Villa tempat mereka menginap malam itu bukan tempat pernikahan tadi. Marvel membawa Sharon ke sebuah rumah pribadi di kawasan Puncak, jauh dari sorotan media atau siapa pun yang mengenalnya.
Rumah itu berdiri megah namun hangat, dengan d******i kayu mahoni, lampu gantung temaram, dan jendela besar yang menghadap ke hutan pinus. Aroma kopi dan kayu basah menyelimuti suasana, memberikan rasa tenang meski tak sepenuhnya membuat Sharon nyaman.
Di dalam kamar, Sharon duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur satin berwarna peach pucat yang kemarin dibeli bersama Cathy. Rambutnya terurai, dan wajahnya bersih dari make-up. Sementara Marvel masih berada di kamar mandi.
Detik-detik terasa panjang.
Dia menatap pantulan dirinya di cermin—wanita yang baru saja menikah, namun hatinya terasa seperti tamu di kehidupannya sendiri.
Marvel keluar beberapa menit kemudian, mengenakan celana panjang santai dan kaos lengan panjang. Wajahnya tampak lebih lembut tanpa setelan bisnis, namun tetap sulit ditebak.
“Haus?” tanyanya singkat.
Sharon menggeleng. “Enggak. Terima kasih.”
Marvel duduk di sofa yang berada di sisi kamar, lalu melemparkan pandangan ke luar jendela besar. “Kamu capek?”
“Sedikit.”
Hening mengalun. Hanya terdengar suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin.
“Saya tahu ini terasa cepat,” ucap Marvel akhirnya. “Mungkin juga … aneh untukmu. Tapi saya ingin kamu tahu, kamu nggak perlu takut dengan saya.”
Sharon menoleh. “Aku nggak takut.”
Marvel menatapnya. Mata mereka bertemu, dan Sharon bisa merasakan ada luka dalam di balik mata lelaki itu.
“Kamu melihatnya, Kan?” tanya Marvel tiba-tiba. “Cara saya memandang Lauren.”
Sharon terdiam, namun sorot matanya menjawab semuanya.
Marvel menghela napas. “Saya tidak akan membohongi kamu. Ya, saya mencintainya sejak dulu. Mungkin sebagian dari diri saya masih ada di sana. Tapi saya tidak pernah mendapatkan cinta yang sama darinya.”
Sharon menunduk. “Lalu kenapa aku?”
“Karena kamu membuat saya merasa hidup,” jawabnya tanpa ragu. “Kamu … nyata. Tidak berpura-pura.”
Sharon mengerutkan kening. “Saya ini mantan p*****r, Pak. Saya bukan wanita baik-baik. dengan harta dan kekuasaan bapak, saya yakin bapak bisa mendapat wanita yang baik dan mungkin ibu yang baik untuk anak bapak kelak,” ucapnya sambil menatap mata tajam pria itu.
Marvel bangkit dari sofa, mendekatinya perlahan. “Dan kamu menyelamatkan harga diri saya malam itu, tanpa meminta imbalan. Kamu membuat saya merasa diinginkan bukan karena kekayaan saya, tapi karena saya adalah seorang laki-laki.”
Sharon menahan napas ketika Marvel berdiri tepat di hadapannya.
“Saya tidak akan menyentuhmu malam ini,” ucapnya tenang. “Kalau kamu belum siap. Tapi saya ingin kamu tahu … saya tidak menikahimu untuk menyelesaikan masalah. Saya menikahimu karena kamu adalah pilihan. Bukan pelarian.”
Sharon menggigit bibir bawahnya. Dia mendongak untuk dapat menatap pria itu dari dekat, mencari kejujuran di matanya, di mata pria yang pernah tidur dengannya. Dan dia menginginkan hal yang lebih, malam ini. Karena itu Sharon memangkas jarak di antara mereka, memegang kedua bahu Marvel sambil berjinjit.
“Tapi aku yang ingin menyentuh bapak,” ucapnya sensual, lalu mengecup bibir itu, bibir yang terasa dingin dan tak membalas kecupannya hingga Sharon melumatnya, jemari lentiknya terulur meraba tengkuk Marvel, lalu menelusup ke cuping telinganya dan membelainya lembut. Usahanya tidak sia-sia dia mulai merasakan Marvel membuka mulutnya dan dengan perlahan membalas ciumannya.
Tak ada aroma alkohol malam ini, mereka melakukannya dengan kesadaran penuh. Marvel menyentuh punggung Sharon, mengusap lembut punggung wanita yang masih ditutupi gaun tidur berbahan satin itu.
Gaunnya sedikit terangkat dan Sharon bisa merasakan gairah di antara mereka, membuat hasratnya meninggi. Ciuman Marvel tidak terlalu lihai seolah memang dia tak ahli melakukannya, namun terasa begitu dalam melumatnya.
Sharon kian merapatkan tubuh mereka, dia yakin Marvel bisa merasakan gundukan kenyal di bagian depan tubuhnya karena posisi mereka yang rapat dan Sharon sedikit melenguh untuk membuat bumbu hasrat dalam lumatan panas itu.
Marvel memiringkan sedikit kepalanya dan melepas ciuman Sharon yang kini mendongak dan membiarkan Marvel mengecup rahangnya, dia adalah pria normal dan dia pun mendambakan sentuhan dalam hidupnya, sentuhan yang lebih tulus juga liar.
Dia membawa wanita itu ke sisi ranjang dan membaringkannya, sementara dia membuka pakaiannya hingga menyisakan pakaian dalamnya saja, Sharon pun menarik ke atas gaunnya, membiarkan angin membelai kulitnya.
Marvel menatap wanita mungil itu yang kini berbaring nyaman di bawah tubuhnya, dikecup leher Sharon dan sedikit melumatnya hingga menimbulkan bekas kemerahan.
Tak ada ciuman tergesa, tak ada desahan mendesak. Yang ada hanya tarikan napas tertahan, sentuhan pelan di pundak, dan gemetar halus ketika jari Marvel meraih ikatan robe di pinggang Sharon.
Kain itu meluncur perlahan, seperti kabut pagi yang terurai di antara dedaunan. Waktu tak berlari, dia berjalan pelan, menyaksikan keduanya belajar mengenal bahasa tubuh tanpa suara, menjalin ikatan bukan lewat gairah semata, namun lewat penerimaan.
Di atas ranjang yang terasa terlalu luas, mereka tak bicara. Tapi jari-jari mereka saling mencari, dan tubuh mereka belajar menyesuaikan irama. Tak ada ambisi untuk menaklukkan. Hanya ada kerelaan untuk dibuka, disentuh, dan dicintai tanpa tekanan.
Suara malam di luar menjadi simfoni diam. Angin, dedaunan, dan napas dua manusia yang menyatu pelan-pelan.
Gerakan Marvel begitu lembut ketika menemukan titik sensual dalam tubuh wanita yang telah resmi menjadi istrinya, dilesakkan dengan perlahan seolah tubuh wanita seksi yang berbaring di bawahnya sangat rapuh dan terbuat dari kertas yang mudah sekali hancur. Namun, Sharon tidak serapuh itu.
Dia sangat mengenal apa yang mereka lakukan, dia membiarkan pahanya terbuka dan sedikit menekan pinggul sang suami dengan tangannya yang melingkar di sana.
Lenguhan terdengar dari keduanya ketika benda itu terbenam sepenuhnya, ini kali pertama Sharon melakukan hubungan dengan seorang yang telah resmi menjadi miliknya, pada lelaki yang akan memimpin hidupnya dan menjadi nakhoda dalam kapal yang membawa mereka dalam perjalanan yang panjang.
Rasanya begitu aneh, namun sangat menenangkan dan membuat Sharon mengenali hasratnya sendiri, dikecup leher sang suami yang terlihat sedikit memejamkan mata menikmati hujaman pinggulnya seperti sebuah tarian tanpa musik akan tetapi begitu berirama.
“Maaf jika menyakitimu,” bisik Marvel ketika mempercepat gerakannya.
“Enggak, ini sungguh ... sangat nikmat,” desah Sharon melentingkan tubuhnya hingga benda kenyal itu membusung dan Marvel meraih dengan lumatannya, keduanya tampak menggila dengan gairah yang bersatu padu, membawa mereka pada gelombang dahsyat yang mengaburkan pandangan dan menepikan badai. Hanya desah napas yang terdengar di antara mereka, ketika tubuh Marvel limbung di atas tubuh mungil Sharon.
Sharon terlihat lemas sekaligus lega, ada sesuatu di dalam sana yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang begitu menenangkannya, dia merasa memiliki pelindung, pria kokoh yang masih mendekapnya erat, yang menyatukan tubuh dengannya tanpa sehelai benang pun. Pria yang mempersuntingnya tanpa mempermasalahkan masa lalunya.
Tanpa mempermasalahkan berapa banyak tangan yang menjamahnya, atau berapa banyak lelaki yang menyatu dengan tubuhnya. Pria yang masih mengatur napasnya, lalu mengangkat tubuhnya perlahan, dan mengambil posisi berbaring di sampingnya dengan menjadikan bantal sebagai lengannya.
Tanpa banyak berkata, mereka berdua hanya menatap langit-langit kamar yang menjadi saksi pergulatan panas, namun begitu mendebarkan itu.
“Pak,” panggil Sharon membuat Marvel menoleh ke arahnya. Dia tak mempermasalahkan panggilan Sharon padanya, mungkin memang itu adalah yang paling cocok untuknya. Panggilan mas terlalu intim dan entah mengapa dia tak ingin panggilan itu disebut wanita lain selain Lauren, setidaknya untuk saat ini.
“Ada apa, hm?” tanya Marvel. Suara beratnya begitu seksi di indera pendengaran Sharon.
“Apakah kita ada kesepakatan dalam berhubungan juga?” tanyanya.
“Kenapa? Kamu mau membuatnya?” tanya Marvel.
Sharon menggeleng cepat, “punya bapak ... enak banget, aku sepertinya ketagihan.” Tak ada rasa malu ketika dia mengucapkan itu hingga Marvel hanya menghela napas.
“Katakan saja setiap kamu menginginkannya,” tukas Marvel. Matanya terasa berat, dia cukup lelah dengan hari ini.
“Boleh bobo sambil peluk?” tanya Sharon.
“Kamu akan terbangun dengan rasa pegal jika seperti itu,” ujar Marvel.
“Enggak akan,” jawab Sharon yakin.
“Ya sudah, sini,” ujar Marvel. Sharon dengan cepat menempelkan tubuhnya memeluk Marvel yang kini melingkarkan tangan di bahunya. Sharon mengusap d**a bidang itu dengan lembut, begitu perlahan hingga membawa keduanya pada alam mimpi tanpa mereka sadari.
Dan ketika fajar menyentuh kulit pertama kali, sinarnya menelusup melalui tirai dan mengenai dua tubuh yang berpeluk dalam kehangatan baru. Sharon terbaring dengan kepala di d**a Marvel, mendengarkan detak jantungnya seperti mendengar lagu yang belum pernah dia tahu bisa menenangkan.
Sharon merasa di hatinya saat ini bukanlah sebuah cinta, melainkan sebuah jaminan rasa tenang, aman dan nyaman yang tak pernah didapatkan olehnya dari siapa pun itu, bahkan termasuk dari kekasih yang pernah dicintainya. Mungkinkah karena Marvel jauh lebih tua darinya? Atau karena ... sesuatu telah menyusup di dalam sana tanpa mereka berdua sadari.
***