6. Ruang Gelap Yang Terbuka

1718 Kata
Cathy dan Sharon masih melangkah dengan angkuh keluar dari toko perhiasan itu, bahkan dengan sengaja Sharon menjentikkan jarinya yang membawa paper bag kecil berisi cincin berlian itu di depan dua karyawan julid tadi, yang kini membungkuk sopan. Beberapa meter dari toko perhiasan itu, tangan Sharon gemetar dan memegang tangan Cathy, mereka saling tatap lalu tertawa terbahak-bahak. Bahkan Cathy sampai menyeka air matanya karena terlalu kencang tertawa, hal yang hampir tak pernah dibayangkan di hari pertama bekerjanya. “Sudah-sudah,” ujar Sharon yang justru masih terkikik. “Kamu lihat muka perempuan tadi?” tanya Cathy. “Asli asem banget,” kekeh Sharon yang juga menyeka sudut matanya, “ngomong-ngomong kamu tahu mereka tadi bully aku?” tanya Sharon kemudian. Cathy menjawab dengan anggukan kepalanya. “Tadi saat terima telepon dari Mas Alfi, aku sempat lihat kamu diperlakukan enggak adil,” kekeh Cathy. “Mereka tuh memang gitu, baru kerja aja angkuh, apalagi kalau sudah punya tokonya ya,” ujar Sharon. “Entah, mungkin itu sebabnya mereka selamanya jadi karyawan,” celetuknya. “Ternyata kita sefrekuensi, jadi mau ke mana kita sekarang?” tanya Sharon. “Beli kebutuhan fashion,” ujar Cathy bertepatan dengan ponsel Sharon yang berdering, panggilan grup dari Emily dan Runi. Sharon menepi ke salah satu lorong. Cathy menunggu di depan lorong menuju toilet itu. “Kenapa gaes?” tanya Sharon. “Eh kamu ke mana sih? Baju kamu ditinggal di rumah nih, kamu nginep di mana?” tanya Emily khawatir. “Aku—“ “Kata ibu kamu, kamu mau menikah? Benar?” potong Runi. “Kapan kamu ketemu ibu?” tanya Sharon. “Tadi pagi, kayaknya senang banget dia melepas satu beban,” racau Runi menggoda Sharon. “Aku juga senang kok lepas dari dia, yup benar aku mau nikah dengan konglomerat, ini aja aku lagi beli belanja dan tebak aku habis beli apa?” tanya Sharon. “Mana kutahu!!” jawab Runi dan Emily kompak, ada nada kesal di suara mereka. Sharon memang sempat menginap di rumah Emily dan dia lupa mengambil dua potong bajunya yang ditinggal sehingga dia hanya membawa barang yang melekat di tubuhnya saja. “Cincin berlian,” ujar Sharon. “Mimpi ya? Jangan-jangan mulai gila, cepat pulang! Atau mau kita jemput?” seloroh Runi. “Ish serius, kan kamu dengar sendiri dari ibu, aku mau nikah kan? Hari sabtu ini aku nikah, jadi aku harap kalian berdua datang, nanti aku kasih tahu alamatnya, ya paling pernikahan sederhana.” “Sama siapa sih?” “Inget bapak-bapak yang aku ceritain malam itu kan?” tanya Sharon. “Hmmm yang otongnya gede?” tanya Runy membuat Emily memuntahkan tawanya. Sharon menoleh ke kanan dan kiri sepertinya hanya Cathy yang mendengar sambil membelalakkan mata. “Ya,” jawab Sharon, “aku mau nikah sama dia, jadi istri kedua. Pernikahan pertamanya enggak bahagia, tapi tenang aja kita nikah resmi, nanti aku cerita semua deh, aku mau lanjut shopping.” “Tunggu,” ujar Runi, “semua cowok buaya juga bilang kalau pernikahan pertamanya enggak bahagia, kamu yakin?” “Yakin, sudah deh aku enggak butuh yang kayak gitu-gitu, aku udah capek kerja jadi wanita malam hanya karena aku ingin beli barang yang aku inginkan, lebih baik satu orang dan fokus memuaskan laki-laki itu, dan bonusnya aku dinikahin,” ucap Sharon terkekeh, penuh rasa jumawa. Setelah berjanji untuk bertemu besok, dua sahabatnya memutuskan panggilan dengan Sharon yang kemudian menghampiri Cathy dan mengamit tangannya. “Teman kamu?” tanya Cathy. “Mereka sudah seperti saudara bagiku, rumah kita bertiga enggak jauh, jadi kita memang berteman dari SD,” jawab Sharon. Cathy hanya mengangguk lalu menarik Sharon masuk ke toko pakaian, sudah dua keranjang pakaian terisi oleh pakaian rumahan yang lebih banyak berpotongan mini dress, terkecuali beberapa pilihan Cathy yang memfokuskan pakaian untuk kuliah nanti. Sharon memang beberapa kali protes, namun tatapan tajam Cathy menghentikan protesnya. “Ingat jaga nama baik pak Marvel,” ujar Cathy mengingatkan. “Hmm iya,” dengus Sharon. Entah sudah berapa keranjang diisi? Karena sepertinya Sharon tak berniat membawa baju yang ditinggalkan di rumah ibunya sama sekali. Toko pakaian ini sangat lengkap, terkecuali pakaian dalam yang menurut Sharon benar-benar tak ada seninya. Di tangan mereka sudah menenteng beberapa paper bag berukuran besar, lalu Sharon melewati toko dengan nuansa pink fanta dan hitam, dia melihat manekin yang memakai lingerie seksi dan pakaian dalam berbahan satin. “Cath, sini yuk,” ajak Sharon. “Oiya tadi enggak jadi beli pakaian dalam ya,” ucap Cathy, Sharon mengangguk dengan mata puppy eyesnya. Cathy menghela napas panjang, “ayo,” ujarnya kemudian, yang membuat Sharon tersenyum lebar. Seorang pegawai wanita menghampiri mereka, usianya tampak sudah matang, mungkin sekitar empat puluh tahun karena terlihat begitu berpengalaman. “Mau cari ukuran berapa?” tanyanya. Sharon menyebutkan ukuran bra yang biasa dia pakai, lalu wanita itu memberikan beberapa contoh pakaian dalam yang cukup indah dan nyaman. “Lingerie itu ada yang lebih seksi?” tanya Sharon membuat mulut Cathy menganga. Sang karyawan tersenyum lembut. “Saya mau menikah, hari sabtu ini. Jadi saya ingin pakaian yang seksi untuk suami saya,” ucap Sharon membuat karyawan itu mengerti, lalu mengajaknya ke salah satu pintu yang terlihat tertutup. “Ayo kita masuk,” ujarnya. Sharon langsung masuk dan Cathy mengikuti ke ruangan yang cukup gelap dengan lampu warna merah itu, apakah ini rumah hantu? Pikir Cathy. Sharon langsung mengucap kata-kata keterkejutan, tak menyangka ada tempat seperti ini di dalam mall, di dalamnya banyak sekali etalase barang-barang pendukung untuk berhubungan intim. Cathy menutup matanya ketika melihat benda-benda seperti milik pria itu dipajang, dengan berbagai ukuran dan warna. “Nah punya pak Marvel sebesar ini nih,” ujar Sharon tanpa canggung mengacungkan benda berwarna ungu itu ke arah Cathy. “Sharon!!” ucap Cathy mengeram. “Memang kamu belum pernah lihat punya laki-laki? Belum pegang juga?” tanya Sharon terkejut. “Hush!!” ujar Cathy sambil tersenyum tak enak ke karyawan yang ikut terkekeh itu. “Enggak apa-apa, jangan sungkan, nah ini lingerie-lingerie yang lebih seksi,” ucap sang karyawan wanita itu. “Wahh cantik-cantik banget,” ujar Sharon sambil memilih beberapa lingeri berbagai warna dan juga dengan model berbeda. “Kayak enggak pakai baju,” celetuk Cathy. Sharon menyerahkan beberapa potong lingerie itu ke tangan Cathy. Lalu dia melihat ke sekeliling. Bertanya benda dan kegunaaannya kepada karyawan itu. “Bandul besi, untuk menambah sensasi, ini pecut biasanya kalau suaminya suka yang agak keras, ini banyak kostum untuk cosplay jika suaminya suka anime, penutup mata, penutup mulut, dan rantai berbahan karet, enggak sakit kok,” ucap karyawan itu. “Kalian mau berhubungan suami istri atau mau tawuran sih?” tanya Cathy karena Sharon sudah mengambil beberapa benda. “Aku enggak tahu selera pak Marvel seperti apa? Tapi kayaknya seru, duhhh enggak kebayang malam pertama kami eh malam kedua kam—pufft!!” Cathy langsung menutup mulut Sharon dengan tangannya. Mengapa wanita ini sangat blak-blakan sih? “Cath, kamu enggak mau satu? Coba yang kecil aja, enak lho,” ujar Sharon ketika mereka hendak keluar dari ruangan gelap itu, menunjuk benda kenyal milik kepunyaan laki-laki itu. “Jangan ngaco!” geram Cathy yang kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Sharon yang tertawa bersama karyawan itu. Membayar belanjaannya yang juga memenuhi dua kantung belanja ukuran besar, lalu keduanya tampak menuju toko make up. “Cath kamu serius belum pernah? Usia kamu sudah dua puluh dua kan?” tanya Sharon. “Belum, aku enggak pernah pacaran. Selama ini sibuk belajar, lagi pula kata orang tuaku enggak boleh sebelum menikah— ehm maaf,” ucap Cathy yang menyadari mungkin kata-kata dia melukai hati Sharon. “Enggak apa-apa, Emily juga seperti itu, dia sangat menjaga dirinya,” ucap Sharon santai. “Emily?” “Iya sahabatku yang tadi telepon, dia pernah pacaran tapi sebatas saling sentuh aja, enggak pernah lebih. Dia kolot banget, dia bilang maunya nanti aja setelah menikah,” tukas Sharon. Cathy hanya tersenyum kecil, “mungkin kalau aku punya keluarga utuh kayak kamu juga aku bisa jaga diriku,” kekeh Sharon. Cathy merasa simpati, ingin memegang tangan Sharon namun tangan mereka berdua saja sudah dipenuhi barang-barang. Dia hanya terdiam dan menahan rasa simpatinya. “Selamat datang,” sapa sang karyawan toko make up itu dengan ramah. Cathy cukup lelah dan memilih duduk di depan meja rias yang disediakan di toko kecantikan itu, sementara Sharon masih semangat memilih produk yang dijelaskan oleh staffnya, beberapa produk kecantikan yang Sharon impikan kini sudah ada di tangannya, dia membeli banyak perawatan tak hanya untuk wajah namun juga untuk tubuhnya. “Sudah?” tanya Cathy, melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh malam. “Sudah, habis ini jadi ke MUA?” tanya Sharon. Cathy mengangguk, meski wajahnya menyiratkan rasa lelah, namun dia tak menunjukkan dengan kata-katanya. “Kita makan dulu ya, isi tenaga,” ucap Cathy yang disetujui Sharon. Ketika mereka selesai makan, Cathy pamit ke toilet. Sharon mengambil satu paper bag kosong yang dimintanya di toko skincare tadi, paper bag berukuran cukup besar, dia mengisi dengan beberapa baju, alat make up dan juga pakaian dalam yang sengaja dibelinya untuk Cathy secara diam-diam. “Ayo, kita berangkat,” ajak Cathy sambil mengambil kantung belanjaan yang diletakkan di lantai itu. Sharon hanya mengangguk dan mengekornya yang juga sama membawa banyak kantung belanjaan. Sopir pribadi Marvel menunggu di parkiran lobi dan membantu mereka meletakkan barang-barang di bagasi mobil. Sharon melakukan fitting baju pengantin dan juga berbicara dengan MUA ternama itu untuk make up yang akan dikenakannya saat pernikahan. Sudah cukup malam ketika Cathy mengantar Sharon sampai depan apartmen. “Sudah, biar aku yang masukkin aja ke dalam, ini untuk kamu,” ucap Sharon mengulurkan satu paper bag besar. “Ha? Ini apa?” tanya Sharon. “Buka saja nanti di rumah, ucapan terima kasih karena hari ini aku mengalami banyak hal yang menyenangkan,” ungkap Sharon. “Apa sih? Enggak mau, ini namanya gratifikasi,” celetuk Cathy mendorong paper bag itu ke tangan Sharon. “Anggap ini hadiah pertemanan hari pertama kita, sudah malam. Besok kita ada kegiatan lain, kan?” tanya Sharon. Cathy memegang paper bag itu dan menatap Sharon dengan pandangan bingung. Sharon membuka pintu apartmen dan mendorong masuk barang-barang belanjaannya, lalu dia menepuk bahu Cathy sambil tersenyum. “Bye,” ujar Sharon kemudian menutup pintu itu. Cathy membalik tubuhnya membuka paper bag yang sudah berisi beberapa barang belanjaan sambil berpikir, ‘sejak kapan dia memikirkan barang-barang untukku juga?’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN