Emily dan Runi, diundang Sharon ke apartmen mewah yang dia tempati, kedua wanita muda itu melalukan home tour dan terus berdecak kagum pada semua interior dan bangunan yang ada, meski tidak terlalu banyak barang, namun tetap tampak apik dan mengagumkan.
Mereka cukup senang melihat Sharon tinggal di tempat yang baik, setelah menghabiskan seumur hidup di rumah bordil, dengan aroma menyengat minuman beralkohol murahan! Juga lampu redup yang menyakitkan mata dan tak lupa laki-laki asing yang datang dan hilir mudik.
Keduanya kini duduk di sofa putih besar sambil menonton televisi, Sharon memesan makanan yang diantar staff ke depan pintu apartmennya, lalu dia menyerahkan makanan itu ke pada dua temannya yang langsung membukanya.
“Asik banget hidup kamu, mau makan tinggal pesan!” tukas Runi.
“Iya dong, makanya cari g***n yang kayanya beneran,” sindir Sharon membuat Runi mendengus.
“Heh gitu-gitu, gadunku sering bayarin kalian makan ya,” celetuk Runi membuat Emily yang tampak serius menikmati pasta itu mengangguk pelan.
“Kapan kita bisa lihat suami kamu, eh calon suami kamu?” tanya Emily.
“Besok saat pernikahan, kalian harus datang karena ... aku sudah belikan kalian baju bridesmaid!” Sharon mengambil dua paper bag di belakang tubuhnya yang disembunyikan barusan dan menyerahkan pada Emily dan Runi, dia meminta Cathy memesannya dan baju serta perlengkapan lain itu datang pagi tadi.
Runi dan Emily saling tatap lalu mengambil tas itu, membuka isinya dan terpukau dengan baju cantik dan indah yang mereka akan kenakan.
Emily melipat baju itu dan menatap sahabatnya lekat, “Bu Candra datang kan?” tanya Emily.
“Harusnya sih enggak perlu, dia aja tega jual aku ke bapak-bapak gendut dan tua itu!” geram Sharon.
Runi mengusap bahu Sharon, “biar bagaimana pun dia sudah merawat kamu selama ini, undang aja ya,” saran Runi.
Sharon menghela napas panjang, “ya sudah kalian deh yang undang, aku enggak perlu belikan dia baju, pak Marvel pasti sudah kasih dia uang banyak,” cetus Sharon membuat kedua temannya saling tatap, dia tahu Sharon pasti masih sangat sakit hati dengan perjodohan itu.
“Jadi acaranya besok jam berapa? Dan kita harus datang dari jam berapa?” tanya Emily. Mereka membicarakan acara pernikahan itu dengan sangat serius, Sharon juga menceritakan semuanya pada kedua sahabatnya yang selalu ternganga mendengar cerita Sharon. Sesaat mereka dibuat bingung alasan Marvel menikahinya? Untuk menjadi istrinya atau anaknya? Mengapa dia juga disekolahkan?
***
Senja mulai menyapu langit Jakarta dengan warna jingga keemasan, lembut menyinari sebuah villa di pinggiran kota yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk. Bukan ballroom hotel mewah, bukan pula aula resepsi besar. Namun taman belakang yang luas, didekor sederhana dengan lampu-lampu gantung dan bunga lili putih, cukup menjadi saksi pernikahan yang tak pernah Sharon bayangkan sebelumnya.
Sharon berdiri di balik pintu kaca, mengenakan gaun sederhana berwarna nude pucat dengan potongan leher rendah dan rok tulle lembut yang menjuntai menyentuh tanah. Rambutnya disanggul pelan, dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh natural membingkai wajahnya. Tak ada mahkota. Tak ada glamor. Akan tetapi dia tampak seperti wanita yang seharusnya dinikahi, cukup tenang, siap, dan sepenuhnya yakin.
“Napasku masih utuh, berarti aku belum pingsan,” gumamnya pelan.
Di sampingnya, Cathy tersenyum menenangkan sambil merapikan veil tipis di pundaknya. “Kamu kelihatan cantik. Cantik dengan cara yang bikin orang percaya kamu nyata.”
Dari celah tirai, Sharon mengintip keluar. Tamu-tamu yang hadir hanya belasan orang, semuanya penting. Dan di antara mereka, dia melihat sosok yang membuat napasnya tercekat.
“Yang mana istri pak Marvel? Apa dia datang? Karena pak Marvel bilang enggak bisa mempertemukan kita sebelumnya, istrinya terlalu sibuk,” tanya Sharon.
Cathy ukut memandang celah tirai tersebut dan menunjuk pada satu orang wanita yang berdiri anggun dengan gaun putih bersih model backless, rambut disanggul tinggi dan dihiasi mutiara. Wajahnya dibuat sempurna oleh riasan yang tampak seperti milik ratu. Bibir merah darah dan sorot mata tajam, seolah dunia ini adalah panggung miliknya, dan semua orang hanya figuran.
“Cantik banget, dan kelihatan apa ya Cath?”
“Elegant?” tanya Cathy.
“Ya, seperti enggak bisa disentuh. Gila dunia kita memang berbeda,” ujar Sharon sambil menghisap rokok elektriknya.
Cathy mengaburkan asap di hadapannya, dia tak terlalu suka asap apa pun itu, meskipun aromanya terhirup cukup manis.
Sharon menatapnya cukup lama … sampai menyadari sesuatu yang membuat perutnya terasa kosong.
Tatapan Marvel.
Pria itu berdiri di samping penghulu, mengenakan jas abu-abu tua dengan dasi satin. Dia tampak gagah seperti biasa, karismanya tenang dan dewasa. Namun bukan itu yang membuat Sharon tercekat. Itu karena cara Marvel memandang Lauren, mata yang tampak tenang, diisi dengan kelembutan dan cinta yang tertahan.
“Dia masih mencintainya,” bisik Sharon lirih.
Cathy menggenggam tangannya. “Mungkin. Tapi hari ini, dia milik kamu.”
Sharon menunduk, menyembunyikan luka kecil yang tiba-tiba muncul di balik gaun cantiknya.
Tak berapa lama dua orang perempuan menyeruak ke dalam, Emily dan Runi yang sudah datang sejak tadi.
“Ayo keluar sudah waktunya,” ajak keduanya sambil menggandeng tangan Sharon. Tadi Sharon sempat memperkenalkan Runi dan Emily pada Cathy dan mereka justru terliat seperti empat orang sahabat karena usia mereka yang cukup dekat. Sayangnya Cathy memilih memakai pakaian formal dibanding gaun, karena dia merasa kehadirannya hari ini adalah sebagai asisten atau pekerja, bukan sebagai teman dekat.
Panggilan dari petugas upacara membuat semua berdiri.
Sharon berjalan pelan di antara jalan setapak kecil yang dibatasi lilin-lilin putih. Di ujung sana, Marvel berdiri menunggunya. Sesekali mata mereka bertemu, dan Sharon mencoba menelan keraguan yang mengeras di tenggorokannya.
Di antara hadirin, Bu Candra duduk dengan wajah datar, hanya sesekali tersenyum kaku, entah sebagai restu atau hanya formalitas? Namun ketika Sharon duduk di depan, dia menyeka sudut matanya yang berair dengan sapu tangan.
Sore ini dia memakai pakaian yang sangat pantas dikenakan untuk menghadiri pernikahan anaknya, dia datang bersama dua orang pekerjanya yang juga memakai pakaian cukup sopan dan terlihat cantik dengan riasan lebih natural.
Emily dan Runi, dua sahabat Sharon dari rumah lamanya, berdiri di belakang, mengenakan dress soft pink, menatap sahabat mereka dengan bangga sekaligus khawatir. Mereka tahu Sharon bukan bagian dari dunia ini. Namun mereka juga tahu, dia pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Lauren duduk dengan anggun di deretan depan, tak tersenyum, tak juga bersedih. Namun mata itu jelas menilai setiap inci tubuh Sharon. Dan Sharon bisa merasakannya. Seperti pedang tak terlihat yang siap menoreh harga dirinya kapan saja.
Saat akad diucapkan dengan tenang, suara Marvel terdengar mantap. Tangannya menggenggam tangan Sharon setelah Sharon mengecup punggung tangannya yang hangat, besar, dan menenangkan. Namun mata itu … Sharon tahu, belum sepenuhnya miliknya. Entah mengapa Sharon seperti merasa mereka tampak semakin asing?
Setelah semuanya selesai, dan doa mengalun, tamu-tamu mulai menyalami.
Lauren menghampiri mereka terakhir.
“Selamat,” ucapnya singkat, menatap Sharon dari ujung kepala hingga kaki. “Gaun yang … sederhana. Tapi cocok untukmu.”
Sharon tersenyum tipis. “Terima kasih. Ibu juga cantik. Seperti pengantin sebenarnya.”
Lauren menatapnya tajam, lalu beralih ke Marvel. “Kamu cepat sekali menepati saranku, Mas.”
Marvel membalas tenang. “Kamu yang enggak ingin jadi istri sepenuhnya. Aku hanya menjalankan peran yang tersisa.”
Lauren menyeringai kecil. “Dan kamu memilih wanita yang berasal dari dunia gelap. Ironis sekali. Tapi ya … mungkin kau butuh seseorang yang akan mencintaimu lebih keras dari aku.”
Mata Sharon memanas, haruskah dia menjelaskan asal usulnya secara terperinci pada istri pertamanya? Untuk apa? Apakah untuk menghinanya di saat seperti ini? Atau di kesempatan lainnya nanti?
Dengan santai, Lauren mencium pipi Marvel, lalu pergi tanpa melihat Sharon lagi. Sharon masih bisa melihat tatapan mata Marvel ketika istri pertamanya menjauh, pria itu tak lepas memandangnya. Cintanya masih begitu besar. Dia ... dihadirkan untuk jadi pelengkap kah?
Entah mengapa dalam hati Sharon tidak terima diperlakukan seperti ini! Dia ingin mendapat tatapan penuh cinta itu! Dia juga ingin membalaskan sakit hatinya pada Lauren, dia bertekad untuk mendapatkan cinta Marvel, atau membuat pria ini takkan bisa jauh darinya.
Bukankah semua pria sama? Takluk dengan pusat tubuh di antara paha seorang wanita? Dia akan melakukan segalanya untuk membuat Marvel merasa selalu membutuhkannya. Dia janji hal itu!
Sore itu, Sharon berdiri di samping suaminya. Tubuh mereka berdampingan, tangan mereka saling menggenggam, Namun Sharon tahu mungkin butuh waktu lama dia menepati janji itu, namun dia pastikan dia segera mendapatkannya.
Sharon merapatkan tubuhnya dengan tubuh Marvel, “kita sudah resmi jadi suami istri, Pak. Apa malam ini kita bisa melanjutkan malam-malam yang sempat tertunda?” ucap Sharon sambil mengusap pelan lengan kokoh pria itu.
“Saya sudah menyiapkan tempat untuk kita, lakukanlah apa yang kamu inginkan,” ucap Marvel menatap Sharon, lalu saat tatapan mata mereka beradu pandang, dia memutuskannya dan melepas tangan Sharon.
“Saya terima telepon dulu,” ucapnya mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sharon membasahi bibirnya dan menggeleng pelan. Semakin jauh! Semakin besar rasa penasarannya!
***