10. Hari Pertama Nyonya Marvel

1774 Kata
Sharon menggeliat ketika membuka matanya, ada tangan kokoh melingkari tubuhnya dan semula dia tak menyadari tatapan pria itu nyaris menghunus jantungnya. Hingga suara serak dan berat seolah menyadarkan pada kenyataan bahwa dia telah resmi menjadi istri seseorang. “Selamat pagi, nyonya Marvel,” sapa pria yang mata tajamnya tampak sedikit sendu. “Ah iya, pagi,” ucap Sharon tergagap, terlalu fokus pada rahang tegas dan wajah tampan yang dimiliki pria itu. “Bisa kamu geser? Tangan saya kram,” ucap Marvel. Lagi-lagi Sharon tergagap dan menggeser kepalanya. Marvel menggerakkan tangannya seperti melakukan gerakan memutar. Sepertinya malam tadi keduanya tertidur sangat lelap. “Maaf,” cicit Sharon sambil tersenyum tidak enak. “It’s ok,” jawab Marvel yang kemudian turun dari ranjang, memunguti celana panjangnya dan memakainya tanpa dalaman. Sharon menarik gaun tidur satinnya dari bawah dan mengenakannya. Marvel membuka lebar gorden. Dan Sharon berdiri di sampingnya. “Bapak mau aku buatkan teh atau kopi?” tanya Sharon, ketika datang ke villa ini dia melihat coffee maker di bagian pantry dan dia tentu saja bisa membuatnya. “Kopi, tapi saya pemilih lho,” ucap Marvel menatap Sharon yang tersenyum sangat lembut. “Aku sangat pintar membuat kopi. Jadi, kopinya manis atau pahit?” “Tanpa gula,” jawab Marvel cepat. “Oke, tunggu ya, mau di sini atau di bawah?” tanya Sharon. “Buatkan saja, saya mau mandi,” ucap Marvel. Meski ucapannya cukup datar, namun tak membuat senyum Sharon pudar. Dia kemudian melangkah riang keluar dari kamar, meski setelah menutup pintu kamar itu dia menyadari pangkal pahanya yang terasa sedikit perih, bukankah ini kali kedua mereka? Apakah semalam Marvel meminum obat kuat? Tak mau berkutat dengan pikirannya sendiri, Sharon pun menuju pantry, melihat kopi bubuk dalam toples, dia menghirup aromanya, dia pernah bekerja sebagai bartender ketika baru lulus SMA dan sebelum menjadi pegawai minimarket, gajinya saat itu tidak terlalu besar dan dia dikucilkan oleh para wanita yang merupakan teman kerjanya setelah mengetahui tempat tinggalnya yang terkenal sebagai sarang dari wanita penghibur. Sementara teman prianya sering terang-terangan melecehkannya, dengan dalih bercanda dan friendly. Sharon tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis diam-diam setiap harinya. Dia sangat ingin kuliah seperti Emily dan Runi, namun dia tahu ibu angkatnya tidak memiliki uang banyak untuk mendaftarkannya, sementara dia tak sepintar itu untuk mendapatkan program beasiswa. Dia menekan keinginannya dan berkata ingin bekerja. Dunia kerja tidaklah mudah baginya, pada akhirnya setelah tiga bulan bekerja, dia pun mengundurkan diri yang disambut tawa bahagia dari teman-teman perempuannya. Setidaknya selama tiga bulan itu dia memiliki pengetahuan tentang kopi. Sharon yang tengah menakar bubuk kopi, menuang air panas dengan gerakan terlatih. Rambutnya digelung asal, dan wajahnya masih polos tanpa riasan. Dia berdiri di depan mesin kopi manual yang lebih sering hanya jadi pajangan di dapur. Marvel baru turun dari lantai atas, memakai polo shirt berkerah warna putih, juga memegang topi di tangannya. Dia menghentikan langkah saat melihat pemandangan tak biasa itu. Sharon menoleh dan tersenyum kecil. “Sebentar lagi jadi.” Marvel mengangkat alis, lalu berjalan mendekat. “Kamu tahu cara pakainya?” tanyanya sambil menunjuk drip coffee set kayu mahoni yang biasanya hanya disentuh oleh barista profesional yang dia datangkan sesekali. Sharon tertawa pelan. “Tahu. Aku pernah kerja di Cafe, sekaligus jadi bartender, barista, tukang bersih-bersih, semuanya.” Marvel menyandarkan tubuhnya ke meja. “Cafe?” Sharon mengangguk, menuang kopi ke dalam cangkir keramik putih dengan motif biru laut. “Ya saat baru lulus SMA, hanya tiga bulan, tempat kerjanya sih enak tapi enggak dengan orang-orangnya.” Marvel menerima cangkir yang telah terisi kopi itu, dan sebelum menyeruput, dia menatap Sharon sejenak. “Orang-orangnya maksudnya karyawan? Atau customer?” “Karyawan, mereka enggak suka dengan kehadiranku.” “Tapi kamu senang menjadi bartender? “Bukan soal senang. Tapi itu pekerjaan pertama yang membuat aku merasa dihargai. Orang-orang datang, duduk, dan bicara. Kadang curhat, kadang cuma diam. Tapi selalu ada cerita.” Marvel mencicipi kopi itu perlahan. Rasa pahit lembut, dengan sentuhan karamel di ujung lidah. “Hm.” Dia menatap cangkirnya. “Ini enak. Enggak seperti kopi hotel yang sering saya minum.” Sharon tersenyum kecil. “Aku racik sendiri. Arabika medium roast, takarannya 1:15. Airnya suhu 93 derajat. Tangan harus pelan, jangan buru-buru.” Marvel menatapnya, kali ini lebih lama. “Kamu selalu begini ya? Diam-diam menyimpan hal-hal menarik.” Sharon tertawa pelan, lalu duduk di bangku bar dapur. “Enggak ada yang spesial. Cuma kopi dan kenangan buruk.” “Tapi yang kamu buat pagi ini,” ucap Marvel sambil mengangkat cangkirnya, “jujur saya akui ini sangat nikmat.” “Aku bisa buatkan bapak setiap hari, setiap pagi, jika bapak mau,” ucapnya tersenyum sensual, sambil mengusap d**a bidang pria yang menggagahinya semalam itu. Marvel memegang jemari kecil itu dan menggeleng. “Saya harus pergi, ada janji dengan mitra bisnis,” ucap Marvel, melihat mata Sharon yang sudah mengirimkan sinyal protes. “Tapi ini kan bulan madu kita, masa masih kerja juga? Lagi pula ini weekend,” ucapnya menyuarakan pendapat. Dia pikir mereka masih bisa memadu kasih lagi, dua sampai tiga kali mungkin. Marvel tak menjawab. Dia hanya meletakkan cangkirnya pelan, lalu menyentuh tangan Sharon yang ada di atas meja. “Kamu bisa ikut kalau mau,” ucap Marvel. “Oiya kemana? Di mana? Aku harus pakai baju apa? Formalkah?” tanya Sharon memberondong membuat Marvel tersenyum kecil. “Saya hanya mau main golf, kamu pakai pakaian santai saja,” tutur Marvel. Sharon menggeleng dan tersenyum antusias. “Cathy sudah menyiapkan pakaian olah raga, rok tennis putih dan kaos putih aku sangat menyukainya dan berpikir kapan aku bisa memakainya? Sekarang waktu yang tepat kan?” ucap Sharon dengan suara riang yang tak pernah didengar di telinga Marvel sebelumnya. Orang-orang di sekitarnya lebih sering berbicara dengan bahasa formal, wajah datar dan tak jarang suara tertahan karena takut. Berbeda dengan Sharon yang begitu ceria. “Ya, kamu bisa memakainya,” ucap Marvel. Sharon mendekap leher suaminya dan mengecup pipi sang suami. “Tunggu sebentar ya, aku mandi dulu. Jangan ditinggal! Janji!” ujar Sharon. “Iya, sana mandi,” ucap Marvel. Sharon berlari kecil menuju tangga. Marvel hampir berteriak untuk melarang istri kecilnya itu berlarian, namun rasa senang sepertinya membuat tubuh Sharon lebih ringan. Dia pun hanya menghela napas panjang, mungkin dia harus mulai membiasakan diri hidup dengan sosok anak kecil dalam tubuh wanita ranum itu. Marvel kembali meneguk kopi dari cangkir, tak biasanya dia menghabiskan minuman pahit itu meski dia menyukainya, namun kini dia meneguknya cukup banyak. Sharon merias sedikit wajahnya dan merapikan barang-barangnya sebelum meninggalkan villa tersebut, dia mengamit tangan Marvel yang masuk ke dalam saku celananya. “Kita serasi ya?” ucap Sharon menatap suaminya. Marvel melepas gamitan tangan Sharon ketika berada di depan mobil. “Ya seperti ayah dan anak,” ujarnya menyindir. “Ih, bapak enggak setua itu, kok,” rutuk Sharon. “Ayo cepat, kita hampir terlambat, untung lapangannya enggak terlalu jauh,” ujar Marvel. Sharon segera memasuki mobil itu. Tak menyangka bahwa Marvel yang menyetir mobil tersebut. Rok Sharon cukup pendek, Marvel bahkan bisa melihat paha putih nan mulus itu yang tersibak ketika Sharon justru tampak asik melihat pemandangan di sekitarnya. Wajahnya begitu cantik dan senyum lebarnya membuatnya kian menarik. Pagi itu, udara di lapangan golf kawasan elite Sentul mengandung kelembutan embun dan aroma rumput basah. Langit biru nyaris tanpa awan, dan angin meniup pelan cukup untuk mengangkat ujung rambut Sharon yang ditata sederhana. Sharon mengenakan polo shirt putih berlogo kecil di d**a, rok pendek putih yang membingkai kakinya yang jenjang, dan visor putih di kepala. Cathy yang membantu memilihkan baju, menekankan satu hal: “Tampil anggun, tapi jangan terlalu mencolok. Kamu istri Marvel Sinathrya sekarang.” Di sisi lain, Marvel tampil seperti biasanya, tenang, percaya diri, dan karismatik. Pakaian golf berwarna putih yang rapi membingkai tubuhnya yang masih tegap meski usianya sudah lewat empat puluh lima. Ketika dia menggandeng Sharon keluar dari mobil, beberapa pasang mata yang sudah berkumpul di sana langsung melirik ke arah mereka. “Siapa perempuan itu?” bisik salah satu pria tua di dekat tenda. “Bukan Lauren, pasti. Muda sekali,” jawab yang lain sambil mengamati Sharon dari atas ke bawah. Tapi Marvel tak peduli. Dia menggenggam tangan Sharon dengan mantap, membawanya ke kelompok pria yang sudah menunggu. “Pagi, all,” sapa Marvel dengan senyum tipis. Mitra kerja yang juga merupakan teman bermain golfnya hanya tersenyum, mereka terbiasa dengan wanita muda yang digandeng oleh para pengusaha. Namun baru pertama kali mereka melihat Marvel yang membawanya. “Ini Sharon, istri saya,” ucap Marvel tenang dan lugas. “Berarti benar gosip itu, kamu poligami?” tanya temannya sambil menahan tawa. Marvel mengangkat bahunya acuh dan memegang bahu Sharon dengan lembut. Sharon tersenyum sopan, sedikit gugup, namun menundukkan kepala dengan anggun. Suaranya ringan tapi cukup jelas ketika dia berkata, “Senang bertemu dengan Anda semua.” Salah satu pria, berusia sekitar lima puluh, berkacamata, dengan jam tangan mewah yang menyembul dari bawah lengan bajunya, melangkah lebih dekat. “Jadi ini wanita misterius yang kamu sembunyikan dari kami, Marv?” Marvel tertawa kecil. “Hanya sampai waktu yang tepat tiba.” “Frederik Haryono,” ucap pria itu memperkenalkan diri. “Klien dan sahabat lama Marvel. Kamu cantik, Sharon. Sangat.” “Terima kasih, Pak,” jawab Sharon dengan sopan, meski bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa istri yang berdiri di kejauhan, mengamati mereka seperti elang melihat mangsa. Mereka memulai permainan. Marvel sengaja menyuruh Sharon untuk hanya mendampingi dan memperhatikan, agar tak terlalu dibebani teknik. Namun Sharon justru menikmati suasana itu, melihat Marvel dalam dunianya, cara dia bersikap tegas namun tetap santai, tertawa bersama rekan-rekannya, dan tetap meliriknya sesekali untuk memastikan dia tak merasa tersisih. Saat mereka berhenti di hole ketujuh, Frederik mendekat ke arah Marvel dan berbisik pelan, “Kamu tahu mereka akan mulai membicarakan ini, kan?” Merujuk pada para istri yang juga bertujuan bermain golf meskipun pada kenyataannya mereka lebih banyak bergosip. “Saya siap,” jawab Marvel tanpa menoleh. “Saya menikah bukan untuk menyenangkan siapa pun.” Frederik mengangguk pelan. “Dia kelihatan polos. Tapi kamu yakin dia kuat menghadapi dunia kita?” Marvel menatap Sharon yang sedang tersenyum ke arahnya di kejauhan. “Dia lebih kuat dari yang terlihat.” Di akhir permainan, seorang wanita, istri salah satu pejabat bank yang jadi tamu, mendekati Sharon dengan senyum basa-basi. “Marvel jarang membawa wanita ke sini. Kamu pasti istimewa.” Sharon hanya menjawab tenang, “Saya tidak tahu tentang istimewa. Tapi saya yakin saya bukanlah istri sementaranya.” Tatapan mereka bertaut, dan untuk sesaat, wanita itu kehilangan kata. Marvel yang menyaksikan dari jauh, tersenyum kecil. Dalam diam, dia tahu Sharon mulai belajar berdiri di sampingnya. Bukan di belakang, bukan di bawah. Tapi sejajar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN