11. Sebagian Dunia Marvel

1687 Kata
Ketika nyonya pejabat itu meninggalkan Sharon, Sharon memegangi dadanya yang berdegup kencang. Apakah dia sudah benar mengambil sikap seperti tadi? Sejujurnya dia sangat takut, dia selalu takut dengan wanita yang lebih tua darinya dan memiliki power. Sharon memberi kode pada Marvel seolah mengatakan bahwa dia ke toilet. Marvel mengangguk pelan dari kejauhan. Sharon segera memasuki toilet melewati para istri yang tengah bergosip dan menghentikan pembicaraan ketika Sharon melewati mereka. “Istrinya dia bilang,” ucap nyonya pejabat bank itu. “Istri? gila, apa Jeng Lauren sudah tahu?” timpal Monica, teman lainnya. “Bagaimana kalau kita adukan?” usul wanita yang make upnya sangat tebal bernama Cynthia. “Nanti perempuan itu dengar?” “Sengaja! Biar dia sadar diri memasuki dunia seperti apa?” Pada kesempatan itu seorang menelepon Lauren dan sengaja menekan speaker ketika panggilannya tersambung. “Pagi jeng,” sapa mereka kompak. “Sedang kumpul? Ah iya jadwal golf ya?” ucap Lauren. “Jeng, kamu pasti enggak tahu siapa yang suamimu bawa ke sini?” tanya yang lainnya mengompori. Dari seberang Lauren hanya terdiam, “perempuan itu mengaku-ngaku istrinya!” Terdengar suara Lauren berdehem, “ya dia istrinya.” “Kamu yakin? Membiarkan suami kamu menikah lagi? Dan kamu tahu?” “Tahu, aku yang menyuruhnya.” “Kenapa? Apa karena—“ “Bukan, hanya untuk variasi saja, terkadang pernikahan tunggal terasa menjemukkan,” kekeh Lauren dari seberang sana. Para wanita itu saling tatap dan menggeleng penuh kekaguman, “kami selalu kagum dengan pola pikir jeng Lauren yang sangat visioner ke depan dan tentu saja anggun,” ujar mereka. Terdengar suara Lauren tertawa kecil. Lalu mereka memutuskan panggilan itu setelah berbasa basi sedikit. Sharon melewati mereka yang tertawa memandangnya. Sementara itu di seberang sana. Lauren memukul meja kayu di hadapannya hingga cangkir kopinya berderik. Maxwell, kekasihnya yang duduk di sampingnya terkejut. “Sialan! Untuk apa dia pamerin perempuan itu!!” geram Lauren. “Sayang, ada apa sih?” tanya Max. “Aku kesal, baru pertama jadi istrinya saja dia sudah mempermalukanku! Untuk apa dia datang ke sana? Dia pikir dia bisa diterima di dunia kami?” tanya Lauren. Max berjalan ke belakangnya, mengusap bahu Lauren dan memijatnya lembut, jemarinya turun membelai bukit kembar yang masih tertutup kimono handuk itu. Dalam sentuhan yang lembut dan intens, amarah Lauren memudar, kekasihnya mengecup lehernya dengan lembut hingga Lauren melenguh, terlebih gerakan jemari yang membelainya dengan sangat lihai. Hal yang tak pernah dilakukan Marvel padanya. “Sayang, hisap aku!” lenguh Lauren. Max melepas kecupan di leher Lauren, lalu pindah posisi berjongkok di hadapan wanita yang telah membuka kimono handuknya dan mengangkat tungkai kaki ke atas. “Aku selalu suka tenggelam di sini, begitu nikmat,” ucap Max sambil menghisap milik wanita itu yang terus melenguh, membiarkan kepala itu terbenam di antara pahanya. Sejenak melupakan rasa malu karena suaminya membawa madunya di hadapan teman-teman sosialita! *** Setelah acara golf selesai, para mitra bisnis Marvel bersama istrinya makan siang bersama. Ini kali pertama bagi Sharon makan bersama dengan orang-orang yang tak dikenalnya yang berasal dari dunia Marvel yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Terik matahari siang tersaring oleh kanopi besar dari kain linen putih yang membentang di halaman belakang sebuah country club mewah. Di kejauhan, hamparan rumput hijau lapangan golf masih basah oleh embun yang belum sepenuhnya menguap. Meja makan panjang telah dipersiapkan di bawah pohon flamboyan tua, lengkap dengan taplak bordir putih, peralatan makan perak, dan angin semilir yang membawa aroma anggur dan ayam panggang rempah. Sharon duduk di samping Marvel yang masih mengenakan kemeja polo putih dari sesi golf sebelumnya. T-shirt putih yang dikenakannya sangat sederhana, tapi justru tampak mencolok di tengah para wanita lain yang memakai baju khas desainer dan perhiasan mencolok. Senyumnya sopan, tapi mata beningnya siaga, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi di sekelilingnya. Di seberang meja, duduk empat pasangan yang merupakan kolega bisnis Marvel. Mereka baru saja menandatangani kerja sama baru dalam proyek pengembangan properti. Ibu Monica, seorang wanita separuh baya dengan kacamata Chanel dan cincin berlian yang tampak terlalu besar untuk jarinya, tersenyum sambil memotong salmon asapnya. “Sharon, kamu bilang tadi baru dua puluh, ya?” Sharon tersenyum. “Ya, Bu Monica.” “Luar biasa. Usia itu anak saya masih kuliah, masih senang hang out bareng temannya,” sahutnya dengan nada manis yang menggigit. “Benar sekali,” timpal Ibu Cynthia, mengenakan baju khas golf berwarna lavender mencolok. “Waktu saya seusiamu, saya masih sibuk belajar masak dan menggeluti hobi. Tapi kamu … sudah mendapatkan Marvel Sinathrya. Jackpot, ya?” Tawa kecil terdengar dari beberapa wanita. Para pria hanya melirik canggung. Marvel, yang sedang menuangkan jus ke gelas Sharon, tersenyum singkat, seakan belum terganggu. “Sepertinya saya harus tanya sama Sharon,” gumam Monica lagi, “apa rahasia bisa menarik hati pria matang dan … sangat berkuasa?” Sharon menoleh ke arah Monica dan menjawab lembut, “Mungkin karena saya tidak pernah menginginkan siapa pun yang berkuasa. Justru karena saya tak punya kekuasaan, saya belajar cara bertahan.” Senyum Monica menegang. Cara Sharon makan, caranya duduk dan menatap mereka tampak begitu anggun dan tidak canggung, padahal dia sempat berpikir bahwa wanita yang menjadi istri kedua itu akan terintimidasi. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan mereka, bahwa para pria memiliki wanita simpanan atau bahkan istri ke dua dan ketiga, namun sangat jarang bagi mereka membawanya ke acara semi formal seperti ini. Karena tak mau dilabeli stigma negatif. Mereka tak pernah tahu alasan Marvel mengajak istri keduanya ke sini, bukan mengajak Lauren seperti biasanya. Marvel akhirnya menegakkan duduknya. Dia menyeka mulutnya dengan serbet, lalu menatap satu per satu para wanita yang kini mendadak hening. “Saya menghargai kalian semua,” ucapnya tenang, “karena kalian adalah istri dari mitra bisnis saya. Tapi saya rasa, makan siang ini bukan forum untuk mempertanyakan pilihan hidup saya.” Hening. Marvel melanjutkan, suaranya masih tenang namun tegas, “Saya tak pernah ikut campur soal bagaimana hubungan kalian dan suami kalian, juga tentang sesuatu di balik itu. Dan saya pikir, seharusnya semua istri bisa saling menghargai. Dan tentunya,” ucap Marvel sambil memegang bahu Sharon yang sedikit tegang, “menghormati pilihan saya untuk membawa istri saya ke sini,” imbuhnya. Sejenak, angin berembus lebih dingin. Para pria tampak semakin gugup. Salah satunya, Suami Monica berdehem dan berkata, “Tentu, Marvel. Kami semua menghargai pilihanmu.” Marvel menoleh perlahan, menatap Monica. “Karena kalau tidak, saya mungkin harus meninjau kembali proyek Grand Ultra yang sedang kalian garap dengan Sinatrhrya Group. Saya rasa, bisnis harus dibangun atas dasar saling menghormati, bukan begitu?” Cynthia menunduk, Monica tersenyum kaku. “Tentu saja … tentu, Pak Marvel.” Marvel menyesap minumannya, lalu menoleh ke Sharon dan berkata lembut, “Kamu ingin coba tiramnya? Katanya dari Prancis.” Sharon mengangguk pelan, mengulurkan garpunya. Tiba-tiba suasana di meja berubah. Tak ada lagi tawa sinis, tak ada sindiran. Yang tersisa hanya suara garpu dan pisau yang bersentuhan dengan piring. Dan di antara semua itu, Sharon tersadar bahwa dia bukan lagi perempuan yang hanya bertahan. Dia kini dilindungi. Bukan oleh uang Marvel, tapi oleh keberanian laki-laki itu untuk berkata: ini pilihanku—hormati, atau berurusan denganku. Setelah beberapa saat, Marvel pun mengajak Sharon untuk pamit lebih awal. Sharon menunduk sopan dan anggun tanpa postur bungkuk berlebihan seperti yang mitra bisnis Marvel lakukan padanya. Marvel tersenyum lembut dan merangkul bahunya. “Maaf,” bisiknya pelan. “Atas?” tanya Sharon. “Membuat kamu enggak nyaman,” ucap Marvel sambil sedikit berdehem. Sharon memegang tangan Marvel yang bertengger di bahunya. Dia menoleh dan menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya sambil tersenyum lebar, “aku berterima kasih, karena pak Marvel membelaku tadi, keren banget sumpah!” ujar Sharon, mulutnya terasa masam, dia ingin mengeluarkan rokok elektrik dari sakunya, namun dia takut Marvel terganggu. Dia hanya meremas benda yang bentuknya seperti tabung itu. “Sudah sewajarnya kan, seorang suami membela istrinya? Jika nanti ada yang mengganggu kamu lagi, kamu bisa bicara sama Cathy biar dia sampaikan ke Alfi atau langsung ke saya, saya enggak mau kamu merasa enggak nyaman menjadi istri saya.” “Ya ampun pak Marvel so sweet banget sih, jadi pengen lagi,” ucap Sharon mengerjapkan matanya. Marvel tersenyum geli dan menggeleng. “Duh kalau senyum tambah ganteng, meleleh adek mas, ayo kita buat anak sebanyak-banyaknya,” gurau Sharon. “Memangnya kamu kucing!” ujar Marvel tanpa membuat Sharon canggung sama sekali. “Jadi, kita mau pulang ke villa tadi atau apartmen? Bapak nginep, Kan?” “Kamu maunya saya nginap atau pulang ke rumah istri pertama?” tanya Marvel setengah mmenggoda. Sharon mencebikkan bibirnya. “Jangan ditanya, tentu jawabannya nginap lah, kalau bisa bapak enggak perlu lagi balik ke sana, karena saya mau menguasai bapak!” celetuk Sharon membuat Marvel lagi-lagi tertawa. Wanita ini sangat polos dalam berkata-kata, terlalu jujur dan tak ada yang ditutupi. Membuat Marvel gemas dan ingin ... memasukinya lagi! Sementara itu di meja makan tersebut, suasana masih hening, namun denting garpu dan pisau ke piring terdengar lebih kencang seperti menyalurkan emosi. “Kita pulang sekarang!” ujar suami Monica sambil bangkit, tanpa menyapa yang lainnya. Monica berjalan cepat mengimbangi sang suami. “Mas, marah?” tanyanya. “Sekali lagi kamu ikut campur dengan pernikahan pak Marvel dan istrinya, saya tidak akan segan-segan untuk mengusir kamu!” “M-mas, tega?” “Kamu tahu sangat sulit membuat kerja sama bisnis dengan Sinathrya Group? Dan hanya karena mulut julid kamu, proyek itu akan dikaji ulang. Mikir kalau bicara!!!” “Maaf mas, aku enggak akan mengulanginya lagi,” ucap Monica yang masih mensejajari langkah suaminya yang panjang. “Aku hanya enggak mau melihat jeng Lauren dikhianati, sebagai sesama istri sah jelas aku mendukung istri pertama!” “Istri pertama! Istri sah! Lihat dulu orang seperti apa yang kamu dukung! Pokoknya aku potong uang jajan kamu setengah dari biasanya. Titik! Jika tidak mau silakan pergi!” Tak hanya Monica yang mendapat kecaman karena Chyntia pun mendapat kecaman yang sama dari suaminya, hari ini mereka mendapat pelajaran berharga. Tentang cara menghormati pilihan orang lain, lagi pula ... mereka tak pernah tahu sedalam apa luka Marvel yang ditorehkan oleh Lauren, sehingga pria se-setia itu sampai menikah lagi dan itu pun atas permintaan Lauren. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN