriknya dengan memakan permen karet yang selalu ada di tasnya. Jaket denimnya diletakkan di kursi mobil, kakinya terlipat sehingga celana pendeknya tampak semakin naik. Kulitnya memang putih bersih, wajahnya pun tampak cantik meski rambutnya digerai seadanya dan tanpa make up. “Aku lulus SMA, kerja jadi pegawai minimarket, tapi kamu tahu? Setiap bulan gajiku dipotong karena minus, capek banget. Terus aku berhenti dan ikutan seniorku jadi kupu-kupu,” jawab Sharon asal. “Kupu-kupu? Ah maksud kamu pengoleksi kupu-kupu?” tanya Cathy membuat Sharon menahan tawanya. “Bukan.” “Penjual kupu-kupu? Bukannya yang dijual biasanya kepompong sutra?” tanya Cathy. Dia memang pintar namun ... ini adalah dua dunia yang berbeda. Sharon memuntahkan tawanya, dia tertawa cukup kencang sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri, “padahal aku rasa kamu pintar tapi kok enggak tahu?” gurau Sharon. Lalu dia berdehem pelan, “aku rasa bukan kamu enggak tahu, tapi pikiran kamu terlalu positif,” imbuhnya. “Pekerjaan yang berhubungan dengan kupu-kupu?” Cathy seolah bermonolog dengan otaknya sendiri. “Kupu-kupu malam Cath, pekerja seks komersil,” jawab Sharon asal. Cathy menutup mulutnya dan tampak sangat terkejut. “Semuda ini?” tanya Cathy pada Sharon. Sharon tersenyum kecut. “Aku pikir kamu sudah tahu sebelumnya? Oke, karena kata pak Alfi kita akan banyak melakukan kegiatan bersama, aku ceritakan secara singkat ya. Dua puluh tahunan lalu aku dibuang orang tuaku di depan rumah bordil, dan ibu angkatku adalah mucikari, setiap malam sejak kecil, aku mendengar ya suara desahan, lenguhan, juga makian dari para pria kesepian itu yang menyewa pekerja ibu.” “Sharon,” panggil Cathy simpati. Sharon menoleh dan tersenyum kecil. “Aku berpikir bahwa dunia yang kujalani adalah dunia yang normal, melihat pekerja ibu mendapatkan uang dengan bergonta ganti pasangan, memakai pakaian yah seperti yang kamu lihat. Ibu awalnya marah saat tahu aku juga melakukan hal yang sama seperti pekerjanya, tapi sudah terlanjur. Jadi kemarahan ibu aku anggap hal biasa, toh dia juga mendapatkan uang dari pekerjaan basah ini,” kekeh Sharon menutupi getir. “Lalu ... kamu bertemu pak Marvel?” “Ya, dia menawarkan aku untuk menjadi istrinya, mengangkat aku dari jurang. Lagi pula aku enggak punya tujuan hidup lagi,” ucap Sharon mengangkat bahunya acuh. “Aku enggak ngerti, tapi aku akan mencoba mengerti,” tutur Cathy, Sharon hanya menangguk pelan, lalu matanya melirik ke gelang tali berwarna merah yang bandul dan ikatannya terbuat dari emas itu. Hanya ini jejak orang tuanya, namun sumpah demi apa pun dia tak pernah ingin mencari tahu orang yang pernah membuangnya. Mobil tiba di pelataran mall, Cathy mengajak Sharon turun. Wanita itu masih mengunyah permen karet dengan sangat nikmat, bahkan Sharon menawarkan pada Cathy, namun wanita itu tidak mau dan menolaknya secara halus. “Kamu suka makan apa?” tanya Cathy seraya mencangklong tasnya. “Apa aja aku suka,” jawab Sharon asal. Penampilan keduanya tampak begitu kontras, yang satu ala wanita pekerja dan satunya seperti wanita entah ... karena pakaiannya yang terlihat begitu minim. Beruntung kecantikan wajahnya menopangnya. Kini Sharon sudah duduk di restoran Jepang mewah dengan interior kayu minimalis dan kolam ikan koi di sebelahnya. Cathy memesan beberapa makanan yang menurutnya mungkin akan disukai oleh Sharon. Beberapa hidangan tersaji tak membutuhkan waktu lama, karena setelah beberapa saat berkeliling area makanan, hanya tempat ini yang agak sepi di jam makan siang. Sharon terlihat mendecakkan lidahnya melihat makanan di meja. Sungguh dia sangat terkesan dan mulai mencobanya satu persatu. Cathy memperhatikan Sharon yang makan dengan sedikit grasak – grusuk, lalu Cathy memegang tangan Sharon dan bersikap seperti mencontohkan. “Makannya pelan-pelan, katanya kamu nanti akan dikenalkan ke Bu Lauren,” ungkap Cathy. “Bu Lauren siapa? Calon ibu mertuaku?” tanya Sharon dengan mata membelalak. Cathy tak mengerti mengapa dia tak tahu apa-apa tentang calon suaminya? “Ibunya pak Marvel sudah meninggal begitu pun dengan ayahnya, jadi kamu enggak akan punya mertua. Bu Lauren itu istri pertama pak Marvel, dia pengusaha, punya jaringan hotel yang sangat luas. Dia terdidik, pintar, cantik dan ... sedikit angkuh, aku beberapa kali bertemu dengannya,” ucap Cathy membuat Sharon bergidik ngeri. “Apa aku harus bertemu dengannya?” tanya Sharon dengan wajah takut. “Katanya sih gitu, jadi lihat cara aku makan dan kamu tiru ya, jangan buat dia berpikiran bahwa kamu bisa direndahkan, oke,” ucap Cathy yang entah mengapa membuat Sharon merasa sangat nyaman? Dengan cepat Sharon mencontoh cara makan Cathy meski menurutnya sangat lambat, namun terlihat anggun dan dia menyukai gayanya. Sharon hampir bersendawa hingga Cathy menutup mulut dengan tangannya dan menggeleng, “enggak boleh bersendawa, ingat itu rules paling penting di meja makan,” tutur Cathy. Sharon mengangguk pelan. Sungguh perutnya terasa sangat penuh. Setelah membayar makanan mereka, keduanya pun langsung berjalan menuju toko perhiasan, Marvel berkata Sharon harus mendapatkan cincin yang pas untuknya, sebagai cincin pernikahan nanti. “Kamu lihat-lihat dulu, aku mau terima telepon dari mas Alfi,” ucap Cathy. Sharon memasuki toko perhiasan yang menjual cincin berlian itu, dua pegawai wanita toko itu saling sikut, seperti tak ada yang mau melayani Sharon hingga mereka memanggil karyawan magang untuk melayaninya. Pakaian mereka sungguh berbeda, ironi! Karyawan magang memakai baju hitam putih formal dan berjalan tergesa menghampiri Sharon. “Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanyanya sambil tersenyum. “Mau lihat-lihat,” ucap Sharon. “Kakak mau lihat cincin? Atau gelang?” tanyanya lagi. “Cincin nikah,” jawab Sharon. Wanita yang merupakan karyawan magang itu tersenyum lebar dan mengajaknya ke etalase khusus cincin. Hingga karyawan tetap yang memakai seragam navy itu menghampiri mereka sambil berdehem. “Cincin yang di sana saja, harganya terjangkau dan bisa credit,” tunjuknya dengan wajah angkuh. Sharon menatap wanita itu dari atas ke bawah, yang juga dibalas oleh karyawan itu dengan tatapan mengejek. “Mbak, enggak apa-apa kalau kakak ini mau lihat yang di sini,” ucap karyawan magang itu. “Paling juga enggak mampu beli,” sindirnya yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Karyawan magang itu menggeleng pelan. “Maaf ya,” ucap karyawan magang itu. “Aku sudah biasa sih kalau masuk mall dilihat seperti itu, enggak apa-apa,” jawab Cathy, dia melihat cincin-cincin bermata berlian yang sangat cantik. “Kakak sepertinya cocok yang ini,” ucap karyawan magang itu sambil membuka etalase dan mengeluarkan satu cincin. Hingga karyawan lainnya ikut menghampirinya. “Hati-hati lecet, atau mungkin hilang,” ujarnya sinis. Sharon menoleh ke arah karyawan magang itu, “dan juga sudah biasa dituduh pencuri,” kekeh Sharon. Karyawan magang itu tersenyum tidak enak hati. Sharon memakai cincin itu yang ternyata sedikit kebesaran di jarinya yang mungil, karyawan magang itu mencari cincin lain yang ukurannya cocok dengan jari Sharon. Cathy pun masuk, disambut ramah oleh karyawan sinis pertama tadi, Cathy menggeleng dan menunjuk Sharon. Lalu dia menghampiri Sharon dan berdiri di sampingnya. Karyawan sinis kedua menyapanya dengan ramah. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, berbanding terbalik dengan caranya memperlakukan Sharon tadi. “Cincin itu bagus,” ujar Cathy menunjuk cincin yang dikenakan Sharon, karyawan judes itu langsung menoleh ke arah Sharon. “Kalau sudah cobanya, kasih kakak ini ya, pasti kakak ini mau beli bukan hanya mau coba,” ujarnya. Sharon ternganga, begitu pula Cathy, hingga Cathy menunjuk Sharon. “Dia bos saya, saya asistennya,” ucap Cathy. Semua karyawan di toko itu pasti mendengarnya karena suasana hening. Sharon menahan tawanya! Sumpah dia sangat ingin tertawa melihat wajah-wajah cengo orang-orang itu. “Jadi aku pilih ini aja?” tanya Sharon dengan mengangkat dagunya angkuh. “Iya itu bagus dan cocok, langsung pembayaran ya,” ucap Cathy. “E-enggak tanya harganya dulu?” tanya Karyawan magang yang melayani Sharon dengan sangat baik itu karena harga cincin yang dipakai Sharon sangat lah mahal dan bisa dibilang termasuk jajaran perhiasan yang paling mahal di toko ini. “Enggak perlu,” jawab Cathy, karyawan judes langsung mengeluarkan nota, “saya yang akan membuat nota pembeliannya,” ucapnya ramah pada Sharon. “Jangan, biarkan dia saja,” tunjuk Cathy pada karyawan magang itu, “pakai penjualan nama kamu ya, saya dengar yang bisa menjual perhiasan di sini bisa dapat bonus,” imbuhnya. Karyawan magang yang sudah bersiap memegang nota itu mengangguk antusias. “Be-betul kak,” ucapnya penuh haru. Cathy tersenyum dan membiarkan wanita itu mencatat penjualan atas namanya. Lalu dia dan Sharon saling mengedipkan mata. Mungkin sekeluar dari toko ini mereka akan tertawa terbahak-bahak! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN