7. Kilas Balik

1526 Kata
Sharon mencoba membawa semua barang belanjaan dalam satu kali jalan, dia memenuhi tangannya dengan tali-tali dari paper bag tersebut, berjalan sambil bersiul riang menuju ruang televisi. Matanya membuka lebar ketika melihat pria tampan dan matang itu tengah bersandar di sofa putih, dua kancing teratas kemeja kerjanya terbuka dengan tangan yang terangkat di sisi sandaran. “Lho bapak datang?” ujar Sharon sambil tersenyum sumringah, mempercepat jalannya dan meletakkan barang belanjaan di lantai. “Terima kasih ya Pak, aku belanja banget hari ini, sudah fitting gaun pengantin juga terus—“ “Duduk Sharon,” tukas Marvel karena wanita itu terlalu antusias berbicara sambil berdiri. Sharon mengatupkan bibirnya dan duduk di samping Marvel. Pria itu mengulurkan tangannya ke arah meja, mengambil berkas dan memberikannya pada Sharon. Sharon membaca map di depan berkas tersebut, nama sebuah universitas swasta yang cukup ternama. “Ini?” tanyanya. “Isi data diri kamu untuk kuliah,” ucap Marvel, lalu dia berdiri dan mengambil jasnya yang berada di sandaran sofa. “Lho bapak mau ke mana? Enggak menginap?” tanya Sharon. “Ada banyak kerjaan,” ucap Marvel. “Bapak kan sudah kaya, untuk apa kerja terus sampai larut malam?” tanya Sharon seraya mencebikkan bibirnya sebal. Marvel hanya mengangkat bahunya pelan. “Nanti kamu kuliah sama Cathy, dia juga akan masuk kelas yang sama untuk mengajarimu banyak hal,” tutur Marvel. “Bukannya dia sudah lulus?” tanya Sharon. “Sudah, dan dia akan kuliah lagi berbeda jurusan dengan yang pernah dia ambil.” “Terus, aku tidur sendirian lagi malam ini?” tanya Sharon. “Astaga kita menikah dua hari lagi, kamu sudah enggak sabar?” tanya Marvel seraya bertolak pinggang Sharon mengangguk antusias, berharap pria yang hendak menikahinya itu tetap tinggal. Bukankah dia perlu mengenal suaminya lebih jauh? Namun, tatapan mata penuh permohonannya, senyum sensualnya, tetap tak membuat Marvel tinggal. Ada seorang di hati Marvel yang tak bisa membuatnya tinggal lama. Setidaknya untuk saat ini. *** Cathy memasuki mobil kakaknya yang sudah menunggu di depan lobi apartmen. Dia meletakkan tas belanja di kursi belakang. “Belanja juga?” tanya Alfi sambil melajukan kendaraannya. “Sharon yang membelikan, aku juga enggak tahu kapan dia menyiapkan dan menyusupkan di barang belanjaannya,” ujar Cathy sambil mendengus. “Sepertinya kalian lebih cepat akrab dibanding dugaan mas,” kekeh Alfi. “Dia orangnya supel, ramah dan blak-blakan. Mas harus tahu berapa kali aku menutup mulutnya karena omongannya yang asal,” ujar Cathy membuat Alfi tertawa. Sejujurnya ini kali pertama melihat ekspresi Cathy yang lebih hidup, biasanya wanita itu terlihat begitu kaku dan murung. Kini ada binar di matanya. Alfi berharap Cathy bisa menemukan teman yang sesungguhnya. Selama ini kegiatannya hanya belajar dan mengantar orang tuanya bergantian ke rumah sakit. Karena Alfi sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sementara mereka hanya dua bersaudara. “Di belakang ada formulir kampus, kamu baca dan isi ya, karena pak Marvel ingin kalian cepat kuliah mumpung perkuliahan baru berjalan satu bulan,” tutur Alfi. Cathy mengulurkan tangan ke belakang dan mengambil formulir itu, berkas yang sama dengan yang dipegang Sharon. “Apa pak Marvel sangat menyukai Sharon? Sehingga dia melakukan ini semua?” “Dibanding menyukainya, mas lebih melihatnya seperti ... ajang balas dendam,” tutur Alfi. “Balas dendam?” tanya Cathy. “Nanti kamu akan mengerti, jadi mau mampir makan malam?” tanya Alfi. “Aku sudah makan tadi Mas, kita juga banyak jajan cemilan. Jadi perutku penuh banget,” kekeh Cathy. “Seru ngemall?” “Seru,” ujar Cathy antusias, sepanjang perjalanan dia menceritakan semuanya pada Alfi, terkecuali ruangan rahasia di toko pakaian dalam itu. Alfi semakin yakin, tidak hanya Cathy yang akan merubah Sharon, namun Sharon juga akan merubah adiknya menjadi seorang yang memiliki warna, tak hanya hitam dan putih. *** Lorong sempit itu tampak sedikit becek pasca hujan sore tadi. Lampu-lampu yang redup tetap menyala, di gerbang hitam itu tampak seorang pria tengah menawar salah satu wanita malam. Sementara di dalam ruang tamu, Candrawati menatap album foto di pegangan tangannya. Melihat foto bayi Sharon. Seorang wanita pekerjanya menghampiri dan memegang bahunya. “Sharon benar-benar enggak pulang lagi, Madam?” tanyanya simpati. Candrawati menghela napas panjang dan menggeleng, “sebaiknya dia memang enggak pernah pulang ke rumah penuh dosa ini.” “Bu, rumah yang ibu bilang penuh dosa ini sudah menyelamatkan puluhan perut yang kelaparan, menyelamatkan anak-anak yang hampir putus sekolah,” ucapnya dengan suara bergetar. Candrawati menyeka air matanya yang menggenang, membuka kembali album itu dan memperhatikan fotonya satu persatu. Sharon, seorang yang tak pernah disangka akan datang ke hidupnya memberinya warna yang berbeda, dia yang tak pernah melahirkan namun ada bibir mungil yang memanggilnya ibu. Yang merengek minta ikut ke mana-mana. Yang sangat bahagia ketika hanya diberikan ikat rambut murah atau bando dengan model telinga kelinci. Pertama kalinya Candrawati mencari sekolah yang mau menerimanya, menungguinya di sekolah dan memastikan tak ada yang membullinya karena pekerjaan ibunya. Hingga kemudian dia menyadari kehadirannya justru membuat para orang tua lain mencibir anak angkatnya itu dan dia tak pernah menjejakkan kaki lagi di sekolah. Candrawati memeluk album foto itu dan naik ke atas, ke kamar Sharon, tak ada yang berubah dari kamar itu, dia bahkan tak membawa barang-barangnya sama sekali, bajunya pun masih utuh. Wanita tua itu hanya berharap Sharon bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak setelah menjadi istri dari suami kaya raya. Tanpa sadar Candrawati tertidur di kasur hangat milik putri angkatnya. Mimpinya membawanya ke masa dua puluh tahun lalu. Lewat tengah malam, ketika rumah bordil itu tidak beroperasi. Dia mendengar suara derap langkah tergesa, entah mengapa matanya terasa sangat berat? Mungkin karena dia yang dipaksa meneguk alkohol sebelum melayani customernya tadi. “Sudah taruh saja situ!” Samar terdengar suara laki-laki. “Kita enggak boleh membunuhnya?” tanya pria lain. “Enggak, katanya disuruh taruh di sini, benar di sini, sudah cepat sebelum menangis,” gumamnya yang bisa terdengar Candrawati yang memang tertidur di ruang tamu, sementara botol-botol minuman berhamburan di sekitarnya. Beberapa pekerjanya juga tertidur di sofa, ada yang di kamar tamu. Lalu tak lama terdengar derap langkah lagi, seperti orang yang berlari. Hanya selang beberapa menit tangisan bayi terdengar sangat kencang membuat Candrawati terpaksa membuka matanya, juga para pekerjanya yang masih muda. “Bayi siapa itu?” tanya Candrawati, mereka semua menyeret langkahnya karena rasanya masih mengantuk. Candrawati membuka pintu rumahnya, terkejut mendapati tas yang terbuat dari keranjang anyaman, lalu ada bayi mungil yang menangis. Tak ada surat yang menunjukkan namanya atau pesan dari orang tuanya. Hanya satu gelang dewasa yang diikat di kakinya, gelang tali berwarna merah dengan bandul keemasan. Candrawati langsung mengantungi gelang itu, yang lain saling tanya dan Candrawati menutup rapat pintu rumahnya. “Nes, cari toko yang buka dua puluh empat jam, beli s**u bayi baru lahir sama dotnya ya, kasihan bayi ini,” ucap Candrawati. “Baik, Madam. Tapi apa enggak sebaiknya kita langsung lapor polisi?” tanya salah satu pekerjanya. Candrawati menggeleng, bayi itu sudah tak menangis dan mencecap bibirnya, masih bergelung nyaman dalam pelukannya. “Madam yakin ini anak dari salah satu pekerja sini. Sudah berapa banyak orang yang datang dan pergi dari tempat ini?” “Setahun terakhir ada empat orang Madam,” jawabnya. “Ya sudah biarkan saja, mungkin memang dia yang menitipkan di sini, madam yakin jika waktunya tepat dia akan mengambil lagi anak ini, sementara biar kita yang rawat,” ucap Candrawati yang langsung terenyuh melihat bayi perempuan tanpa nama itu. Meski setelah dua puluh tahun ditunggu, tak juga ada yang datang mengambilnya, namun semakin lama, wajah Sharon semakin mengingatkannya pada seorang yang pernah bekerja dengannya dulu, seorang wanita cantik dari desa yang sangat pendiam, yang terpaksa bekerja dengannya karena ditipu dan diperkosa oleh agen sebelum tiba ke ibu kota. Lalu dia yang merasa depresi itu menyerahkan diri untuk bekerja di rumah ini, merasa sudah tak suci, dia sudah terlanjur tercebur sebaiknya dia berenang sekalian untuk bertahan hidup. Wanita itu pergi hampir setahun sebelum kedatangan bayi ini, pergi tanpa pamit. Feeling Candrawati mengatakan bahwa ini adalah anaknya. Sehingga dia begitu menyayanginya. Meskipun Candrawati merasa ragu juga karena Sharon tumbuh tinggi sedangkan pekerjanya itu justru bertubuh mungil. “Sharon!” panggil Candrawati, matanya terbuka dan melihat ke sekeliling, dia menghela napas panjang seraya melihat jam dinding. Sudah pukul lima pagi, dia tertidur cukup lelap, di meja belajar Sharon ada fotonya berdua Sharon, foto terakhir yang diambil saat kelulusan sekolah SMAnya, Sharon menangis semalaman meminta ibu angkatnya hadir, karena selama ini setiap pengambilan raport ibunya tak pernah datang hingga raport Sharon selalu diambilkan oleh nenek Emily. Hari itu, akhirnya Candrawati mau datang dan berdandan seperti ibu-ibu lain pada umumnya, betapa bangganya dia melihat Sharon yang memiliki nilai cukup tinggi, sayang hal itu tak membuat Sharon mau kuliah dan memilih bekerja saja, mungkin tak mau terlalu lama merepotkan Candrawati. Candrawati pindah ke kamarnya, dia melihat lemari tuanya, di dalamnya terdapat tumpukan uang yang diberikan calon suami Sharon. Dia belum menyetor ke bank, dia pun tidak tahu mau digunakan untuk apa uang ini? Menjodohkannya dengan rentenir kaya itu karena Candrawati tak ingin Sharon terus hidup miskin bersamanya di sini, dia tak menyangka ada orang yang jauh lebih kaya yang mempersuntingnya. Dan dia hanya bisa berharap agar Sharon diberi kelimpahan uang dan tentunya kasih sayang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN