Sandra menghela napas panjang ketika memasuki dapur besar di rumah mewah itu, seorang wanita paruh baya memakai pakaian seragam khas asisten rumah tangga di rumah ini menoleh padanya sambil tersenyum tipis.
“Ibu minta wedang jahe seperti biasa,” ucap Sandra.
“Sudah bibi duga,” jawab wanita yang telah cukup lama menghabiskan waktu tinggal di rumah besar ini.
Sandra mengambil air minum dan meneguknya sambil duduk di kursi dapur itu, sementara asisten rumah tangga itu membuat pesanan sang majikan.
“Mereka tidur di kamar utama?”
“Iya, ibu masih kesakitan—katanya,” ucap Sandra. Sang Bibi hanya tertawa kecil dan menggeleng.
“Kamu muak banget sepertinya,” ucapnya berbisik.
“Memangnya bibi enggak?” celetuk Sandra.
“Hanya kamu asistennya yang bertahan lama, tiga tahun. Yang lain kebanyakan hanya dalam waktu enam bulan, paling lama setahun, mereka lebih milih mempertahankan kesehatan mental dan membayar biaya finalty yang besar.”
Sandra menatap gelas dalam genggamannya pandangannya mengawang, “kalau orangtuaku enggak sakit dan aku enggak punya banyak adik juga aku enggak mau, Bi. Aku pikir pekerjaannya enggak serumit ini, dua puluh empat jam standby,” keluh Sandra.
“Sabar, kontraknya habis sebentar lagi, kan?” tanya Bibi.
“Enggak, aku perpanjang lagi, ibu nambahin gaji dan ya pekerjaannya lebih banyak, pas banget kemarin ayahku butuh uang untuk operasi,” ucap Sandra membuat bibi itu menatapnya dengan pandangan sedih.
“Masalah uang, ibu memang royal dan enggak perhitungan, hanya saja ya begitulah harus kuat-kuat. Sepertinya kali ini Ibu benar-benar kesal sama bapak yang menikah lagi. Mungkin dia pikir bapak enggak akan semudah itu dapat istri baru, karena selama ini bapak enggak pernah jalin hubungan dengan perempuan mana pun dan dia sangat setia,” ucap Sandra.
Bibi menuang wedang jahe ke cangkir khusus milik majikannya, lalu memindahkan cangkir itu ke atas baki. Dia menyodorkan ke depan Sandra, lalu mengusap bahunya lembut, “Nak, sesetia apapun seorang suami, sebaik apa pun atau secinta apa pun suami pada istrinya, dia enggak akan diam saja jika dikhianati, apalagi di depan matanya,” ucap bibi itu bijaksana.
Sandra mengangguk, setelah mengucap terima kasih dia pun membawa baki itu untuk bosnya. Dia mengetuk pintu kamar utama lalu memasukinya.
Tampak Marvel yang duduk di ranjang samping istrinya.
“Taruh situ saja,” ucap Lauren menunjuk nakas di samping ranjang. Sandra meletakkan gelas itu.
“Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu?” tanya Sandra.
“Enggak perlu, hanya untuk besok semua meeting jadikan online ya, saya akan bekerja dari rumah,” tutur Lauren.
“Ya, Bu. Saya izin keluar dulu,” ujar Sandra lalu membungkuk sopan pada Marvel. Dia keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.
Di luar dia berjalan dengan lunglai, kerja dari rumah, itu artinya pekerjaannya akan sangat banyak. Terlebih Lauren sangat banyak maunya.
***
Sesaat setelah sarapan berakhir, Marvel bersiap berangkat kerja namun dia melihat seorang pria berpakaian rapi memasuki ruang makan itu sambil tersenyum ke arah lauren dan melewati Marvel begitu saja.
“Siapa yang mengizinkan kamu keluar masuk rumah saya seenaknya?” tuding Marvel menatap pria yang kini mengecup kening Lauren dengan lembut.
“Kekasihku yang mengundang,” ucap Max sambil memegang kedua bahu Lauren lembut dan sedikit meremasnya. Marvel hampir memuntahkan emosinya, namun Lauren menatapnya lebih tajam.
“Kita sudah janji untuk enggak saling ikut campur masalah pribadi kan? Aku juga enggak larang kamu saat bawa gundik itu ke acara golf kemarin?” sindir Lauren, “dan kamu sangat tahu bahwa rumah ini dibeli oleh kedua orang tua kita, jadi seharusnya enggak masalah.”
Max membelai pelan bahu Lauren dan Marvel bisa melihat tangan Max yang membelai punggung sang istri dengan lembut dan terus turun sambil membungkuk.
“Kalau gitu, aku enggak masalah juga kan mengajak Sharon tinggal di sini?” tanya Marvel sambil menatap mata istrinya.
Lauren membuang pandangan ke arah Max lalu memegang tangannya, “itu hak kamu, tapi jangan salahkan aku jika baru sampai depan pintu, dia sudah berlari pergi.” Lauren kemudian menarik tangan Max, “bantu aku ke ruang kerja,” ucapnya pada kekasihnya.
Marvel hanya tersenyum sinis dan kembali melanjutkan perjalanannya. Sandra membungkuk sopan pada pria itu yang berjalan dengan langkah penuh percaya diri.
***
Cathy menatap Sharon yang masih terbaring malas di ranjang, mengenakan gaun tidur tipis yang semalam dikenakannya. Dia bahkan belum mandi dan sarapan, ketika terbangun dia merasakan sebuah rasa aneh yang menyergapnya. Lubang di hatinya terasa sangat besar. Aneh!
Ketika dulu dia bertengkar dengan kekasihnya, dia tak pernah merasa sekosong ini. Seolah dia dicampakkan dengan hebat. Apakah karena gerakan mendorong Marvel yang agak kasar? Tapi bukankah dia sering mendapat perlakuan kasar juga dari pelanggannya yang mabuk?
“Ayo siap-siap, kita harus lihat kampus,” ajak Cathy menarik selimut yang menutupi tubuh Sharon. Sharon menggeleng pelan.
“Enggak bisa besok?” tanya Sharon.
“Enggak bisa, ini aja kita sudah terlambat tahu? Orang-orang mungkin sudah mulai belajar sebulan lamanya, bisa juga lebih,” tutur Cathy.
“Kenapa aku harus kuliah? Kurasa uang dari pak Marvel untukku sangat banyak, tuh dia ngasih kartu hitam itu semalam. Sudah atas namaku,” ujar Sharon. Cathy hanya menggeleng pelan.
“Untuk menjadi istrinya yang sempurna, enggak hanya butuh uang banyak, tapi juga otak! Ayo cepat bangun!” geram Cathy.
“Aku malas belajar!”
“Nanti aku ajari, lagi pula kita hanya lihat-lihat kampus saja, hmmm bagaimana kalau habis dari kampus kita shopping lagi?” ajak Cathy membuat mata Sharon terbuka lebih lebar.
“Oke, kalau itu aku mau! Oiya boleh tolong daftarkan mobile banking, kartu identitasnya di laci,” ujar Sharon sambil turun dari ranjang. Cathy menutup matanya melihat Sharon yang hanya berbusana begitu minim.
“Kenapa sih?” gerutu Sharon, “sama-sama punya juga,” imbuhnya sambil menyeret langkah menuju toilet.
“Aku di depan ya,” ujar Cathy mengambil ponsel Sharon juga kartu yang dibutuhkan. Sharon sudah menyebutkan pinnya pada Cathy untuk membuka ponsel itu, juga pin perbankannya. Menurutnya Cathy adalah orang yang dapat dipercaya, toh saat berbelanja kemarin pun Cathy yang melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit Marvel.
***
Alfi memasuki ruang kerja Marvel ketika pria itu sudah mengempaskan pinggulnya di atas kursi kebesaran miliknya di lantai tertinggi gedung Sinathrya group. Gedung yang dibangun oleh kakeknya dan diwarisi pada ayahnya, kini dia yang mengembangkannya menjadi lebih besar. Tak mudah untuk bertahan di era krisis global yang bisa menyerang sewaktu-waktu. Dia mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk kemajuan perusahaan ini.
Sejujurnya dia pun menginginkan seorang pewaris, namun sudah sepuluh tahun menikah dengan Lauren dia tak mendapatkan keturunan juga. Diam-diam dia mengecek kesuburannya, dan tak didapatkan masalah dalam dirinya.
“Hari ini Cathy dan Ibu Sharon akan ke kampus,” tukas Alfi sambil menyodorkan beberapa berkas penting yang membutuhkan bubuhan tanda tangan Marvel.
“Rektornya sudah tahu, kan?”
“Sudah, mereka akan dijemput langsung di gerbang oleh staff khusus,” jawab Alfi, “dan ada sedikit masalah,” imbuhnya pelan.
Marvel yang tengah mengecek ulang dokumen itu mengangkat wajah menatap asistennya, sementara jemarinya sudah memegang pena yang harganya bisa terbilang cukup mahal, bukan dari tinta yang sembarangan. “Apa?” tanyanya sambil mengernyitkan kening.
“Para karyawan dan direksi sudah tahu kalau Pak Marvel sudah menikah lagi, desas desus itu sangat cepat menyebar di gedung ini,” ucap Alfi.
Marvel seolah sudah tahu sebelumnya, sejak di lobi tadi banyak karyawan yang menatapnya dengan pandangan berbeda, ah lagi pula sudah bukan rahasia umum kan? Toh, ada beberapa direksi yang diundang saat pernikahan dan juga kemarin Sharon di ajak menemui mitra bisnis yang hubungannya cukup dekat dengan perusahaan.
“Bukan masalah, sekalian kamu bilang pada petugas keamanan dan resepsionist, perusahaan ini terbuka kapan pun untuk Sharon dan perlakukan dia sama seperti memperlakukan Lauren,” tukas Marvel sambil membubuhi tanda tangan dengan wajah tampak santai.
“Baik, Pak,” jawab Alfi. Dia menelengkan kepalanya, tak menyangka bahwa atasannya ini benar-benar ingin memperlakukan kedua istrinya dengan sama dan adil.
Setelah Marvel menanda tangani berkas, Alfi berjalan menuju meja sekretaris kantor Marvel dan memberikan berkas itu, “Mbak, tolong kirim kembali ke divisi terkait, berkas sudah ditanda tangani bapak. Saya mau ke bagian building management,” ucap Alfi.
Wanita berpakaian kerja formal dengan kaca mata tebal yang membingkai matanya itu mengangguk. Meski usianya tidak muda lagi, namun wanita bernama Andien itu masih sangat cekatan, jelas karena dia sudah bekerja di perusahaan ini selama dua puluh tahun, bahkan dia sempat melayani mendiang ayah Marvel dulu.
“Bicara tentang istri bapak?” tanya Andien. Alfi mengangguk seraya menghela napas panjang. “Jika pak Andri Sinathrya masih hidup, pasti pak Marvel sudah digantung di depan kantor,” tukas Andien membuat Alfi tertawa.
“Bukan hanya digantung, tapi dicoret dari daftar pewaris tunggal,” kekehnya, lalu keduanya tertawa pelan dan Alfi pun meninggalkan meja senior yang banyak membantunya sejak dia awal bekerja di perusahaan ini.
Dengan cepat Alfi mengumpulkan tim dari Building Managemen yang membawahi bagian resepsionist, petugas keamanan juga secure parking dan office boy itu.
Para head section berkumpul di ruang meeting divisi tersebut. Alfi berada di kursi paling depan.
“Mungkin rekan semua sudah mendengar bahwa pak Marvel sudah menikah lagi,” ucap Alfi setelah sedikit berbasa-basi tadi. Semua karyawan di hadapannya yang berjumlah tujuh orang itu mengangguk pelan meski mata mereka menyorotkan sinar keraguan.
“Nama istri keduanya ibu Sharon Saraswati, ini fotonya. Jika nanti beliau datang, harap bisa diperlakukan sama seperti rekan-rekan memperlakukan ibu Lauren,” ucap Alfi sambil menunjukkan foto Sharon yang diambil saat pernikahan dengan Marvel, wanita itu tak memakai make up berlebihan, namun justru menonjolkan kecantikannya.
“Dihapal wajahnya, atau nanti fotonya saya kirim ke ibu ya,” ucap Alfi merujuk pada manger Building Management tersebut.
“Iya boleh, biar semuanya bisa menghapalnya.”
“Jangan sampai ketika dia datang, ada yang memperlakukannya buruk, dia masih sangat muda sehingga mungkin rekan-rekan cukup sulit mengenalinya,” ujar Alfi.
“Kami janji untuk menghapalnya dan memperlakukan dengan perlakuan khusus,” ucap sang manager dengan rambut bondol itu.
Alfi tersenyum tipis meski sedikit memaksa, dia hanya berharap jika Sharon kembali datang ke perusahaan, dia bisa memakai pakaian lebih formal tidak seperti pertama kali, yang seolah mencerminkan betapa urakan hidupnya!
***